jangan ganyang malaysia

Dor!!!

Udah lama banget nggak nulis. Belum sempat juga blogwalking. So here I am, berusaha melemaskan jemari dan sel-sel kecil kelabu di dalam kepala saya dengan tulisan ini. Tulisan ini berawal dari status beberapa teman, yang bunyinya senada: GANYANG MALAYSIA. Haduh… Ini apa lagi to? Kok pada seneng banget kalo diajak ganyang-ganyangan sih…

So this is my two cents about this ganyang-ganyangan thing. Kenapa kita kok jadi pada sewot sama Malaysia yang ‘katanya’ mengklaim ini itu sebagai miliknya. Dari mulai lagu Rasa Sayange, batik, sampai yang paling baru adalah tari Pendet. Hayo… hayo… siapa yang ikut-ikut panas sama klaim-klaim Malaysia itu??

( indonesia.deviantart.com/art/Classic-Tari-Pen..)

Saya pernah ikut panas, sampai akhirnya kebal dan malah mensyukuri perbuatan mereka. Kenapa? Karena sejak klaim batik jadi punya Malaysia, koleksi batik di lemari saya jadi bertambah banyak dan saya sampai bisa membedakan batik Lasem, batik Madura, batik Solo dan batik Jogja kraton yang ternyata arah parangnya berlawanan. Saya bela-belain dengan semangat 45 dan perut kosong jalan di museum batik Solo untuk melihat dan mempelajari batik. Saya ke kampung batik di Solo dan ngobrol sama salah satu pengusaha batik di sana yang ternyata adalah eksportir tetap ke Malaysia. Waktu itu saya bercanda, bilang ke dia, “Wah… ibu nih, yang bikin Malaysia jadi mengklaim batik punya dia.” Dia bilang, “Saya ini kan cuma pedagang mbak. Saya jualan buat hidup saya dan beberapa puluh pegawai saya, juga anak-anak dan istri mereka. Di Indonesia batik saya ndak laku. Orang cuma keluar masuk toko dan lihat-lihat. Di Malaysia, batik saya dibeli dengan harga bagus.”

Owh… saya tertampar. Iya juga ya? Hayo… siapa yang di lemarinya punya banyak kain batik hasil lukisan atau cap-capan para pekerja batik itu? Semoga semua orang tunjuk jari yang sekarang. Tidak bermaksud menyalahkan. Tapi memang demikianlah kondisi negara ini. Sebagian besar warganya masih sampai di tataran ngurusin perut saja. Besok mau makan apa, bulan depan tunggakan sekolah anak mesti dibayar, kayaknya listrik mesti nyantol tetangga karena nggak sanggup bayar sendiri, apapun yang berbusa bisa dipakai untuk mencuci baju, gosok gigi dan mandi, nyuci air beras di kali nggak papa, toh airnya mengalir, bodo’ amat di hulu sana ada yang punya penyakit kulit dan pub di aliran airnya.

Lalu, mari kita beranjak ke kasus lain yang pernah saya temui. Pada suatu hari, seorang produser saya, almarhum Aldin pernah interview dengan para pekerja seni di Semarang. Wayang Ngesti Pandowo. Untuk sekali manggung mereka mendapat bayaran nggak lebih dari 15 ribu rupiah ketika itu. Terus, anaknya mau dikasih makan apa? Beli bedak sama gincunya pake apa? Transport buat pulang dapat dari mana?

Nah, sekarang terbayang lagi kan, kalau mereka tiba-tiba ditawarin buat jalan-jalan ke luar negeri dengan bayaran berratus-ratus kali lipat, dengan prestis yang lebih gaya, dengan applaus yang lebih banyak, dengan penghargaan yang lebih tinggi? Hayo… gimana ini? Bingung kan? Sama!

 

(www.lintasdaerah.com)

Nah, saya kemaren mencoba membuat analogi ke teman saya – yang tinggal di Bali bernama Shantoy – yang saya rasa agak kurang pas. Tapi biarlah, saya memang bukan manusia analog, anyway. Gini, “Jadi gini Toy.. bayangin kalau kamu lagi laper haus di padang pasir. Eh di sana lihat es teh lengkap dengan cucuran keringat kayak pas keluar dari kulkas gitu. Pengen di-klaim nggak? Itu es teh kayak nggak ada yang punya deh. Didiemin gitooohhh…”

Es teh itu kan pasti lebih senang kalau ada yang meminumnya towh? Namanya juga es teh. Ah… sungguh analogi yang ngawur, tapi ndak papa lah. Mari kita hargai kebebasan saya berpendapat. Hehe…

Kalau saya sendiri, saya akan bangga dengan banyaknya klaim-klaim itu. Percaya deh, semakin banyak yang di-klaim, semakin banyak orang Indonesia yang cinta sama budayanya. Habis kalau nggak diklaim kita suka nggak nyadar sih, udah hidup di negara yang kaya.  Nah… sekarang, yuwk kita berhenti teriak-teriak ganyang sana-sini. Mari kita ambil cermin, ngaca sebentar, lalu berbenah. Nggak perlu nyalah-nyalahin siapapun, asal semua mau menunjukkan cintanya sama negerinya, bangga sama merah putihnya, menghargai budaya bangsanya, dan juga tidak mencuri hak milik bangsa lain, kayaknya orang lain juga malu mau ngambil es teh kita. Eh… budaya kita maksudnyah…

Aduh… saya ini ngomong apa sih???

← Sang Burung Merak Tlah Pulang
rindu →

Author:

Dian adalah penulis Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam dan 8 novel serta kumpulan cerita lainnya. Peraih grant Residensi Penulis Indonesia 2019 dan She Creates Change Green Camp 2020 ini lahir tahun 1976, belajar komunikasi di Universitas Diponegoro dan STIK Semarang, lalu lanjut belajar perlindungan anak di Kriminologi UI. Dia adalah anak ke-2 dari 4 bersaudara, ibu dari Vanya Annisa Shizuka dan beberapa anak lain. Saat ini Dian menghabiskan banyak waktunya menjadi penulis lepas dan konsultan untuk isu perlindungan anak dan kekerasan berbasis gender.

  1. hemmm….. Nice dan betul juga sih. tapi saya tetep panas dengan Klaim Malaysia. Semoga di masa yg akan datang pemerintah kita bisa melindungi kebudayaan Bangsa. Y ga??
    Salam Kenal.

  2. Inilah cermin bangsa kita… Udah diberi warisan yg sangat berharga, bahkan bikin ngiler negara tetangga dan bangsa lain…tapi sering tak menghargai serta merawatnya dgn baik…
    Klaim ini, bisa jadi terapi utk kita2…terutama generasi penerus kita, agar lebih menghargai dan merawat serta melindungi kekayaan budaya bangsa…
    Nice post, sobat… Salam kenal yaa…

    Salam hangat dan damai selalu…

  3. Syukurlah akhirnya iklan dengan Tari Pendet itu dicabut. Part mensejahterakan para pekerja seni itu ada di tangan pemerintah sebagian besar. Kebijakan2 yg proaktif mendukung kebudayaan kita sangat dibutuhkan. Kenapa masyarakat kita sendiri tidak bisa bangga dgn batik? Kenapa daya beli masyarakat lemah? Kenapa dan kenapa lainnya? Sikap kita yg reaksioner terhadap Malaysia gw pikir wajar. Sama aja kan kalo tiba2 Cappoeira kita masukin dalam promo wisata kita, bisa ditendangi bola deh ama org Brazil. Langkah mempatenkan bukan solusi tapi ada hal yg tidak dipandang oleh Malaysia dan itu membuat sentimen ganyang gw mendidih, ETIKA.

  4. Salam kenal mba Dian…

    Ya memang seperti kan watak dasar manusia mba, merasa memiliki dan butuh ketika sudah hampir menghilang…
    Tapi meski begitu, sikap Malaysia yang mengakui sesuatu yang bukan miliknya memang sangatlah tidak bijak…Masak tetangga sendiri dimakan juga sih…
    Cuma ya tetap saja “ganyang mengganyang” bukanlah cara yang baik tentunya…

    Salam persahabatan! Aku link blognya ya mba, terima kasih…

  5. saya tidak terlalu peduli siapa yang punya dan siap yang cuma main klaim. bukan sesuatu yang substansial.

    yang lebih penting adalah bagaimana wilayah darat, laut dan udara serta aset budaya memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk kemanusiaan.

  6. @ ketiga… cletukan brilian bos. fenomena tersebut menunjukkan betapa bangsa ini telah kehilangan jati dirinya. kita telah kehilangan rasa bangga berbangsa indonesia. kita “mengklaim” cinta tanah air tapi tidak cinta produk nasional. sama juga ngibul.

    mestinya kita berkaca pada india, yang bangga dengan kain sari dan mobil butut produksi dalam negerinya. mulai rakyat jelata sampai perdana menterinya pake mobil dalam negeri. dan sekarang kita bisa melihat hasil ketekunan dan kegigihan mereka.

  7. blogwalking…
    membaca postingan ini jadi bikin otak ini berputar juga, emang rada setuju dengan statement bangsa ini kadang lupa ma budaya sendiri, tetapi tetap saja tidak setuju dengan cara malaysia untuk mengambil keuntungan ekonomi dari kebudayaan indonesia… 🙂
    hanya sharing saja, dan salam kenal….

  8. Biarin aja kalo yang mau ganyang, lha wong pemerintah kita adem2 aja, tanpa Nota Protes.
    Lagian tinggal klaim balik apa susahnya hehehe.
    trus yang mau ganyang2an itu apa gak mikir, bisa apa kita? Kapal fregat kita berkeliaran di Ambalat, malaysia cuma kirim kapal patroli kecil, apa yang dilakukan si Fregat? Nothing.
    Pemerintah kita juga nggak bisa apa2 soal klaim2an itu karena gak ada pernyataan resmi dari pemerintah sono.

    Daripada sibuk berusaha ganyang2an yang lebay itu, mending kita menyadarkan mereka bahwa mental “indon” itu salah. Paling gak di negara kita gak muncul pernyataan resmi kalo H1N1 itu disebabkan oleh kebiasaan masturbasi, seperti yang dikeluarkan pemerintah malaysia :D.

    Loh kok jadi kemana2? 😀

    Soal Pendet, orang dunia lebih banyak tau bali, jadi gak perlu kuatir.

    “trully asia” sebuah klaim yang tidak terbatas pada indonesia hehehehe

  9. semula saya juga ikut sewot. namun setelah membaca postingan ini, saya sadar, yang lebih penting bukan apa yang mesti kita lakukan thd malaysia. tapi, apa yang harus kita lakukan thd seni dan budaya yg kita punya!

  10. Kita (orang Indonesia) emang kayak anak kecil dengan mainannya. kurang peduli dengan kekayaan yang dipunyai. Kadang mainan dan hartanya kececeran di mana-mana gak keurus. Sering malah lupa dan gak tahu kalau punya mainan itu.

    Namun gantian ada yang coba ngambil mainannya baru keinget dan sok bela-belain. sok nunjuk-nunjukin perhatian sama mainannya tersebut.

  11. dah lama ga bw ke blogmu, Jeng.
    Kalo tadi pagi dengerin siaran lokalnya Trijaya Jogja, celetukan penyiarnya lucu, waktu interview dengan salah satu narasumber. Celetukannya adalah,”Saya jadi mikirnya begini, Pak. Sepertinya ada pesan untuk masyarakat dunia…lihatlah budaya indonesia di tempat yang aman”. Karena menurut pendapat si narasumber, kasus claims si malay ini berhubungan dengan pariwisata.

  12. @deviw
    dan siapa biang ketidakamanan Indonesia? hehehe
    Si warga Malaysia itu ya…

    uuhh beda IP, pasti perlu di moderasi lagi hihihi

  13. masing2 mesti introspeksi. Malaysia berhenti jadi malingsia (ada es teh nganggur yg bukan miliknya toh bukan berarti dia berhak mengambilnya..) smntara orang Indonesia mesti berhenti omdo (omong doang). slogan ‘cinta Indonesia’ bertebaran di sana sini, tapi kenyataannya kurang sejalan….

  14. wuawww…

    saya merasa tertonjok juga dengan tulisan ini..

    memang ati boleh aja panas ketika kepunyaan negara kita tercinta diklaim oleh negara lain. Tapi ada hal positif yang mestinya kita sadari dan renungkan. Bahwa rasa nasionalisme kita sebagai bangsa ikut meninggi dengan adanya masalah ini. Koleksi batik jadi lebih banyak memenuhi lemari pakaian kita. Kita menjadi sangat gemar mengibarkan bendera merah putih dimanapun. Lagu kebangsaan dan lagu nasional berkumandang menjadi alternatif lagu-lagu mainstream sekarang..

    tulisan ini setidaknya membuat pikiran saya menjadi terbuka dan tidak asal tuduh mengenai perdebatan dan sengketa antara kedua negara..

    terimakash saudara diyan….

    TABIIKK…

  15. dan sekarang Lagu kebangsaan kita diplesetkan dan dihina 😀

    sepertinya semboyan “kalo ingin damai, harus berani berperang” sudah waktunya dilakukan.

  16. untung gw buka ini duluh sblm mosting di web gw hahahahah, dikira kembar ntar ya. terakhir tentang indonesia raya yang diplesetin itu. kupikir2 gak perlu marah juga, lha wong rapat dpr ri yang terhormatpun lupa gak nyanyiin indonesia raya di awal sidang. jadi biar jd pelajaran buat kita sendiri.

  17. Saya setuju dengan mbak Dian. tadinya emosi juga dengar isue-isuenya. He he, tapi sekarang adheemmmm. Memang harusnya dari kita sendiri, mulai sekarang juga dan dari hal yang paling mungkin kita bisa dan harus lakukan untuk paling tidak tahu akan budaya kita masing masing, he he.. Sukur2 bisa melestarikan. Aku mau cari baju batik ah… Besok pagi kondangan ke resepsi temen yang lg maried.

  18. setuju sama jeng Ade
    mbak Liyak, tulisan sama ya ndak papa. song kita ini semacam kembaran juga to? *ndak ijih?*
    rhyndu, hayoooo… belanja batik rakyat ya… jangan yang tekstil, itu buatan pabrik, nggak seru dan nggak sampai ntar misinya.

  19. haha, gak nyangka bosku yang irit irit ngomong ini jago nulis. pagi pagi baca tulisan ini rasanya kayak habis disiram air es segentong. kaget dikit sih, tapi langsung bangun, segeeeeer, mak ceeesss gitu.

    well, kemakan panas panasan media sih iya ya, apalagi pas tau rentetan colongannya sebanyak ini (and still counting sampai detik ini). puncak titik baliknya ketika ada berita Malaysia dengan sangat (bodoh karena terlalu berimajinasi) mencantumkan SBY sebagai presidennya di promo pariwisatanya (ya, berita ini sempat ramai di Twitter). gusti, waktu itu aku ngakak. habis. dan sadar seketika kalau toh Malaysia itu gak salah, negeri kita sendiri saja yang lupa diri, terlalu asyik dengan “mainan” sembarangnya, Malaysia cuma memanfaatkan apa yang selama ini agak dilupakan sama empunya. see? itu bukan nyolong kan. Malaysia cuma “nemu” haha 🙂

    entar deh, kubikin kaos khusus dengan tulisan:

    Malaysia Truly Indonesia 🙂

  20. hmmm,,kadang-kadang begitulah orang Indonesia,,jika sedang asyik dengan dunianya tidak memikirkan dan menghargai hasil budaya bangsa sendiri..
    tapi ketika keadaan sudah seperti sekarang baru seperti kebakaran jenggot T_T

  21. Btul, btul, btul!
    Ini posting beda. Biasax tmn2 blogger bikin tulisan yg mencela, mengumbar kebencian, dll. Termasuk sy juga sih. Wah sy jg malu juga cm melihat dari satu sisi.
    Terima kasih mba..

  22. Iya jeng.
    Ibarat kita adalah bangsa beruntung yang memperoleh warisan budaya yang begitu banyaknya. Saking banyaknya kita menganggap semua itu biasa saja, bahkan sampai lupa kita begitu kaya akan budaya.
    Ironisnya, dengan begitu banyak kekayaan budaya kita malah tergiur dengan budaya orang. Al hasil budaya kita yang begitu kaya, diklaim orang deh… 🙂

    Thanks for your point of view, it gives me another way to see that problem. 🙂

  23. waw sebuah analisis yang beda dan unik. memang benar klaim seperti ini tidak sepenuhnya salah pengklaim. paling tidak kita harus instrospeksi apakah kita benar-benar sudah menjaga aset bangsa ini dengan sangat baik? jangan2 kita telah membiarkannya dan baru bereaksi ketika telah diklaim orang. sungguh ini benar2 pengalaman berharga bagi bangsa ini.
    Iklan Gratis

  24. 🙂 Sebelumnya saya juga sempat merasa panas dengan Malaysia Mbak… soalnya bagaimanapun juga tetep adalah harga diri sebagai bagian dari Bangsa ini yang ke-injak…

    Tapi kemudian saya berpikir juga… Sampai saat ini, sudah sejauh apa Bangsa INdonesia ini menghargai ‘Kebudayaannya’…

    Bangsa kita ini adalah bangsa yang tidak bisa menghargai ‘kekayaan’ yang kita miliki Mbak…

    Contohnya… ketika Simpadan dan Lingitan lepas dari dekapan Bumi Pertiwi… kita marah…

    Coba kita berkaca… selama belasan tahun terakhir ini, apa yang sudah kita perbuat untuk kedua pulau itu? Apakah ada pemerintah kita memperhatikan penduduk di kedua pulau itu…

    Malah justru Malaysia lah yang memperhatikan mereka dan membangun kedua pulau itu…

    Kalau kemudian ketika di bawa ke Mahkamah Internasional dan kemudian kita kalah… ya wajar lah… Kita memang nggak pernah peduli kok…

    Bangsa kita inilah yang seharusnya berkaca… sudah sejauh mana sih kita menghargai kekayaan budaya Negeri ini…

    Kalau kita nggak bisa, Orang lain yang akan membelinya…
    Saya sependapat dengan Mbak Dian dalam hal ini…

    Rizal

  25. duh…ganyang malaysia?? kyknya setuju ajah sih mnurutku mrka uda keterlaluan gitu…parahnya lagi tari pendet yg notabenenya jelas2 dari Indonesia-Bali..

    tp..kl malaysia g ngeklaim mgkn efeknya g kayak gini..skrang kita sbgai bangsa indonesia jd lebih menghargai dan mencintai budaya kita sendiri..

    gitu loh mbak dian..pendapat aku …

    hehehe…INDONESIAUNITE

  26. Soal pendet, itu sudah jelas kok bukan pemerintah mereka yang ngeklaim :D.
    Soal ganyang mengganyang, apa bener itu cara yang paling efektif? apa bukan hanya sekedar wacana. Gimana tindakan realnya? apa kita (saya) harus ambil palu dan menuju ke malay?

    mending yang real.
    saya (kita) yang tidak punya kemampuan sejauh itu, cukuplah dengan memboikot produk2 mereka.
    jangan isi bensin di petronas, jangan beli roti di roti boy, jangan sarapan pake quacker oat, dan jangan pake produk2 mereka baik yang asli maupun yang lisensi 😀

  27. you all benda2 macam ni pun kecoh ke?
    Memang Mundur la negara indonesia macamni.
    Tumpukan saja pada Nordin M top, TKI
    kamu semua memang ngak mahu hidup senang seperti malaysia yah..mahu susah sampei mati kali.

  28. tiada satu pun sebenarnya di klaim oleh kerajaan malaysia terhadap sesuatu budaya..yang di promosikan adalah kepelbagaian budaya hasil dari kaum-kaum yang datang berhijrah kemalaysia ratusan tahun dahulu.

    tarian penorogo ada di johor sejak ratusan tahun lamanya..masakan minang atau budaya minang sudah ada di negeri sembilan kerana di bawa oleh kaum minangkabau ratusan tahun dahulu.

    Negara China dan India tidak pernah memprotes kerana budaya mereka di promosikan di malaysia kerana mereka tahu keadaan sebenarnya

    Pada pandangan saya..protes ganyang malaysia terjadi kerana perebutan pulau sipadan dan Ambalat..tuduhan meng klaim budaya hanya sebagai punca…

  29. Dulu Malaysia dan Indonesia tiada, yang ada ialah Alam Melayu lalu penjajah Belanda dan Inggeris bahagi dua supaya senang dipecah perintah dan dirompak segala hasil, sebab itu lah semua budaya yang ada di Indonesia ada di Malaysia cuma berbeza nama dan cara sahaja, contoh batik solo, batik kelantan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

What to Read Next

Perpus Provinsi Kalimantan Selatan yang Inspiratif

Beberapa hari lalu saya mendapatkan kesempatan untuk mengisi acara diskusi literasi di Perpustakaan Provinsi Kalimantan Selatan. Sungguh sebuah kesempatan yang sangat berharga buat saya. Awal menerima undangan ini saya pikir kena prank. Masa’ iya sih ada Perpustakaan Provinsi bikin acara seperti ini, pikir saya. Tapi rupanya ibu Kepala Dinas ini...

Read More →

Berkah Dalem

Selamat merayakan Natal teman-teman, Berkah Dalem. Biasanya kalimat itu yang saya kirimkan ke sahabat dan teman-teman saya melalui WhatsApp untuk memberikan ucapan selamat Natal. Pagi tadi saya menyegarkan kembali ingatan tentang frasa Berkah Dalem, yang menurut beberapa referensi artinya Tuhan memberkati, yang menurut sejarah diambil dari kata Deo Gratia, berkah...

Read More →

44 Years of Practice

Lima tahun lalu saya dapat quote keren banget tentang usia 40, seperti ini: Gambar dari darlingquote.com Lalu tahun-tahun itu berlalu dan saya lupa apa yang jadi resolusi saya di ualng tahun saya ke-40 itu. Saya hanya ingat mengirimkan surat pada 40 orang yang pernah dan masih menggoreskan makna pada hidup...

Read More →

The Class of 94 and Beyond

Ilusi bahwa saya adalah Supergirl, Harley Quin, Black Widow, Queen of Wakanda patah sudah. Tanggal 25 Juni menerima hasil antigen positif. Tidak disarankan PCR sama dokter karena dia melihat riwayat orang rumah yang pada positif, “Save your money, stay at home, have fun, order as many foods as you like,...

Read More →

Domba New Zealand dan Pahlawan Perubahan Iklim

Pada suatu hari di bulan November 2016 bersama teman-teman dari tim Alzheimer Indonesia kami mendapat kesempatan untuk mengikuti konferensi di Wellington, New Zealand. Kok baru ditulis sekarang? Huft.. Seandainya kemalasan ada obatnya, saya antri beli dari sekarang. Ada banyak hal yang membuat orang mudah sekali jatuh hati pada Wellington, udaranya...

Read More →

Perjalanan ‘Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam’ Menemukan Jodohnya

Jodoh, rezeki dan maut ada di tangan Tuhan, katanya. Tapi kalau kita berharap Tuhan turun tangan untuk dua item pertama, nyesel sendiri lho ntar. Antriannya panjang, Sis. Ada tujuh milyar orang di muka bumi ini. Cover Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam Maka saya menjemput paksa jodoh tulisan saya pada...

Read More →

Defrag Pikiran dan Keinginan

Ada banyak peristiwa yang terjadi selama tahun 2020 ini, meskipun ada banyak juga yang kita harapkan seharusnya terjadi, tetapi belum kejadian. 2020 adalah tahun yang ajaib. Lulusan tahun ini sempat dibully sebagai lulusan pandemi. Yang keterima sekolah/kuliah di tempat yang diinginkan tidak segirang tahun sebelumnya, yang wisuda tahun ini apa...

Read More →

Didi Kempot, Sugeng Tindak Ma Lord

Hari ini status itu yang saya pasang di media sosial saya dengan foto Didi Kempot hitam putih dengan tulisan the Godfather of Broken Heart. Patahnya hati saya mungkin nggak sepatah teman-teman sadboys dan sadgirls lainnya. Saya tidak mengenal secara personal mas Didi, hanya pernah papasan di sebuah mal di Solo...

Read More →