HIV Test

Minggu lalu saya berhasil mengajak sahabat-sahabat saya untuk tour de Hospital untuk mendapatkan HIV Test. Jam setengah 3 sore kami datang ke RS Sarjito. Well, sebenarnya kami sudah siap membawa ‘sangu’ di kepala kami tentang rumah sakit pemerintah. Label lambat, hening dan kumuh sudah tertempel di kepala kami. Maafkan… tapi, memang seperti itu rasanya yang terbayang di kepala kami pertama kali mendengar nama Rumah Sakit Pemerintah. Iya kan? Ngaku aja!

Nah, begini nih, perbincangan kami dengan ibu resepsionis.

  • Dian: Sore bu, untuk VCT dimana ya?
  • Ibu itu: VCT untuk apa ya?
  • Dian: (dalam hati) emang ada berapa VCT? (diucapkan) VCT untuk test HIV mungkin, bu…
  • Ibu itu: Oh… VCT di ruang edelweiss mbak. Tapi udah tutup. Cuma sampai jam 12 siang. Datang aja lagi besok. Tapi kalo besok cuma sampai jam 11.
  • Dian: Ooooo… (Beneran kagum) Emang buka dari jam berapa bu?
  • Ibu itu: Jam 8.
  • Dian: Oooo… Terima kasih bu.

Lalu kepala saya benjol karena dijitakin tiga sahabat saya. Mereka yang sudah meluangkan waktu dan tentu saja nyali untuk melakukan VCT, semangatnya langsung dipadamkan dengan fakta VCT yang buka cuma setengah hari. “Tulis di surat pembaca nggak!!” Kata mereka. Hihi… saya ketawa aja. Mereka cuma membuat semangat saya jatuh saja, itu adalah ekspresi cinta mereka pada saya. Saya tahu pasti itu. Karena buktinya, waktu saya arahkan ke Panti Rapih, mereka bertiga langsung mengangguk setuju tanpa perlawanan. Tentu saja setelah perut mereka diisi masing-masing 4 potong pisang goreng seberang Sarjito dan teh manis di sana.

Saya langsung terbayang bahwa kejadian semacam ini bisa terjadi pada siapa saja dan dimana saja. masih bagus teman-teman saya tetap bersemangat untuk test. Kebayang aja kalau orang sudah disuruh test ogah-ogahan entah karena takut entah karena malas entah karena nggak peduli, eh… giliran sampe di tempatnya, ternyata sudah tutup pula tempatnya. Untuk balik lagi dijamin nggak sebersemangat sebelumnya. Fiuh…

Sekarang scene berganti ke Panti Rapih.

  • Dian: Mbak, mau VCT dimana ya?
  • Mbaknya: VCT apa ya mbak?
  • Dian: (mau pingsan karena dipelototin tiga pasang mata di belakangnya) test HIV mbak. Di sini ada kan?
  • Mbaknya: Oh… ada mbak, sebentar ya.

Muka mbaknya itu jutek, dan lima menit kemudian mbaknya menyuruh saya menunggu. Dia bilang konsultannya sedang membantu dokter operasi atau entah semacam itulah. Kami menunggu. Tiga sahabat saya mulutnya sudah semakin amburadul. Mereka langsung bercita-cita membuat rumah sakit gaul. Dimana setiap malam Minggu semua pasien dibebaskan untuk berada di aula yang terletak di lantai paling atas, dan ajeb-ajeb sampai pagi di sana. Tiap ruangan akan diberi lampu disko. UGD diberi penyambutan macam cheer leaders, tidak ada perawat dengan baju putih, semua corak kembang-kembang dan gaul abis, sepatu high heels tapi tetep nggak boleh bunyi, pokoknya rumah sakit yang bikin betah deh.Fiuh…

Untunglah sebelum khayalan tingkat tinggi kami semakin liar, ada seorang perawat cantik yang belakangan kami tahu bernama mbak Retno datang. Kami dibimbing ke lantai 2. Disana dia mempersilahkan saya masuk, saya bilang, kami mau test semua, jadi kami mau masuk ber-4 dan kami tidak punya rahasia lagi. Mbak Retno bingung. Sampai di dalam dia speechless dan ragu-ragu mau bertanya pada saya, lalu saya bilang, “Mbak, saya Dian, saya sudah paham tentang HIV, saya beberapa kali memberi konsultasi tentang HIV waktu masih di Semarang, saya ikut kongres AIDS di Bali, dan ini teman-teman saya yang juga sudah pernah saya konselingi. Jadi, kami insyaallah sudah paham, jadi, mbak Retno nggak usah bingung.”

Dia langsung lega gitu deh, dan mengambil formulir untuk kami isi, dan di sinilah letak kejutan kedua hari itu:

  • Dian: Mbak, VCT masih gratis kan?
  • Retno: Membayar 107 mbak.
  • Dian: Loh?
  • Retno: Dulu memang gratis karena kami masih mendapat bantuan reagen dari Global Fund. Sekarang sudah tidak ada lagi mbak.
  • Dian: (memandang ke sahabat-sahabatnya dengan ketakutan akan mendapat jitakan kedua kalinya) Aku bisa meminjamkan kalian uang dengan kartu kreditku. Kalian masih semangat kan?

Dua orang mengangguk. Yang satu ngacir. Alasannya takut jarum suntik. Well, dia memang takut jarum suntik actually. Akhirnya kami bertiga yang melakukan test. Mas Awan yang mengambil darah kamipun ramah. Setidaknya dia tidak putus asa waktu mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan jebakan dari sahabat-sahabat saya. Seperti misalnya, kalau nggak mau pake darah, pake pipis bisa? Darah mens boleh buat test HIV nggak? Selain HIV, bisa tahu saya punya penyakit apa lagi nggak? Boleh minta alkoholnya nggak mas, buat ngelap jerawat saya? Huff… untunglah teman-teman saya itu charming-charming dan memang tampak seperti pelawak, jadi tidak terlalu membuat marahlah.

Besoknya, kami mengambil hasil test itu dan semuanya negative. Saya menyesal tidak membawa kamera. Karena adegan kami berpeluk-pelukan macam orang baru saja memenangkan sebuah penghargaan itu, akan indah sekali untuk diabadikan. Mbak yang membacakan hasil test kami mengingatkan dengan penuh semangat, “Yang penting bukan hasil test hari ini lho. Yang penting adalah perubahan perilaku. Oke?”

Iya betul mbak. Kami setuju. Yang paling penting adalah tidak berperilaku yang membuat potensi kita terpapar HIV semakin besar. Semua orang bisa terpapar HIV, tapi dengan pengetahuan dan keterbukaan pikiran, kita bisa membuat diri kita sendiri dan orang lain di sekitar kita jadi terjauhkan dari HIV.

← fatwa haram rebonding
Slow Food →

Author:

Dian adalah penulis Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam dan 8 novel serta kumpulan cerita lainnya. Peraih grant Residensi Penulis Indonesia 2019 dan She Creates Change Green Camp 2020 ini lahir tahun 1976, belajar komunikasi di Universitas Diponegoro dan STIK Semarang, lalu lanjut belajar perlindungan anak di Kriminologi UI. Dia adalah anak ke-2 dari 4 bersaudara, ibu dari Vanya Annisa Shizuka dan beberapa anak lain. Saat ini Dian menghabiskan banyak waktunya menjadi penulis lepas dan konsultan untuk isu perlindungan anak dan kekerasan berbasis gender.

  1. Bukan, Cahya.. emang udah tutup aja. Hehe… kebayang kan, orang disuruh VCT aja nggak gampang, giliran sampe di sana, udah tutup. Fiuh…

  2. kalau tidak salah untuk tes HIV seperti itu bukannya butuh persiapan mental dulu ya? karena kalau hasilnya ternyata positif, bisa dibayangkan seperti apa syoknya kita.

  3. Betul pak. Butuh persiapan mental banget.
    Tapi saya dan sahabat-sahabat saya itu juga tidak akan syok kalau ternyata positif. Karena kami tahu dan yakin bahwa masa depan yang ada di depan kita, tidak berbeda dan tidak tergantung pada status HIV kita.

  4. perlu juga seh sebetulnya tes HIV..
    kan kita gak tahu.. darimana penyakit datang bisa dari mana aja
    Untuk memastikan aj kalo kondisi badan kita sehat 100%, ya penting pastinya

  5. Kesadaran untuk memeriksakan kesehatan harus dimulai dr sekarang memang mbak. Saya pengen juga nanti tes deh.

  6. @Elmoudy: Mari kita pastikan kita sehat! 😀
    @Anno: sama-sama, terima kasih juga kunjugannya
    @Zee: mari mari… memeriksakan diri.

  7. two thumbs up deh buat yg dengan inisiatif sendiri mau test HIV plus ngajak temen2 plus dijitakin plus bayarin…eh dibalikin ga duitnya 😀

  8. @sauskecap: lho… kenapa harus takut dikira macam-macam? orang bayi baru lahir saja yang nggak pernah macam-macam, ada yg terpapar HIV kok.. 🙁
    @mas stein: serius mas?? haduh…
    @Indir4: nah itu dia ndi… masalah berikutnya, hehe
    @May: siap May, aku re-link ya

  9. Alhamdulillah, negatif ya… 🙂
    Pekerjaanku juga beresiko banget sih.
    mudah2an kita selalu dilindungi oleh Allah Ta’ala ya… 🙂

  10. enak banget kerja setengah hari tok 😛

    ngeri juga ma berita tentang anak kecil yang meninggal karena HIV kemaren. tapi aku mau test kesehatan ini itu pasti takut duluaaan…hiks…

  11. @ariheva: masih ada yg gratis kok, coba cek di kota kamu dulu
    @Rafael: hehehe… mental gratisan yak! 😛
    @blue: salam hangat juga
    @Yessi: kenapa mesti takut say. yang lebih penting adalah sadar kondisi kesehatan kita kan…

  12. Pelan-pelan Mala.
    Jangan diajakin, biasanya emang ditolak, tapi dibuat mereka yg ngajak kita 😉
    Semangat Malaaaa…

  13. hihihi…menarik juga pengalaman nya…
    terus terang kalo untuk test HIV belun pernah kepikiran sih * baru kepikiran setelah baca postingan ini*

    Tapi sempet dulu pengen nyoba test mammogram (yang buat kanker payudara), tapi langsung males setelah tau bayarnya mahal….hihihi

    Trus test yang kanker mulut rahim itu lho…tapi setelah tau prosedurnya langsung jiper…hihihi…tidaaaakkk!!!

    Kita emang harus lebih aware dgn tubuh sendiri yaaa…
    Tapi kenapa pada mahal mahal yaaa?
    jadi bikin males deh 🙁

  14. @Green: semangaatttt!!! good luck ya 😀

    @Erry: Mahal itu biar jadi PR-nya pemerintah jeng. Mereka belum bisa supply fasilitas kesehatan untuk rakyatnya berarti to? Kita menyiapkan back up untuk kepentingan diri sendiri aja.

  15. wow, menarik mba ceritanya dan butuh kesiapan mental. hmm…jadi inget klo untuk test TORCH dulu aja takut banget dgn hasilnya…

  16. wah seru ceritanya, wah tapi kok tesnya jadi berbayar yah. Jadi makin dikit dunk orang yang mau tes..
    Mba tukeran link yah! linknya langsung saya tancep di blog saya,,nuwun ya mbak,,hehe

  17. @yani: hehehe… takutnya harus kalah sama keinginan untuk aware sama kondisi tubuh pokoknya 😉

    @vivi: deg2an gilaaa

    @intan: siap, saya pasang link intan ya 😉

  18. ha ha ha… bentar, ngakak duluuuu 😀

    bukan, bukan ketawa karena test HIV… (aku pernah test juga, karena test ini saat itu jadi satu paket dengan medical check up rutin yg aku jalani… kebetulan ngga ada cerita khusus tentang test ini yg hasilnya negatif)… yg aku ketawa adalah, waktu aku melahirkan, aku komentar ini dan itu tentang rumah sakit, dan suamiku, setelah aku pulih, bayinya dibawa pulang, pada suatu hari di rumah dengan manis bilang gini, “kapan2 aku buatin kamu rumah sakit sendiri deh, biar kamu bisa ngatur2 terus sesuka kamu… ”

    ha ha ha ha ha… knowing him, kalimat manis itu sebetulnya adalah protes berat atas kecerewetanku selama di rumah sakit yang nyela melulu mestinya gini mestinya gitu itu, ha ha ha ha ha 😀

    d.~

  19. fuiiihhhhhhhhh…..keren ceritanye…..
    jadi tadak boseeennnnnnnnnnnn bacenye…..
    good kasih 2 jempol dech…..
    aq juga bingung vct kan emang buat HIV toh kok masih nanya ye perawatnye…hm…hm….T_T

  20. @dee: aku jadi perawat di RS-mu nanti boleh ndak?

    @memey: muakanya itu, lucu ya?

    @darbir: hayuwk… vct dulu yuwk..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

What to Read Next

Perpus Provinsi Kalimantan Selatan yang Inspiratif

Beberapa hari lalu saya mendapatkan kesempatan untuk mengisi acara diskusi literasi di Perpustakaan Provinsi Kalimantan Selatan. Sungguh sebuah kesempatan yang sangat berharga buat saya. Awal menerima undangan ini saya pikir kena prank. Masa’ iya sih ada Perpustakaan Provinsi bikin acara seperti ini, pikir saya. Tapi rupanya ibu Kepala Dinas ini...

Read More →

Berkah Dalem

Selamat merayakan Natal teman-teman, Berkah Dalem. Biasanya kalimat itu yang saya kirimkan ke sahabat dan teman-teman saya melalui WhatsApp untuk memberikan ucapan selamat Natal. Pagi tadi saya menyegarkan kembali ingatan tentang frasa Berkah Dalem, yang menurut beberapa referensi artinya Tuhan memberkati, yang menurut sejarah diambil dari kata Deo Gratia, berkah...

Read More →

44 Years of Practice

Lima tahun lalu saya dapat quote keren banget tentang usia 40, seperti ini: Gambar dari darlingquote.com Lalu tahun-tahun itu berlalu dan saya lupa apa yang jadi resolusi saya di ualng tahun saya ke-40 itu. Saya hanya ingat mengirimkan surat pada 40 orang yang pernah dan masih menggoreskan makna pada hidup...

Read More →

The Class of 94 and Beyond

Ilusi bahwa saya adalah Supergirl, Harley Quin, Black Widow, Queen of Wakanda patah sudah. Tanggal 25 Juni menerima hasil antigen positif. Tidak disarankan PCR sama dokter karena dia melihat riwayat orang rumah yang pada positif, “Save your money, stay at home, have fun, order as many foods as you like,...

Read More →

Domba New Zealand dan Pahlawan Perubahan Iklim

Pada suatu hari di bulan November 2016 bersama teman-teman dari tim Alzheimer Indonesia kami mendapat kesempatan untuk mengikuti konferensi di Wellington, New Zealand. Kok baru ditulis sekarang? Huft.. Seandainya kemalasan ada obatnya, saya antri beli dari sekarang. Ada banyak hal yang membuat orang mudah sekali jatuh hati pada Wellington, udaranya...

Read More →

Perjalanan ‘Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam’ Menemukan Jodohnya

Jodoh, rezeki dan maut ada di tangan Tuhan, katanya. Tapi kalau kita berharap Tuhan turun tangan untuk dua item pertama, nyesel sendiri lho ntar. Antriannya panjang, Sis. Ada tujuh milyar orang di muka bumi ini. Cover Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam Maka saya menjemput paksa jodoh tulisan saya pada...

Read More →

Defrag Pikiran dan Keinginan

Ada banyak peristiwa yang terjadi selama tahun 2020 ini, meskipun ada banyak juga yang kita harapkan seharusnya terjadi, tetapi belum kejadian. 2020 adalah tahun yang ajaib. Lulusan tahun ini sempat dibully sebagai lulusan pandemi. Yang keterima sekolah/kuliah di tempat yang diinginkan tidak segirang tahun sebelumnya, yang wisuda tahun ini apa...

Read More →

Didi Kempot, Sugeng Tindak Ma Lord

Hari ini status itu yang saya pasang di media sosial saya dengan foto Didi Kempot hitam putih dengan tulisan the Godfather of Broken Heart. Patahnya hati saya mungkin nggak sepatah teman-teman sadboys dan sadgirls lainnya. Saya tidak mengenal secara personal mas Didi, hanya pernah papasan di sebuah mal di Solo...

Read More →