pekerjaan radio harus penyiar ya?

Pernah denger acara radio di tahun 80-an yang mengudarakan (cie… bahasanya RRI banget) suara anak-anak TK yang berkunjung ke studio mereka dan satu persatu menampilkan kebolehan mereka. Baca puisi, deklamasi – yang ini sama aja deh kayaknya – terus menyanyi, membaca do’a atau menari? Yang terakhir aku bohong. Karena tidak pernah ada tarian yang bisa ditampilkan di radio. Nah, selain menari, pernah kan mendengar ada acara semacam itu di radio? Pernah dong… Karena ternyata acara seperti itu masih ada kok. Anakku yang masih TK B (d.h. kelas nol besar) pernah melakukannya dan dia tidak henti-henti membanggakan suaranya yang didengarkan oleh banyak orang. Nah, aku juga pernah melakukannya waktu masih kelas nol kecil.
Kami seisi kelas yang Cuma berjumlah 20 orang berangkat ke studio RRI dengan wanti-wanti pada seisi rumah untuk mendengarkan. Sebenarnya ini adalah cara jitu untuk menambah jumlah pendengar radio. Mengingat sekarang radio sudah tidak lagi menjadi media unggulan seperti jaman proklamasi dulu. Tibalah giliranku menyanyi. Ini adalah standar kata kami semua yang sudah diajarkan bu Zuhroh – nama guruku waktu itu – pada kami. Sebelum menyanyi kami akan menyapa orang tua kami di rumah.
“Bapak ibu, dhek Dian badhe menyanyi.” (bapak ibu, dhek Dian akan menyanyi). So? Mungkin orang tuaku akan langsung men-ssshhh seisi rumah demi mendengarkan suara anak mereka.
Aku lupa lagu apa yang kubawakan, gaya apa yang kupersembahkan tanpa diketahui pendengar. Yang jelas aku pulang ke rumah dengan dada penuh. Aku merasa luar biasa bangga. Tapi pada detik yang terpaut sangat tipis, kebangganku terhapuskan. Aku pulang ke rumah dengan mengucapkan salam yang dijawab serempak. Suara radio masih terdengar. Ibuku memelukku dengan bangga, sementara eyang kakung, tanpa maksud apapun memberikan komentar.
“Suaranya Dian tuh jelek ya?”
Tidak ada satu orangpun di dalam rumah yang menjawab komentar eyangku, tapi aku tahu bahwa duniaku runtuh. Aku bukan penyanyi yang baik. Aku tidak akan bisa menjadi Chica Koeswoyo atau Adi Bing Slamet. Aku tidak berguna.
Aku memang nggak nangis waktu itu. Tapi tanpa sepengetahuan orang-orang dalam keluargaku, mereka telah mengubur seorang calon Indonesian Idol. Mereka telah menyingkirkan saingan terberat Mike Mohede. Mereka tidak memberi kesempatan nama mereka muncul di ucapan terima kasih sebuah album best seller.
Tapi sekali lagi, walaupun aku anak yang penurut, aku bukanlah anak yang mudah menyerah. Waktu SD aku memang tidak memiliki kesempatan untuk bergabung dalam paduan suara, karena memang di sekolah kami tidak ada jenis kegiatan seperti itu. Waktu SMP aku menjadi anggota drum band, yang memang tidak membutuhkan vokalis. Nah, ini dia kesempatan berikutnya. Di SMA sekolah kami sering mengikuti lomba paduan suara. Waktu kelas 2, aku terpilih menjadi anggota paduan suara. Waktu itu kupikir guru kesenianku melihat kemampuan terpendamku. Tapi akal sehatku masih berpikir, dari mana dia tahu kemampuan terpendam itu? Masa’ iya sih, dari menyanyikan lagu Indonesia raya diantara 250 murid yang lain, dia bisa tahu bahwa suaraku sebenarnya bagus. Mungkin dia bahkan hanya melihat mulutku yang mangap-mangap lho. Ah, entahlah, aku percaya saja pada instingnya bahwa aku adalah calon penyanyi yang baik.
Aku menjadi anggota paduan suara, dan di hari kedua kami latihan, bu guru kesenian itu memintaku untuk berdiri di ujung sebelah kanan. Mmm… pasti supaya aku tampak kalau difoto, atau, supaya formasi kami menjadi cantik, karena tinggiku agak di atas rata-rata teman-temanku waktu itu. Tapi rupanya aku salah. Ketika lomba sudah dimulai, aku baru tahu alas an bu buru meletakkanku di barisan paling ujung. SUPAYA AKU JAUH DARI MIC.
PUAS?
Sejak hari itu, jiwa lain di dalam tubuhku semakin berontak. Aku tidak bisa dikalahkan begitu saja oleh orang lain. Aku harus memanfaatkan suaraku untuk bidang yang lain. Tukang jualan minyak tanah? Nggak mungkin! Tukang rujak? Lebih nggak mungkin lagi, aku nggak bisa membedakan kedondong dan mangga sebelum sampai di bijinya. Tukang parkir? Nggak lah! Ntar pabrik priwitan nggak laku. Lalu apa dong? Penyiar! Iya… penyiar.
Di saat aku bingung bagaimana bisa masuk radio dengan suara yang pas-pasan ini, aku ketemu dengan mas Giri. Dia adalah penyiar senior di radio Zenith. Waktu itu Zenith sedang berusaha masuk ke segment anak SMA. Maka salah satu cara termudah adalah menjadikan anak-anak SMA sebagai penyiar. Dengan modal centil dan berani ngomong, mas Giri menawariku menjadi penyiar. Whua, tentu saja ini seperti suara yang datang dari langit kan? Aku menerima begitu saja tawarannya. Padahal mungkin dia Cuma lip service ya? Tapi sudahlah. Toh kemampuan menyanyiku sama sekali tidak dibutuhkan sebagai penyiar.
Tapi ternyata aku salah. Kemampuan bernyanyi memang tidak dibutuhkan, tapi kemampuan menguasai musik (bukan alat musik) mutlak perlu. Hasilnya, aku harus berkali-kali dimarahi penyiar seniorku karena menabrak vocal. Salah menyebutkan judul lagu, tidak bisa membedakan suara penyanyi laki-laki dan perempuan. Wah! Ini parah!
Tapi dari semua keparahanku, yang membuat aku kena skorsing selama 2 minggu bukan itu semua. Aku kena skors mbak Ketty, program director-ku karena ketahuan duduk di atas meja dengan kedua kaki bersila di atasnya. Oh my God! Bahkan tidak ada satupun pendengar yang tahu kalau aku siaran tanpa baju. Please deh!
Aku sedih.
Malu.
Belakangan ini menjadi semacam tonggak yang menandai sejarah dalam hidupku. Aku sering kali mendapatkan hukuman untuk sesuatu yang tidak kulakukan. Ah, seperti tidak ada hubungannya. Tapi begitulah yang terjadi.
Akhirnya aku sudah menjalani setengah lebih dari hidupku di dunia radio. Tujuh belas tahun. Dari mulai penyiar SMA yang siaran seminggu dua kali, mendapat skorsing dua minggu, pindah ke radio lain setelah kuliah, dengan akhir karir dipecat, sekali lagi bukan karena kesalahanku, pindah radio lain dan mengundurkan diri setelah marah-marah pada pemilik perusahaan, belakangan aku juga sadar kalau akulah yang salah. Lalu masuk lagi ke radio yang lain tapi masih satu jaringan dan menjadi program director. Yang kali ini aku sama sekali tidak berharap mengalami tiga kejadian sebelumnya.
Dari empat radio yang pernah kukerjai (maksudku adalah pernah menjadi tempatku bekerja) ada satu persamaan. Setiap kali aku berkenalan dengan orang baru, dan dia bertanya, “Kerja dimana?” dan aku menjawab dengan manis, “Di radio.” Maka pertanyaan berikutnya adalah, “Penyiar ya?”
JDAG!!
Aku benci bosku! Aku benci peraturan perusahaan!
Kenapa mereka membuat aturan bahwa program director tidak boleh siaran? Kenapa mereka menetapkan kalau ada program director yang nekat siaran, maka itu tidak dihitung over time? Kenapa? Kenapa?
Sebanci-bancinya aku buat tampil, capek juga kan kalau harus bekerja ekstra tanpa bayaran? Lalu bagaimana aku harus menjawab pertanyaan orang, “Siarannya hari apa aja?” atau “Siarannya jam berapa?”
Itu semua tidak pernah dipikirkan oleh para pembuat peraturan di perusahaan ini. Hwaa… tapi sekali lagi, aku bukan orang yang mudah menyerah. Walaupun mungkin sekarang kakekku di surga akan tersenyum dan bilang, “Tuh kan?” atau malah dia sedih dan nangis, lalu memiliki pemikiran yang sama denganku, kalau dia telah menghancurkan jalan mulus cucunya?
I still love you, kung… apapun yang telah kau ucapkan, tidak ada hubungannya dengan apa yang terjadi padaku.

← PATAH HATI
GATEL? GARUK !!! →

Author:

Dian adalah penulis Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam dan 8 novel serta kumpulan cerita lainnya. Peraih grant Residensi Penulis Indonesia 2019 dan She Creates Change Green Camp 2020 ini lahir tahun 1976, belajar komunikasi di Universitas Diponegoro dan STIK Semarang, lalu lanjut belajar perlindungan anak di Kriminologi UI. Dia adalah anak ke-2 dari 4 bersaudara, ibu dari Vanya Annisa Shizuka dan beberapa anak lain. Saat ini Dian menghabiskan banyak waktunya menjadi penulis lepas dan konsultan untuk isu perlindungan anak dan kekerasan berbasis gender.

  1. Lho.. itulah gunanya kau diberi anugerah mendapat embel2 ‘director’, sayang. Manfaatkanlah jabatanmu ini seperti banyak pejabat2 dinegeri ini untuk mensejahterakan diri sendiri.

    Buatlah sebuah acara dimana seolah2 acara itu hanya akan bisa jalan kalau KAU sendiri yang menjadi host-nya. Misalnya : DIAN PURNOMO’S CORNER (ih, kok kaya nama stand jualan Pop Corn ya). Nggak mungkin tho kalau acara itu di’gawangi’ oleh penyiar bernama Jujuk Srimulat, misalnya???

    Itulah tips maha dahsyat dari PD radio tetangga yang rajin sekali siaran weekend, karena DAPET BAYARAN!!
    Hueheehehe..

    Permisi.

  2. hoahahaha… lucu ik..
    mbak dian masih bisa dikategorikan SANGAT BERUNTUNG loh! bisa jadi penyiar di Zenith cuma dengan modal “centil” ama mas giri…
    Fyi, aku ga cuma centil, tapi udah hot dan extra agresif ngejar – ngejar mas giri (kaya banteng ngejar matador gitu..) biar dijadiin penyiar di Zenith. Ga usah 2x seminggu wis, sebulan sekali juga mau… TApi .. tau ga apa jawabanya… TIDAK!
    Kira – kira 10 kali meminta dan merengek, jawabannya 10 kali TIDAK!!! HIKS… HIKS…

    How lucky you…. 🙂

  3. hahaha
    jeng Lenna kurang usaha!!
    mungkin jangan mas Giri yg kita kejar-kejar sekarang, anaknya kita ancam, biar bapaknya nyerah, hehe
    kidding

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

What to Read Next

Perpus Provinsi Kalimantan Selatan yang Inspiratif

Beberapa hari lalu saya mendapatkan kesempatan untuk mengisi acara diskusi literasi di Perpustakaan Provinsi Kalimantan Selatan. Sungguh sebuah kesempatan yang sangat berharga buat saya. Awal menerima undangan ini saya pikir kena prank. Masa’ iya sih ada Perpustakaan Provinsi bikin acara seperti ini, pikir saya. Tapi rupanya ibu Kepala Dinas ini...

Read More →

Berkah Dalem

Selamat merayakan Natal teman-teman, Berkah Dalem. Biasanya kalimat itu yang saya kirimkan ke sahabat dan teman-teman saya melalui WhatsApp untuk memberikan ucapan selamat Natal. Pagi tadi saya menyegarkan kembali ingatan tentang frasa Berkah Dalem, yang menurut beberapa referensi artinya Tuhan memberkati, yang menurut sejarah diambil dari kata Deo Gratia, berkah...

Read More →

44 Years of Practice

Lima tahun lalu saya dapat quote keren banget tentang usia 40, seperti ini: Gambar dari darlingquote.com Lalu tahun-tahun itu berlalu dan saya lupa apa yang jadi resolusi saya di ualng tahun saya ke-40 itu. Saya hanya ingat mengirimkan surat pada 40 orang yang pernah dan masih menggoreskan makna pada hidup...

Read More →

The Class of 94 and Beyond

Ilusi bahwa saya adalah Supergirl, Harley Quin, Black Widow, Queen of Wakanda patah sudah. Tanggal 25 Juni menerima hasil antigen positif. Tidak disarankan PCR sama dokter karena dia melihat riwayat orang rumah yang pada positif, “Save your money, stay at home, have fun, order as many foods as you like,...

Read More →

Domba New Zealand dan Pahlawan Perubahan Iklim

Pada suatu hari di bulan November 2016 bersama teman-teman dari tim Alzheimer Indonesia kami mendapat kesempatan untuk mengikuti konferensi di Wellington, New Zealand. Kok baru ditulis sekarang? Huft.. Seandainya kemalasan ada obatnya, saya antri beli dari sekarang. Ada banyak hal yang membuat orang mudah sekali jatuh hati pada Wellington, udaranya...

Read More →

Perjalanan ‘Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam’ Menemukan Jodohnya

Jodoh, rezeki dan maut ada di tangan Tuhan, katanya. Tapi kalau kita berharap Tuhan turun tangan untuk dua item pertama, nyesel sendiri lho ntar. Antriannya panjang, Sis. Ada tujuh milyar orang di muka bumi ini. Cover Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam Maka saya menjemput paksa jodoh tulisan saya pada...

Read More →

Defrag Pikiran dan Keinginan

Ada banyak peristiwa yang terjadi selama tahun 2020 ini, meskipun ada banyak juga yang kita harapkan seharusnya terjadi, tetapi belum kejadian. 2020 adalah tahun yang ajaib. Lulusan tahun ini sempat dibully sebagai lulusan pandemi. Yang keterima sekolah/kuliah di tempat yang diinginkan tidak segirang tahun sebelumnya, yang wisuda tahun ini apa...

Read More →

Didi Kempot, Sugeng Tindak Ma Lord

Hari ini status itu yang saya pasang di media sosial saya dengan foto Didi Kempot hitam putih dengan tulisan the Godfather of Broken Heart. Patahnya hati saya mungkin nggak sepatah teman-teman sadboys dan sadgirls lainnya. Saya tidak mengenal secara personal mas Didi, hanya pernah papasan di sebuah mal di Solo...

Read More →