Gelombang dan Tidur

Jika seorang manusia mati di usia 60, maka dia menghabiskan kurang lebih 20 tahun hidupnya untuk tidur. Ini perhitungan kalau rata-rata orang tidur 8 jam per hari. Wow! Kalau ditotal jadi banyak banget ya jatah tidur kita? Tapi memang itu yang disarankan dokter bukan? Karena kalau kita tidur kurang dari delapan jam maka badan kita nggak akan fit untuk melakukan aktivitas besok harinya.

Well, bukan masalah kesehatannya yang akan saya bahas di sini.

Beberapa hari lalu saya menyelesaikan membaca Gelombang, seri Supernovanya Dee Lestari. Seperti yang sudah-sudah, setiap selesai membaca tulisan bagus selalu ada lubang besar di kepala saya yang meminta untuk diisi.

Kalau anda belum baca Gelombang, ini adalah tentang si Ichon yang sangat beruntung nasibnya karena sukses berkarir di Amerika. Dia bukan anak orang kaya ya, dia bahkan mengawali kepindahannya sebagai imigran gelap di usia yang belum genap 18 tahun. Sayang di balik suksesnya si Ichon ini, dia punya masalah dengan tidur. Sepertinya memang tidak penting, tapi lama-lama jadi penting juga menurut saya. Kebayang nggak, kalau tiap kali tidur kita selalu mimpi mau dibunuh. Kalau jadi Ichon, saya pun memilih nggak tidur. Itulah penyebab Ichon jadi insomnia kelas iblis. Sudah sebelas tahun dia hanya melakukan power nap. Tidur satu dua jam dalam sehari dan tidak di atas kasur. Bisa di bus, di kolong meja, di kursi kerja, di perpustakaan. Gitu aja.

Sampai akhirnya Ichon harus berobat di sebuah RS khusus gangguan tidur yang ujung-ujungnya membawa dia untuk terbang pula ke Tibet demi menemui seorang ahli tidur yang lebih digdaya. See? Dia beruntung banget kan, bisa jalan-jalan sampai Tibet. Padahal dia adalah seorang Sagala kelahiran Sianjur Mula Mula, asal muasalnya orang Batak di muka bumi ini. Saya ngiler sama keberuntungan dan kepintaran si tokoh Gelombang ini.

Dari si Ichon saya banyak diingatkan tentang sesuatu yang selama ini sering saya anggap sepele. Tidur. Mimpi. Kalau tidak malu menuliskan, sejujurnya tidur ada di tempat tertinggi dalam kolom hobi saya. Baru kemudian menonton bioskop, membaca, menulis, jalan-jalan dan merajut. Hanya karena saya harus menjaga citra tidur saya hapus dari kolom tersebut.

Seperti halnya ibu saya, saya juga adalah pemimpi paling rutin di rumah. Saya bisa mimpi sampai tiga hal yang berbeda dalam satu kali tidur. Mimpi saya sepertinya tidak ada yang merupakan pertanda, seperti mimpi-mimpi ibu saya. Ibuk mendapat informasi hal-hal yang akan terjadi melalui mimpi. Waktu mbah uti mau meninggal, ibu yang pertama tahu lewat mimpinya. Waktu dia mau dapat rezeki, ada mimpinya didatangi setan. Ketika ada bencana di rumah kita, ibu lebih dulu diingatkan lewat mimpi ada keramaian di rumah. Seperti itu kira-kira ibuk dan mimpi-mimpinya.

Sementara, mimpi saya murni merupakan ekspresi yang tidak bisa saya sampaikan di alam sadar. Kemarahan membabi buta, ketidakmampuan memaafkan, kerinduan yang terlalu dalam, kesakitan karena cinta yang tidak terbalas, cemburu, iri, umumnya muncul dalam mimpi saya dengan bentuk-bentuk yang cukup banyak variasinya. Tidak seperti Ichon dan tokoh yang melahirkannya, mereka dengan serius memelajari mimpi, upaya terjauh saya masuk ke dalam mimpi adalah melalui website dreammoods.com. Itupun saya nggak terlalu percaya. Saya lebih percaya pada primbon Jawa yang sederhana. Kalau digigit ular mau dapat jodoh, mimpi lihat setan yang bentuknya kayak permen berarti mau dapat rezeki, yang gitu-gitu lah misalnya.

Tapi Ichon sangat membantu saya untuk memperhatikan detail. Saya adalah orang yang sering kali melupakan detail. Sebagai penulis, detail itu sangat penting. Dan Ichon di sini mampu membuat saya berada di dalam dunianya. Bagaimana dia menggambarkan mimpinya di antara dua dinding yang tinggi dengan langit yang berada jauh di ujung celah di atasnya, membuat saya seperti diseret ke celah the Siq. Lalu mamak si Ichon itu meskipun terlalu cerdas untuk ukuran mamak-mamak Sianjur Mula-mula tetapi dia adalah gambaran Batak yang membuat saya ngakak. Tepat seperti mamak-mamak teman-teman batak saya. Mereka semua dilahirkan untuk jadi stand up comedian.

Berkenalan dengan Ichon mengingatkan perkenalan saya dengan Bodhi dan Elektra. Seperti ada keterwakilan sebagian dari saya di dalam tokoh-tokoh Supernova. Dan saya dengar banyak orang lain yang membacanya juga merasakan hal yang sama. Kalau saya jadi Dee saya pasti langsung jingkrak-jingkrak dan bikin tumpeng, berhasil, berhasil!

Dan sekarang saya ada di tahap sakaw nunggu baca novel Intelegensia Embun Pagi yang di toko buku kesayangan saya sudah habis entah dari kapan tahun, katanya. Well, semoga kesabaran saya menunggu paid off ya. Dee is really in inspiration. ‘Anak-anaknya’ banyak yang membekas di hati saya.

Kemarin saya sempat berargumen dengan teman tentang novel pop dan novel sastra. Setelah ikut kelasnya mbak Leila Chudori selama sebulan lebih dikit, saya jadi belajar tentang sastra dan pop. Teman saya ini kekeuh kalau penulis hebat hanya yang nulis sastra dan karya-karya Dee bukan termasuk sastra. Well, saya dulu juga mikir gitu, sastrawan ya nulisnya sastra. Tapi sekarang I don’t give a bip. Buat saya karya apapun selama menancapkan bekas mendalam dan dia memberi makna positif atau membuat seseorang belajar sesuatu – idealnya yang lebih baik, maka dia adalah karya bagus. Sastra ataupun bukan.

Well, sembari menunggu seri terakhir Supernova, saya akan mencoba merenungi diri sembari tidur, siapa saya di kehidupan sebelumnya.

← aktivis (01)
Anna Karenina ~ the Falling (literally) in Love Woman →

Author:

Dian adalah penulis Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam dan 8 novel serta kumpulan cerita lainnya. Peraih grant Residensi Penulis Indonesia 2019 dan She Creates Change Green Camp 2020 ini lahir tahun 1976, belajar komunikasi di Universitas Diponegoro dan STIK Semarang, lalu lanjut belajar perlindungan anak di Kriminologi UI. Dia adalah anak ke-2 dari 4 bersaudara, ibu dari Vanya Annisa Shizuka dan beberapa anak lain. Saat ini Dian menghabiskan banyak waktunya menjadi penulis lepas dan konsultan untuk isu perlindungan anak dan kekerasan berbasis gender.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

What to Read Next

Perpus Provinsi Kalimantan Selatan yang Inspiratif

Beberapa hari lalu saya mendapatkan kesempatan untuk mengisi acara diskusi literasi di Perpustakaan Provinsi Kalimantan Selatan. Sungguh sebuah kesempatan yang sangat berharga buat saya. Awal menerima undangan ini saya pikir kena prank. Masa’ iya sih ada Perpustakaan Provinsi bikin acara seperti ini, pikir saya. Tapi rupanya ibu Kepala Dinas ini...

Read More →

Berkah Dalem

Selamat merayakan Natal teman-teman, Berkah Dalem. Biasanya kalimat itu yang saya kirimkan ke sahabat dan teman-teman saya melalui WhatsApp untuk memberikan ucapan selamat Natal. Pagi tadi saya menyegarkan kembali ingatan tentang frasa Berkah Dalem, yang menurut beberapa referensi artinya Tuhan memberkati, yang menurut sejarah diambil dari kata Deo Gratia, berkah...

Read More →

44 Years of Practice

Lima tahun lalu saya dapat quote keren banget tentang usia 40, seperti ini: Gambar dari darlingquote.com Lalu tahun-tahun itu berlalu dan saya lupa apa yang jadi resolusi saya di ualng tahun saya ke-40 itu. Saya hanya ingat mengirimkan surat pada 40 orang yang pernah dan masih menggoreskan makna pada hidup...

Read More →

The Class of 94 and Beyond

Ilusi bahwa saya adalah Supergirl, Harley Quin, Black Widow, Queen of Wakanda patah sudah. Tanggal 25 Juni menerima hasil antigen positif. Tidak disarankan PCR sama dokter karena dia melihat riwayat orang rumah yang pada positif, “Save your money, stay at home, have fun, order as many foods as you like,...

Read More →

Domba New Zealand dan Pahlawan Perubahan Iklim

Pada suatu hari di bulan November 2016 bersama teman-teman dari tim Alzheimer Indonesia kami mendapat kesempatan untuk mengikuti konferensi di Wellington, New Zealand. Kok baru ditulis sekarang? Huft.. Seandainya kemalasan ada obatnya, saya antri beli dari sekarang. Ada banyak hal yang membuat orang mudah sekali jatuh hati pada Wellington, udaranya...

Read More →

Perjalanan ‘Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam’ Menemukan Jodohnya

Jodoh, rezeki dan maut ada di tangan Tuhan, katanya. Tapi kalau kita berharap Tuhan turun tangan untuk dua item pertama, nyesel sendiri lho ntar. Antriannya panjang, Sis. Ada tujuh milyar orang di muka bumi ini. Cover Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam Maka saya menjemput paksa jodoh tulisan saya pada...

Read More →

Defrag Pikiran dan Keinginan

Ada banyak peristiwa yang terjadi selama tahun 2020 ini, meskipun ada banyak juga yang kita harapkan seharusnya terjadi, tetapi belum kejadian. 2020 adalah tahun yang ajaib. Lulusan tahun ini sempat dibully sebagai lulusan pandemi. Yang keterima sekolah/kuliah di tempat yang diinginkan tidak segirang tahun sebelumnya, yang wisuda tahun ini apa...

Read More →

Didi Kempot, Sugeng Tindak Ma Lord

Hari ini status itu yang saya pasang di media sosial saya dengan foto Didi Kempot hitam putih dengan tulisan the Godfather of Broken Heart. Patahnya hati saya mungkin nggak sepatah teman-teman sadboys dan sadgirls lainnya. Saya tidak mengenal secara personal mas Didi, hanya pernah papasan di sebuah mal di Solo...

Read More →