Selama dua puluh hari sejak tanggal 4 Februari 2014 saya berada di NTT untuk sebuah penelitian. Saya dan tim lain keluar masuk Polres, Polresta, Polda, Kejaksaan, Pengadilan, Penjara Anak dan rumah dari beberapa orang tua mereka. Awalnya ketika melihat data tentang jenis pelanggaran yang dilakukan anak, agak bergidik juga saya. 90% kasus pelanggaran yang dilakukan oleh anak di Penjara Anak Kupang adalah kasus asusila, percabulan, atau mereka biasa menyebutnya kasus perempuan. Saya agak speechless sampai akhirnya bertemu dengan anak-anak yang tinggal di dalam penjara tersebut.
Mereka adalah anak-anak yang seperti adik saya, anak tetangga saya, anak teman saya dan anak saya beberapa tahun yang akan datang. Mereka adalah anak-anak yang ketika kami membuka sebungkus permen langsung berebut dan bercanda. Mereka adalah anak-anak saya, anak-anak kita.
Di dalam wawancara mendalam dengan mereka, baru saya menemukan gambar yang lebih jelas tentang ‘kasus perempuan’ yang oleh negara disebut sebagai asusila atau percabulan ini. Kasus yang sering terjadi adalah kasus dua remaja yang berpacaran, kemudian mereka melakukan hubungan seksual, kemudian orang tua anak perempuan tidak bisa menerima lalu melaporkan ke polisi, lalu anak laki-laki masuk penjara untuk jangka waktu antara 3 – 7 tahun. Lalu bisa kita bayangkan, masa depan seperti apa yang dimiliki oleh anak usia 14 – 18 tahun yang menghabiskan tahun-tahun itu di penjara.
Ketika diberi kesempatan untuk bertanya pada kami, beberapa anak menanyakan hal yang sama,
“Kaka, baru kenapa kami dipenjara? Katong melakukan suka sama suka, baku cinta. Kenapa kami dipenjara, maitua sonde?”
(terjemahannya kurang lebih: kenapa kami dipenjara padahal kami melakukan suka sama suka, saling cinta, kenapa saya dipenjara sementara dia tidak)
Kami sempat mengunjungi beberapa keluarga yang anaknya pernah masuk penjara karena kasus serupa. Satu orang harus keluar masuk setidaknya 5 SMA untuk menamatkan kelas 3-nya saja. Sebagian karena dia malu, sebagian karena lingkungan di sekolah tidak mendukung. Satu anak lagi baru keluar dari penjara di usia 19 tahun dan sudah 2 sekolah yang menolaknya dengan alasan usia sambil memandang rendah karena dia pernah dianggap sebagai anak yang cabul. Yang lainnya? Mungkin tidak berbeda jauh dari mereka.
Agama, Orang Tua & Budaya
Pertanyaan besar berikutnya yang muncul di kepala saya adalah, bagaimana peran orang tua, agama dan budaya? Karena setiap anak tidak begitu saja melakukan pelanggaran tanpa peran dari lingkungannya. Apakah orang tua sudah menciptakan lingkungan yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan anak? Sebagai catatan, dari 6 rumah yang saya kunjungi, hanya satu rumah yang setiap kamarnya memiliki pintu. Sementara yang lain tiap kamar tidak memiliki pintu, atau hanya dibatasi dengan selapis kain gorden tipis. Yakinkah anak-anak ini tidak menyaksikan film-film biru pertama mereka secara live dari orang tua mereka sendiri? Lalu ketika anak mencoba meniru, mereka berakhir di penjara.
Lalu budaya. Di NTT belis atau mahar untuk pengantin perempuan konon sangat mahal harganya. Keluarga lelaki harus menyediakan kain, beberapa hewan – bahkan ada yang beberapa kandang hewan persyaratan yang diajukan, sejumlah uang, dan serangkaian pesta yang tentu saja berharga mahal. Anak perempuan adalah aset. Orang menyebutnya demikianlah cara menghargai perempuan, tetapi saya menyebutnya, demikianlah cara menjual perempuan. Maka ketika anak-anak perempuan mereka didapati sudah berhubungan seksual dengan pacar-pacarnya, maka kemarahan orang tua karena kehilangan aset menjadi tidak tertahankan. Polisi solusinya. Dan dari 100% laporan yang masuk ke polisi untuk kasus pelanggar usia anak, 80% diteruskan sampai pengadilan dan hampir semua kasus ‘perempuan’ ini selalu dijatuhi hukuman penjara.
Lalu agama, apakah para pemuka agama masih memberikan informasi yang sama seperti yang saya dapat 20 – 30 tahun yang lalu? Bahwa perbuatan tertentu akan membawa kita ke neraka? Kalau masih sama, maka selesailah sudah. Seingat saya waktu saya masih sedikit lebih muda – ehem – saya akan berusaha keras melawan setiap larangan. Bukankah anak-anak memang memiliki sikap yang seperti itu? Pak, buk… penjelaran tentang surga neraka jika tidak disertai dengan pilihan-pilihan logis, sepertinya jauh lebih sulit diterima oleh anak-anak kita sekarang. Mungkin kita perlu mencari cara yang lebih baik untuk menakut-nakuti jemaat. Karena sekarang tampaknya orang lebih takut pada sistem peradilan dibandingkan pada neraka. Berurusan dengan sistem peradilan adalah neraka yang lain.
Saya tidak tahu bagaimana harus mengakhiri tulisan singkat ini, karena di kepala saya masih belum terjawab pertanyaan besar ini: benarkah penjara adalah tempat yang tepat untuk anak yang melakukan pelanggaran semacam ini?