Saya masih dilanda demam Baduy sampai detik ini. Baru juga minggu lalu saya ke sana, rasanya sudah ingin kembali lagi. Belum lagi kalau ditambah rasa cemburu saya karena Ari sudah dikontak lagi oleh Juli, ditanyakan kabarnya, sementara saya yang menghubunginya sebelum kami bertemu, tidak dihubungi lagi sama sekali. Huff.. *Tuhan selamatkan aku dari rasa cemburu
Di tulisan kali ini saya pengen menyoroti kehidupan perkawinan dan percintaan Orang Baduy, berdasarkan sekelumit cerita yang saya dapatkan dari beberapa nara sumber yang merupakan pemuda-pemuda Baduy Dalam yang sudah menikah. Tentu saja cerita ini sifatnya sangat subyektif dan mungkin tidak bisa mewakili keseluruhan kisah perkawinan dan percintaan Orang Baduy pada umumnya. Tapi saya pastikan, kalau kisahnya sangat menarik.*promosi
Perjodohan
Orang Baduy rata-rata menikah di usia 18 tahun untuk para lelaki dan 16 tahun untuk perempuannya. Mereka menikah karena dijodohkan oleh orang tua. Jadi perbincangan tentang perkawinan tidak dimulai oleh dua orang yang akan menjalaninya, melainkan dari orang tua yang merasa bahwa anak mereka serasi. Dasar pemilihannya juga bukan karena si calon menantu lebih kaya, tampan, atau pintar. Dasar pemilihan calon menantu murni untuk menjaga silaturahmi antar keluarga.
Tetapi uniknya, mendekati pemuda/i sebelum masa perjodohan tetap diijinkan. Jadi katakanlah si A menyukai B, dia diijinkan untuk datang ke rumah B, dengan syarat tidak boleh datang sendiri. Dia harus apel massal, jama’ah, rame-rame. Kalau mereka datang rame-rame, sampai menginappun mereka diijinkan, selama orang tua si perempuan sedang berada di rumah (tidak sedang menginap di rumah ladang). Karena di rumah Baduy, hampir mustahil orang bisa bersembunyi dan bercumbu rayu tanpa diketahui oleh orang lain.
Mereka akan tidur beramai-ramai di ruang tamu, termasuk bersama orang tua atau tuan rumah dan keluarga besarnya. Yah tapi, namanya juga orang masih pacaran ya.. Bisa lihat-lihatan aja rasanya udah seneng banget kan? Apalagi ini, bisa tidur bersama di dalam satu atap, walaupun mereka benar-benar akan tidur dan mungkin tidak sempat saling melempar pandang dan senyum sebelum membawa kekasihnya di dalam mimpi, tapi tetap saja rasanya bahagia bisa dekat-dekat sang kekasih.
Tetapi sayangnya, para orang tua Baduy tidak melihat apel berjamaah yang dilakukan oleh anak-anak mereka sebagai indikasi bahwa kedua muda-mudi itu lantas layak untuk dijodohkan. Untuk perjodohan, tetap saja ada kriteria sendiri yang – maaf – saya belum sempat menyelami lebih dalam lagi.
Maka inilah yang sering kali terjadi, kekasih hati yang diimpi-impikan, ternyata berakhir menjadi suami/istri orang. Dan orang lain itu tidak jauh-jauh adalah sahabat, teman berladang, teman memancing, teman tumbuh kita sedari kecil, atau bahkan tetangga depan rumah. Oh..
Kalau bukan orang Baduy, mungkin orang yang mengalaminya akan frustasi dan uring-uringan atau bahkan ada yang sampai mengajak duel lawan orang yang dianggap ‘merebut’ kekasih hati itu, tetapi di Baduy Dalam tidak. Mereka tetap berteman baik, tidak saling memusuhi apalagi berusaha membawa lari kekasih hati.
Ini yang terjadi pada dua orang nara sumber kita. Mereka berdua dulunya menyukai orang yang berbeda, tetapi sekarang harus menikahi perempuan yang sudah dijodohkan oleh orang tua. Mereka masih bersahabat dengan suami-suami dari mantan kekasih itu.
Ketika kami tanya, apakah sebelum lamaran, kalian tidak ditanya dulu mengenai kesediaan menikahi perempuan calon istri itu? Mereka bilang, ditanya. Tetapi itu bukan pertanyaan. Itu lebih menyerupai pertanyaan yang sudah ada jawabannya dan mereka hanya tinggal menggarisbawahi jawabannya. Iya.
Lamaran
Walaupun secara de fakto mereka dijodohkan, tetapi sebenarnya sistem memberi kesempatan para calon pengantin Baduy untuk saling menyesuaikan diri. Proses lamarandi Baduy adalah 1 tahun menjelang pernikahan. Jadi setelah kedua orang menanyakan kesediaan para calon mempelai, keluarga calon pengantin lelaki lalu mengunjungi keluarga calon penganten perempuan bersama sesepuh desa. Setelah lamaran, si calon pengantin lelaki punya kewajiban bekerja di rumah calon perempuan selama satu hari.
Setelah itu laki-laki juga diwajibkan memiliki ladang sendiri. Ladang adalah simbol bahwa dia sudah siap menghidupi istri dan keluarganya. Lalu 2 bulan menjelang pernikahan, akan diadakan acara kunjungan keluarga laki-laki lagi ke perempuan. Setelah itu, si pelamar ini akan berkewajiban bekerja di ladang keluarga perempuan selama 3 hari.
Simbol-simbol yang dipakai keluarga Baduy ini menurut saya sangat menarik. Mereka tidak menandai keseriusan sebuah lamaran dengan banyaknya mas kawin yang menurut saya sifatnya materalistis seperti di luar wilayah Baduy. Mereka menandai keseriusan lamaran dengan bekerja di rumah, ini pertanda bahwa laki-laki juga harus memiliki peran di ranah domestik, sementara bekerja di ladang yang tiga hari juga menandakan keseriusannya menafkahi keluarga. Kesiapan spiritual dan mental yang lebih dikedepankan di sini. So sweet..
Lalu pada saat pesta pernikahan berlangsung, tidak ada kemeriahan yang diiringi musik hingar bingar. Yang ada adalah doa-doa dari para sesepuh, setiap warga berkumpul untuk memberi selamat dan makan bersama, lalu akan diputuskan bersama, apakah mereka akan tinggal bersama orang tua lelaki atau perempuan setelah menikah nanti. Keputusan itu didasari dengan rumah mana yang lebih lapang untuk mendapatkan tambahan anggota keluarga. Walaupun sangat terbuka kesempatan mereka untuk menginap di rumah orang tua yang lain.
Sederhana sekali bukan?
Ketika berkunjung ke salah satu rumah di malam hari, saya melihat sendiri keakraban menantu perempuan dengan ibu dan ayah mertuanya yang saling bercanda menggoda pengantin baru yang malu-malu. Saya jadi ikut-ikut merona pipi, membayangkan saya yang berada di posisinya 🙂
Mungkin jika kita tidak mengalaminya, kita bisa melihatnya sebagai sesuatu yang sederhana, tapi pertanyaannya, bagaimana dengan kekasih-kekasih yang gigit jari karena melihat pujaan hati mereka menjadi milik orang lain?
Ini jawaban dua orang nara sumber kami:
Yah, mau gimana lagi? Yang terpenting kita di sini hidup rukun. Dijalani saja walaupun tidak suka. Nanti juga lama-lama suka sendiri, kalau nggak ada yang lain lagi.
Kami bahkan menyaksikan sendiri, nara sumber kami masih bisa berbicara akrab dengan mantan kekasih mereka, di depan banyak orang kampung. Tidak ada prejudice apapun. Murni. Alami.
Pilihan
Berada beberapa waktu bersama teman-teman di Baduy dalam membuat saya berpikir tentang banyaknya pilihan yang saya miliki saat ini. Saya tidak dijodohkan, tidak terpaksa menerima pekerjaan, tidak harus hidup dengan cara-cara tertentu yang saya mungkin tidak sukai. Saya diberi free will, yang bersamanya mengandung tanggung jawab tidak hanya pada Tuhan tapi juga lingkungan di sekitar saya.
Mungkin, kadang kita merasa bahwa hidup yang sedang kita jalani ini amat sangat rumit, complicated, memusingkan, dan sering kali ingin menyerah rasanya. Kadang. Tapi ternyata tidak memiliki pilihan juga tidak sesederhana yang saya bayangkan. Tetap ada kerumitan yang membayang di celah-celahnya.
Saya membayangkan, kalau saya jadi mereka, mengetahui kekasih hati tidak lagi berada di dalam jangkauan, mungkin saya sudah nangis bombay dan berasa dunia runtuh. Tapi nyatanya mereka baik-baik saja, tetap hidup dan sehat dan tersenyum.
Saya harus banyak belajar dari teman-teman baru saya dalam hal ini.
Hidup itu kalau mau dibuat susah ya susah, tapi kalau mau dibuat mudah, ya mudah.
Ini tentang pilihan. Mau milih sederhana atau milih rumit, kita yang akan menjalani.
wah…sangat sederhana gan
simple complicated…aku pengin nya milih simple easy
TOP to Dian… 🙂
great adventure gan
ribet banget sepertinya
wahh mana oleh2nya nih dari badui mba dian 😀