What are you gonna be when you’re old?

Dijamin akan membosankan membacanya. So get ready for it.
Tanggal 29 Februari jam 3 sore saya dan sahabat saya, Rani menghadiri (cie… menghadiri) undangan peluncuran buku terbaru NH Dini, Argenteuil, Hidup Memisahkan Diri.
Pertama kali kami memasuki ruangan, kami dibagikan goody bag berisi sebuah buku, majalah kadaluwarsa dan sebungkus tissue. Awalnya saya pikir brand tissue itu sedang menitipkan sample-nya. Saya duduk di kursi yang masih kosong. Agak merasa canggung juga sih, karena ternyata 90% yang hadir sudah berusia cukup matang, kalau tidak bisa disebut lanjut.
Saya dan Rani hanya diam di pojok, menjadi saksi sebuah reuni teman dan keluarga. Bu Dini, ratu kita siang itu, yang ternyata sedang merayakan ulang tahunnya yang ke-72, memakai baju hijau tua yang sangat indah dan tepat, tampak sibuk menyalami tamu-tamunya. Diantara para tamu itu, ada beberapa tokoh yang saya kenal. Diantaranya adalah Ajip Rosyidi, sastrawan hebat Indonesia yang lain, Prof. Eko Budiarjo, Mas Prie GS dan Mas Trianto Triwikromo.
Acara dibuka dengan sebuah puisi yang membuat mata saya dan Rani berkaca. Sekarang saya tahu apa manfaat tissue itu. Hhhh… selamat ulang tahun bu Dini. Yang ada di kepala saya adalah, kalau saya diberi umur sepanjang beliau, akan menjadi seperti apa saya?
Belum hilang semburat merah di mata kami, masuklah seseorang dengan kursi rodanya. Beliau adalah Darmanto Jatman. Tuhan, saya terakhir kali bertemu dengan beliau kurang lebih setahun yang lalu di salah satu stasiun TV local. Waktu itu pak Dar masih sangat gagah dan ganteng. Saya tidak pernah heran kenapa sastrawan yang satu ini selalu dikelilingi perempuan cantik. Tapi malam itu pak Dar harus didorong di kursi rodanya. Pembawa acara sampei berhenti berbicara dan membuat kami semua terpana dengan adegan saling berpelukan antara bu Dini dan beliau. Kali ini air mata saya mengalir. Tuhan, berikanlah usia panjang dan kesehatan untuk harta-harta dan para guru kami yang berharga ini.
Berikutnya acara berlanjut dengan pagelaran seni dari lereng Merapi, puisi dari prof. Eko tentu tidak ketinggalan.
Yang terus berkecamuk di kepala saya ketika acara itu berlangsung adalah, “what am I gonna be, when I’m in the age of them.”
Saya sering sesumbar di depan teman-teman saya kalau saya akan “pulang” pada-Nya di umur 60-an di atas pembaringan, dengan seorang cucu di sebelah saya. Saya tidak akan merepotkan anak-anak dan cucu saya. Ya, saya memang sangat terinspirasi pada tulisan Susanna Tamaro, Va Dove ti Porta Il Cuore, Pergilah Kemana Hati Membawamu. Maafkan saya ya Allah, bukan mendahului kehendakmu, tapi saya ingin pulang dalam keadaan tenang. Saya ingin meninggalkan dunia ini dengan tersenyum, seperti orang-orang tersenyum ketika saya lahir ke dunia. Padahal saya, anda, kita semua, tidak pernah tahu kapan kita akan pulang.
Hhhh
Dosa saya luar biasa banyak di dunia ini. Sebagian besar karena mulut saya. Sungguh, saya merasa tidak pernah siap untuk kembali padanya saat ini. Saya masih punya musuh, mmm… lebih tepatnya saya masih menyimpan rasa benci pada orang lain. Saya belum meninggalkan sesuatu yang begitu berharga di dunia ini. Ok, saya punya Vanya – semoga dia menjadi anak yang sholehah – tapi karya nyata saya yang lain, belum tampak nyata. Bukannya tidak bersyukur dengan apa yang sudah dikaruniakan Tuhan pada saya, tapi katanya kita nggak boleh berpuas diri. Saya bahkan masih belum menyelesaikan kuliah. Well, for information, lulus kuliah adalah salah satu impian bapak dan ibu saya pada anak-anaknya. God, please… beri orang tua saya umur panjang untuk melihat saya mewujudkan keinginan mereka.
Oh my God, saya menjadi luar biasa sentimentil ini. Tadi pagi saya ditelpon ibu dan kami ngobrol seperti biasa. Bapak sedang sakit dan konon menurut dokter sebagian besar penyebabnya adalah karena pikiran. Saya yang jarang ngobrol sama bapak, akhirnya bertukar cerita. Saya bilang, “Bapak, mikirin apa to? Saya akan lulus segera. Mas Didot yang memang belum pengen kawin nggak usah dipikir. Adek-adek kalo nakal, dibawa kesini aja apa?” ternyata semua jawabannya negative. Bapak nggak mikirin apapun. Tuhan, You have to know, I love him so much. Beri kami waktu untuk membahagiakan satu sama lain. Sudah Kau karuniakan padaku orang tua yang luar biasa hebat dan kucintai, beri aku kesempatan untuk membuat mereka merasakan hal yang sama.
Hwaaaaaaaaaaa
Gimana nih? Kok jadi makin sentimentil. Ah, sudahlah… saya mau meneruskan nonton Prison Break lagi saja, daripada basah lagi wajah ini.
Maafkan untuk yang terlanjur baca sampe akhir, semoga anda menemukan jawaban untuk pertanyaan yang sama. What are you gonna be when you’re old.

← Elizabeth the Virgin Queen
so close →

Author:

Dian adalah penulis Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam dan 8 novel serta kumpulan cerita lainnya. Peraih grant Residensi Penulis Indonesia 2019 dan She Creates Change Green Camp 2020 ini lahir tahun 1976, belajar komunikasi di Universitas Diponegoro dan STIK Semarang, lalu lanjut belajar perlindungan anak di Kriminologi UI. Dia adalah anak ke-2 dari 4 bersaudara, ibu dari Vanya Annisa Shizuka dan beberapa anak lain. Saat ini Dian menghabiskan banyak waktunya menjadi penulis lepas dan konsultan untuk isu perlindungan anak dan kekerasan berbasis gender.

  1. Sebagai makhluk social, manusia tak dapat hidup sendiri. Mereka memerlukan sesama dan lingkungannya untuk dapat hidup nyaman, sejahtera dan bahagia. Masing-masing mempunyai ketergantungan satu sama lain dan masing-masing juga mempunyai tujuan hidup, tetapi pada intinya mengarah kepada kebahagiaan bersama orang-orang tercinta untuk masa sekarang dan yang akan datang sampai mungkin kebersamaan pada lingkungan yang berbeda. Untuk itu, maka perlulah kita untuk dapat menjaga hubungan yang baik dan saling mendukung untuk berlangsungnya hubungan imbal balik dengan sesama dan lingkungan kita agar semakin “mesra” satu sama lain.

    Mba Dyan yg baik,
    itu fiktif apa non fiktif ?

    Salam,
    gtrihatmanto

  2. Wah ceritanya mengharu biru…..aku jadi teringat orangtuaku. aku juga belum membuat mereka bahagia. Walau aku telah selesai kuliah tapi karierku agak terlunta-lunta. selain itu aku belum menemukan pasangan hidup……

  3. iyaaa!!bahasannya sama..hihi..makasi ya da mampir ke blogku dan komen.. yang jelas saat ini..q nggak mau sendirian… ^^

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

What to Read Next

Perpus Provinsi Kalimantan Selatan yang Inspiratif

Beberapa hari lalu saya mendapatkan kesempatan untuk mengisi acara diskusi literasi di Perpustakaan Provinsi Kalimantan Selatan. Sungguh sebuah kesempatan yang sangat berharga buat saya. Awal menerima undangan ini saya pikir kena prank. Masa’ iya sih ada Perpustakaan Provinsi bikin acara seperti ini, pikir saya. Tapi rupanya ibu Kepala Dinas ini...

Read More →

Berkah Dalem

Selamat merayakan Natal teman-teman, Berkah Dalem. Biasanya kalimat itu yang saya kirimkan ke sahabat dan teman-teman saya melalui WhatsApp untuk memberikan ucapan selamat Natal. Pagi tadi saya menyegarkan kembali ingatan tentang frasa Berkah Dalem, yang menurut beberapa referensi artinya Tuhan memberkati, yang menurut sejarah diambil dari kata Deo Gratia, berkah...

Read More →

44 Years of Practice

Lima tahun lalu saya dapat quote keren banget tentang usia 40, seperti ini: Gambar dari darlingquote.com Lalu tahun-tahun itu berlalu dan saya lupa apa yang jadi resolusi saya di ualng tahun saya ke-40 itu. Saya hanya ingat mengirimkan surat pada 40 orang yang pernah dan masih menggoreskan makna pada hidup...

Read More →

The Class of 94 and Beyond

Ilusi bahwa saya adalah Supergirl, Harley Quin, Black Widow, Queen of Wakanda patah sudah. Tanggal 25 Juni menerima hasil antigen positif. Tidak disarankan PCR sama dokter karena dia melihat riwayat orang rumah yang pada positif, “Save your money, stay at home, have fun, order as many foods as you like,...

Read More →

Domba New Zealand dan Pahlawan Perubahan Iklim

Pada suatu hari di bulan November 2016 bersama teman-teman dari tim Alzheimer Indonesia kami mendapat kesempatan untuk mengikuti konferensi di Wellington, New Zealand. Kok baru ditulis sekarang? Huft.. Seandainya kemalasan ada obatnya, saya antri beli dari sekarang. Ada banyak hal yang membuat orang mudah sekali jatuh hati pada Wellington, udaranya...

Read More →

Perjalanan ‘Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam’ Menemukan Jodohnya

Jodoh, rezeki dan maut ada di tangan Tuhan, katanya. Tapi kalau kita berharap Tuhan turun tangan untuk dua item pertama, nyesel sendiri lho ntar. Antriannya panjang, Sis. Ada tujuh milyar orang di muka bumi ini. Cover Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam Maka saya menjemput paksa jodoh tulisan saya pada...

Read More →

Defrag Pikiran dan Keinginan

Ada banyak peristiwa yang terjadi selama tahun 2020 ini, meskipun ada banyak juga yang kita harapkan seharusnya terjadi, tetapi belum kejadian. 2020 adalah tahun yang ajaib. Lulusan tahun ini sempat dibully sebagai lulusan pandemi. Yang keterima sekolah/kuliah di tempat yang diinginkan tidak segirang tahun sebelumnya, yang wisuda tahun ini apa...

Read More →

Didi Kempot, Sugeng Tindak Ma Lord

Hari ini status itu yang saya pasang di media sosial saya dengan foto Didi Kempot hitam putih dengan tulisan the Godfather of Broken Heart. Patahnya hati saya mungkin nggak sepatah teman-teman sadboys dan sadgirls lainnya. Saya tidak mengenal secara personal mas Didi, hanya pernah papasan di sebuah mal di Solo...

Read More →