ulat dan pohon bunga matahari

Pada suatu pagi, seekor ulat merayap di pohon bunga Matahari. Dia merasa saatnya sudah tiba. Bulu-bulunya harus segera rontok, badannya akan beku. Mungkin dia juga akan kehilangan teman. Mendekam, bersemedi di dalam kepompong. Ulat tidak takut. Cukup sudah hidup yang dijalaninya sebagai ulat. Sekarang saatnya menjadi aneh, asing, beda dan kembali ke dunia yang sama sebagai seekor kupu.
Ulat memutuskan untuk bermeditasi, bersemedi, mengurung diri di batang pohon …
Dia bergeral dan berayun-ayun terus mencoba mengajak sang pohon untuk berbincang. Setidaknya perbincangan terakhirnya sebelum surut dan bermetamorfosa menjadi cantik. Menjadi dirinya sendiri dalam bentuk yang lebih baik, bukan lebih sempurna karena memang tidak ada yang sempurna di muka bumi ini, tapi lebih indah.
Pohon itu, karena sudah berdiri di tempat yang sama, dihinggapi berpuluh-puluh hewan, sama sekali tidak bergeming mendengar ajakan bicara sang Ulat.
“Apa yang membuatku harus merasa kalau kau adalah sesuatu? Apa yang kamu miliki?” Pohon itu sama sekali tidak bermaksud sombong. Dia hanya sedang tidak ingin membuang waktunya untuk seekor ulat kecil yang kehadirannya sudah dirasakan di pijakan pertama ulat itu. Pohon itu merasa sedang menikmati dunia, menikmati tempatnya berdiri sampai akhir hayat nanti.
“Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya ulat kecil yang ingin memohon untuk dibiarkan menyendiri di tubuhmu. Menjadi temanmu sampai waktunya tiba.”
Pohon bunga Matahari menundukkan diri sesaat.
“Aku, karena panggilan dari alam, harus menjadi lebih baik. Harus menjadi lebih cantik.”
Tentu saja sebenarnya pohon itu tidak pernah merasa keberatan, ini memang bukan yang pertama kalinya seekor ulat meminjam tubuhnya untuk menjadi tempat semedi. Ini juga bukan yang pertama kalinya dia akan merasa dimanfaatkan lalu ditinggalkan. Mereka akan pergi begitu saja, ketika sudah menjadi kupu-kupu. Tapi ulat kali ini berbeda. Dia meminta ijinnya untuk berubah menjadi kupu-kupu. Adalah sebuah kehormatan baginya.
Pohon itu sudah tidak lama lagi usianya. Pohon bunga Matahari tidak akan bertahan sampai puluhan tahun. Bahkan tidak sampai setahun.
“Ulat kecil,” akhirnya sang pohon membuka suara, “Bagaimana jika aku menolak untuk membiarkanmu berkepompong di bawah daun-daunku?”
“Boleh aku tahu kenapa?”
“Bagaimana jika aku keberatan menyebutkan alasan? Aku adalah milih tubuhku dengan semua rahasia yang ada di dalamnya.” Pohon itu masih mencoba jual mahal. Dia tahu dia tidak punya pilihan. Ulat itu memang sudah terlalu renta untuk terus melata, kotor dan membuat orang yang memandangnya merasa jijik dan gatal.
“Aku memang tidak punya alasan yang indah untuk memilihmu. Ini semua seperti sudah ada yang mengatur. Kemampuanku bergerak terhenti padamu. Kamu tidak pernah menghampiriku, tapi aku yang datang padamu. Aku memohon untuk dibiarkan bersamamu. Mungkin aku memang akan pergi begitu saja ketika menjadi kupu, atau bisa saja batangmu yang ditebas orang ketika aku belum sempurna menjadi kupu. Tapi tidakkah kehadiranku yang sesaat ini memberimu arti?”
Pohon bunga Matahari merasa takjub dengan jawaban ulat itu. “Apa itu?”
“Di antara kediamanmu menunggu waktu, aku akan berdiam menemanimu. Juga menunggu waktuku.”
“Apa yang kau tahu tentang waktu?”
“Tidak lebih banyak darimu. Yang aku tahu, akan tiba saat aku menjadi kupu, hinggap di bungamu, bertelur, lalu sayapku mulai renta, rapuh, tidak sanggup lagi terbang, dan mati.”
Pohon bunga Matahari terdiam. Dia mencintai hewan-hewan yang pernah hinggap di tubuhnya, ulat yang menggerogoti daunnya, angin yang menghamburkan serbuk bunganya, matahari yang membuatnya pusing karena harus mengikuti arahnya, tapi dia belum pernah merasa sehidup ini, hanya karena seekor ulat yang akan hinggap di daunnya selama beberapa hari.
Ulat diam menunggu jawaban pohon.
Pohon diam menunggu pikirannya yang berkecamuk menjadi tenang.
Angin diam menunggu akhir cerita dua mahluk Tuhan ini.
Pohon bunga Matahari menundukkan tubuhnya, dipeluknya ulat kecil itu. Direngkuhnya dengan daun yang masih utuh dan lembut. Diselimutinya seluruh tubuh mahluk kecil itu dengan cinta.
Angin kembali bertiup.
Dunia berputar kembali dan tidak ada yang peduli.
Ulat kecil itu, merasa bahagia dan dia bergelayut mesra di daun itu. Dia rela kalau harus terus bertapa. Bahkan bayangan keindahan dirinya yang akan menjadi kupu-kupu tidak lagi menarik. Dia hanya ingin berada dekat pohon bunga Matahari. Menemani. Ditemani.

← Iklan radio, Zonder Gambar, Ora Hambar
life is not a soccer game →

Author:

Dian adalah penulis Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam dan 8 novel serta kumpulan cerita lainnya. Peraih grant Residensi Penulis Indonesia 2019 dan She Creates Change Green Camp 2020 ini lahir tahun 1976, belajar komunikasi di Universitas Diponegoro dan STIK Semarang, lalu lanjut belajar perlindungan anak di Kriminologi UI. Dia adalah anak ke-2 dari 4 bersaudara, ibu dari Vanya Annisa Shizuka dan beberapa anak lain. Saat ini Dian menghabiskan banyak waktunya menjadi penulis lepas dan konsultan untuk isu perlindungan anak dan kekerasan berbasis gender.

  1. kpn aq bs myakinkan diri aq klo “dia” yg tbaek untuk menemani aq spanjang hdp aq?????

  2. Wah postingan lama nih tp menarik.
    Si ulat biarpun ga tertarik lagi, udah takdirnya menjadi kupu2. Pohon bunga mataharipun udah takdirnya akan mekar. BErarti ganti gaya aja tp tetep deket2an.
    Hahahahahhaa…. Peace, Yan..!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

What to Read Next

Perpus Provinsi Kalimantan Selatan yang Inspiratif

Beberapa hari lalu saya mendapatkan kesempatan untuk mengisi acara diskusi literasi di Perpustakaan Provinsi Kalimantan Selatan. Sungguh sebuah kesempatan yang sangat berharga buat saya. Awal menerima undangan ini saya pikir kena prank. Masa’ iya sih ada Perpustakaan Provinsi bikin acara seperti ini, pikir saya. Tapi rupanya ibu Kepala Dinas ini...

Read More →

Berkah Dalem

Selamat merayakan Natal teman-teman, Berkah Dalem. Biasanya kalimat itu yang saya kirimkan ke sahabat dan teman-teman saya melalui WhatsApp untuk memberikan ucapan selamat Natal. Pagi tadi saya menyegarkan kembali ingatan tentang frasa Berkah Dalem, yang menurut beberapa referensi artinya Tuhan memberkati, yang menurut sejarah diambil dari kata Deo Gratia, berkah...

Read More →

44 Years of Practice

Lima tahun lalu saya dapat quote keren banget tentang usia 40, seperti ini: Gambar dari darlingquote.com Lalu tahun-tahun itu berlalu dan saya lupa apa yang jadi resolusi saya di ualng tahun saya ke-40 itu. Saya hanya ingat mengirimkan surat pada 40 orang yang pernah dan masih menggoreskan makna pada hidup...

Read More →

The Class of 94 and Beyond

Ilusi bahwa saya adalah Supergirl, Harley Quin, Black Widow, Queen of Wakanda patah sudah. Tanggal 25 Juni menerima hasil antigen positif. Tidak disarankan PCR sama dokter karena dia melihat riwayat orang rumah yang pada positif, “Save your money, stay at home, have fun, order as many foods as you like,...

Read More →

Domba New Zealand dan Pahlawan Perubahan Iklim

Pada suatu hari di bulan November 2016 bersama teman-teman dari tim Alzheimer Indonesia kami mendapat kesempatan untuk mengikuti konferensi di Wellington, New Zealand. Kok baru ditulis sekarang? Huft.. Seandainya kemalasan ada obatnya, saya antri beli dari sekarang. Ada banyak hal yang membuat orang mudah sekali jatuh hati pada Wellington, udaranya...

Read More →

Perjalanan ‘Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam’ Menemukan Jodohnya

Jodoh, rezeki dan maut ada di tangan Tuhan, katanya. Tapi kalau kita berharap Tuhan turun tangan untuk dua item pertama, nyesel sendiri lho ntar. Antriannya panjang, Sis. Ada tujuh milyar orang di muka bumi ini. Cover Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam Maka saya menjemput paksa jodoh tulisan saya pada...

Read More →

Defrag Pikiran dan Keinginan

Ada banyak peristiwa yang terjadi selama tahun 2020 ini, meskipun ada banyak juga yang kita harapkan seharusnya terjadi, tetapi belum kejadian. 2020 adalah tahun yang ajaib. Lulusan tahun ini sempat dibully sebagai lulusan pandemi. Yang keterima sekolah/kuliah di tempat yang diinginkan tidak segirang tahun sebelumnya, yang wisuda tahun ini apa...

Read More →

Didi Kempot, Sugeng Tindak Ma Lord

Hari ini status itu yang saya pasang di media sosial saya dengan foto Didi Kempot hitam putih dengan tulisan the Godfather of Broken Heart. Patahnya hati saya mungkin nggak sepatah teman-teman sadboys dan sadgirls lainnya. Saya tidak mengenal secara personal mas Didi, hanya pernah papasan di sebuah mal di Solo...

Read More →