two face(s)

Senin sore lalu saya mendapat pesan singkat dari sahabat saya, Rani. “Jeng, udah baca parodi-nya Samuel Mulia?” Aha… saya baru ingat bahwa saya belum menyentuh Kompas Minggu saya.
Dan akhirnya saya membaca dan merasa terkampleng-kampleng. “Tapuk!!” Begitu sound efeknya kalau bisa disuarakan. Lalu saya lanjutkan dengan membaca milis berisi pendapat teman-teman pintar, tulisan berbobot mereka yang menggunakan isi kepalanya untuk berpikir dan menganalisa. Lalu saya merasa bahwa saya harus lebih sering menggunakan otak saya sekarang. Untuk berpikir dan belajar menganalisa misalnya. Karena belakangan saya lebih sering memaki, mencela dan mencibir tanpa saya sadari.

Sebenarnya ini adalah sebuah rangkaian dari perbincangan. Dua minggu lalu saya, Wilco dan Maren sedang berargumentasi tentang sponsor sebuah acara lingkungan yang konon kabarnya adalah penjahat hutan terbesar di Indonesia. Lalu tidak hanya berhenti sampai di situ saja, COP (Conference of Parties) 15 Copenhagen Desember tahun inipun, juga dibayang-bayangi masalah serupa. Menurut yang saya baca, di sepanjang lorong bandara di Copenhagen, banyak sekali tulisan-tulisan (baca: iklan) yang beraroma pesan penyelamatan lingkungan. Ironisnya, pesan penyelamatan lingkungan itu disampaikan oleh mereka yang konon sering kali terbukti sebagai penjahat lingkungan paling kejam.
Menurut Wilco, sebaiknya mereka itu, yang disebut-sebut sebagai penjahat lingkungan itu digandeng saja, supaya mereka tidak terlalu kejam karena pemerintah memberikan batasan. Eh, emang selama ini pemerintah tidak membatasi? Membatasi kok. Tapi sambil memberi kelonggaran diam-diam di sana-sini. Eh, ini bukan cuma pemerintah negara saya saja lho. Banyak negara juga melakukannya. Dan yang paling mengeluskan dada, adalah ketika membaca berita tentang keterlibatan sebuah organisasi yang disebut-sebut sebagai organisasi penyelamat lingkungan, untuk seolah-olah membuat para perusahaan perusak lingkungan itu tampil sebagai pahlawan.

Analoginya seperti ini mungkin. Sebuah kampanye berikan ASI eksklusif, tapi dipersembahkan oleh sebuah pabrik susu, dengan mbak-mbak cantik yang mem-push orang untuk membeli produknya? Itu seperti dua kutub yang berbeda. Dua muka, kalau istilah Samuel Mulia.

Saya jadi bertanya-tanya, benarkan sudah tidak ada kemurnian di dunia ini? Sebuah visi yang suci dan tidak didanai oleh tangan-tangan kotor. Sebuah misi suci tapi kemudian diobok-obok oleh pihak bermuka dua yang kemudian menjadikannya sebagai sarana cuci tangan. Owh… dimanakah nurani (barusan yang muncul Sammy, alter ego saya yang jadi Samurai sekaligus seniman).

Saya jadi ingat salah satu ajaran agama, atau sebenarnya semua ajaran agama mengajarkan hal ini tapi dengan cara yang berbeda. Ini dia nih, kalau untuk hal-hal yang sifatnya horisontal atau berhubungan dengan sesama:

  1. Berbuatlah baik pada semua mahluk
  2. Jangan berbuat buruk pada mereka
  3. Kalau tidak sanggup berbuat baik, setidaknya janganlah kau berbuat buruk

Lihat, poin pertama berisi perintah. And it’s obvious. Saya sendiri di poin pertama ini rasanya jatuh-jatuh terus. Bersih-bersih kamar masih sebulan sekali. Tersenyum kadang lupa. 2,5 persen untuk zakat suka malas. Mengerjakan pekerjaan sering ditunda-tunda. Menelpon keluarga yang long distance kadang kelupaan. Merawat diri sendiri biasa aja. Perintah yang untuk diri sendiri saja saya suka lolos, eh, masih ditambah dengan melanggar poin kedua.

Poin kedua ini isinya adalah verboden. Larangan. JANGAN!! Padahal saya adalah orang yang paling hobi menabrak rambu. Rambu dilarang masuk di Jl. Sosrowijayan pernah saya terjang. Waktu itu hukumnya wajib. Karena kalau tidak, saya bisa ngompol di celana karena menahan pipis. Saya pernah menjadi perokok super aktif sehingga merugikan lingkungan saya dan mungkin paru-paru titipan ini. Saya kadang-kadang suka melek malem. Itu nggak baik kan, kata bang Roma? Saya marah-marah dengan melotot dan tone suara yang tinggi. Saya memaki. Saya dengan sengaja menyakiti. Saya pura-pura lemah supaya orang lain menyesali perbuatannya, padahal saya tahu saya tidak selemah itu.

Lalu excuse di poin ketiga juga nyaris tidak membantu. Sudahlah berbuat baik tidak, masih saja memelihara perbuatan buruk. Owh… sungguh nista. (Barusan Sammy lagi yang nulis. Pokoknya kalau mulai lebay, berarti Sammy yang berperan).

Kembali ke tema yang saya angkat kali ini, kenapa harus memiliki dua sisi ya?

Mungkin ini yang disebut ironis. Seperti kita tahu, salah satu penyedia beasiswa olah raga di negeri ini adalah produsen rokok. Kemudian beasiswa pendidikan, juga rokok. Padahal kita tahu kau, kalau rokok itu – menurut peringatan pemerintah – sangat tidak baik untuk kesehatan, dan bahkan disebut-sebut sebagai pintu gerbang narkoba.

Itu ironi #1, ironi lain lagi adalah para produsen yang banyak menggunakan minyak sawit, yang selama prosesnya merusak hutan dan melepaskan CO2 ke udara, adalah produsen-produsen dengan program CSR peduli lingkungan dan peduli terhadap kemanusiaan atau pendidikan anak-anak. Awh awh awh…

Saya tidak mau menjawab pertanyaan kenapa-kenapa itu, karena ada banyak sekali kemungkinan jawaban. Saya cuma sedang belajar berpikir dan merenung. Sebelum tahun Hijriah berganti, esok hari.

Selamat tahun baru. Semoga lebih baik. Semoga tidak ada lagi topeng di muka bumi ini.

← Belajar dari Lula
gitu aja kok repot →

Author:

Dian adalah penulis Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam dan 8 novel serta kumpulan cerita lainnya. Peraih grant Residensi Penulis Indonesia 2019 dan She Creates Change Green Camp 2020 ini lahir tahun 1976, belajar komunikasi di Universitas Diponegoro dan STIK Semarang, lalu lanjut belajar perlindungan anak di Kriminologi UI. Dia adalah anak ke-2 dari 4 bersaudara, ibu dari Vanya Annisa Shizuka dan beberapa anak lain. Saat ini Dian menghabiskan banyak waktunya menjadi penulis lepas dan konsultan untuk isu perlindungan anak dan kekerasan berbasis gender.

  1. ada loh yang ngitung berapa ton karbon yang dia keluarkan selama produksi, kemudian dia kontribusi menyelamatkan bumi sebanyak karbon yang telah dibuat seperti memperbaiki hutan sekian ratus/ribu hektar di kamboja misalnya. kegiatan manusia gak ada yang gak mengeluarkan karbon, bernafas, kentut, berak dan sendawa pun menghasilkan karbon. tul tak?

    untuk manusia mungkin 1 man 1 tree atas karbon yang telah dihasilkannya. Sudah pernahkah menanam dan merawat pohon?? kalo belum berarti two face(s) juga dong 😆

  2. @Wempi: JLEB!!! dalem ;-)Dan saya tidak berniat membela diri, hehe… wong tulisan ini utamanya untuk mengingatkan diri sendiri owk…
    Thanks ya Wemp

  3. Juragan,

    Kadang negara itu tidaklah ubah perilakunya seperti seorang individu yang melakukan standar ganda: “Do what I say, but don’t do what I do”

    Dari sisi kita secara individu yang bisa dilakukan adalah memeulai dan konsisten dengan falsafah hidup hemat, ya hemat energi dan sayang lingkungan, niscaya kekuatan alama juga bisa mengimbangi sembari gerakan untuk menekan si penjahat lingkungan itu pada forum multi-lateral mesti terus digencarkan.

    Butuh kekuatan politik dan ketajaman ambisi politisi dan diplomat kita untuk sama-sama membela lingkungan, meski demikian menurut siaran BB World Service pagi ini, Obama-pun hanya bisa sepakat di point 15% untuk menurunkan emisi greenhouse gasses negerinya – karena tekanan pihak industri juga 😀

    Seneng udh bisa mampir kesini, salam hangat dari afrika barat!

  4. dalemm euy.. tp kayaknya yah (menurut saya loh). smua manusia entu two faces deh mba..bkn karna pake topeng. kayak bulan. ada sisi gelapnya. ada sisi terangnya. tp emang proporsi gelap dan terang stiap org beda2. saya yakin sejahat2nya manusia pasti punya sesuatu yg baik dlm dirinya. tulisan mba ini jd menginspirasi saya untk memaklumi org yg berbuat khilaf. thanks ya mba.. selamet tahun baru hijriyah.

  5. @DomGar: terima kasih kunjungannya. Juga pencerahannya. Mampir terus ya

    @Hariku: matur nuwun. Iya, makanya itu, sedang bertanya-tanya, mengapa oh mengapa…
    Selamat tahun baru hijriyah

  6. dunia memang penuh dengan mereka (termasuk saya mungkin)
    kapan ya si batman datang? supaya two face bisa terkalahkan. 🙂

  7. setiap manusia memang memakai topeng dalam setiap lingkungan yang berbeda untuk beradaptasi.itu adalah hal yang wajar selama tidak bertujuan untuk menyakiti orang lain.

  8. hai! lam kenal, thx udah mampir ke blog aku.
    dualitas kehidupan (cieehe)
    kadang aku berpikir jangan2 semua orang dewasa sebenernya schizophrenic

  9. @Video sulap: udah dipasang link-nya

    @liudin: siap grak!! seperti koin dengan dua sisinya.

    @nadya: iya, cuma tingkatannya aja yang beragam ya…

  10. Yaaaa….
    memang double standard itu selalu ada mba’….
    Dan para oportunis itu memanfaatkan ke lengahan kita dengan sebaik baiknya….
    Harus lebih aware aja kali yaaa…

    btw,
    salam buat si Sammy…hihihi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

What to Read Next

Perpus Provinsi Kalimantan Selatan yang Inspiratif

Beberapa hari lalu saya mendapatkan kesempatan untuk mengisi acara diskusi literasi di Perpustakaan Provinsi Kalimantan Selatan. Sungguh sebuah kesempatan yang sangat berharga buat saya. Awal menerima undangan ini saya pikir kena prank. Masa’ iya sih ada Perpustakaan Provinsi bikin acara seperti ini, pikir saya. Tapi rupanya ibu Kepala Dinas ini...

Read More →

Berkah Dalem

Selamat merayakan Natal teman-teman, Berkah Dalem. Biasanya kalimat itu yang saya kirimkan ke sahabat dan teman-teman saya melalui WhatsApp untuk memberikan ucapan selamat Natal. Pagi tadi saya menyegarkan kembali ingatan tentang frasa Berkah Dalem, yang menurut beberapa referensi artinya Tuhan memberkati, yang menurut sejarah diambil dari kata Deo Gratia, berkah...

Read More →

44 Years of Practice

Lima tahun lalu saya dapat quote keren banget tentang usia 40, seperti ini: Gambar dari darlingquote.com Lalu tahun-tahun itu berlalu dan saya lupa apa yang jadi resolusi saya di ualng tahun saya ke-40 itu. Saya hanya ingat mengirimkan surat pada 40 orang yang pernah dan masih menggoreskan makna pada hidup...

Read More →

The Class of 94 and Beyond

Ilusi bahwa saya adalah Supergirl, Harley Quin, Black Widow, Queen of Wakanda patah sudah. Tanggal 25 Juni menerima hasil antigen positif. Tidak disarankan PCR sama dokter karena dia melihat riwayat orang rumah yang pada positif, “Save your money, stay at home, have fun, order as many foods as you like,...

Read More →

Domba New Zealand dan Pahlawan Perubahan Iklim

Pada suatu hari di bulan November 2016 bersama teman-teman dari tim Alzheimer Indonesia kami mendapat kesempatan untuk mengikuti konferensi di Wellington, New Zealand. Kok baru ditulis sekarang? Huft.. Seandainya kemalasan ada obatnya, saya antri beli dari sekarang. Ada banyak hal yang membuat orang mudah sekali jatuh hati pada Wellington, udaranya...

Read More →

Perjalanan ‘Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam’ Menemukan Jodohnya

Jodoh, rezeki dan maut ada di tangan Tuhan, katanya. Tapi kalau kita berharap Tuhan turun tangan untuk dua item pertama, nyesel sendiri lho ntar. Antriannya panjang, Sis. Ada tujuh milyar orang di muka bumi ini. Cover Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam Maka saya menjemput paksa jodoh tulisan saya pada...

Read More →

Defrag Pikiran dan Keinginan

Ada banyak peristiwa yang terjadi selama tahun 2020 ini, meskipun ada banyak juga yang kita harapkan seharusnya terjadi, tetapi belum kejadian. 2020 adalah tahun yang ajaib. Lulusan tahun ini sempat dibully sebagai lulusan pandemi. Yang keterima sekolah/kuliah di tempat yang diinginkan tidak segirang tahun sebelumnya, yang wisuda tahun ini apa...

Read More →

Didi Kempot, Sugeng Tindak Ma Lord

Hari ini status itu yang saya pasang di media sosial saya dengan foto Didi Kempot hitam putih dengan tulisan the Godfather of Broken Heart. Patahnya hati saya mungkin nggak sepatah teman-teman sadboys dan sadgirls lainnya. Saya tidak mengenal secara personal mas Didi, hanya pernah papasan di sebuah mal di Solo...

Read More →