Arini, Kamu Harus Belajar untuk Lebih Melindungi Diri

Kalau bukan karena Widyawati dan Ida Iasha, tidak mungkin saya menonton Arini puluhan tahun lalu. Ibu saya penggemar mereka, anyway. Kalau bukan karena Morgan Oey, tidak akan saya menyaksikan Arini hari ini. Anak saya waktu kecil ngefans sama Smash. You know me so well..
Well, nonton Arini, Masih Ada Kereta yang Akan Lewat Minggu lalu membuat 10 menit pertama saya jadi penuh emosi di dalam bioskop. Gimana enggak, itu tokoh Nick pengen dilaporin ke polisi nggak sih rasanya? Udah lah naik kereta nggak bayar, nitip tas lalu minta diketuk setelah petugas lewat, nyosor aja ngajak ngomong orang yang lagi baca buku, nyandar-nyandar di pundak orang asing. Duh, saya yang nggak secantik Aura Kasih aja emosi lho. Ini kok Arini diam saja.
Lalu 10 menit berikutnya kemarahan saya semakin membuncah. Itu bocah kencur, mencet-mencet bel apartemen orang nggak pake sopan santun. Eh… yang lebih bikin gengges, kok ya Arininya mau bukain pintu, nerima masuk, nyuguhin minum, masakin makanan. Ini akal sehat saya yang lepas atau saya kebanyakan nonton Criminal Minds jadi selalu berpikir semua orang jahat ya? Saya agak gagal menemukan logika di film ini. Saya sejujurnya lupa Arini versi lama. Saya juga tidak terlalu ingat pernah membaca novelnya tante Mira W yang satu ini.
Yang saya pelajari dari mbak Leila Chudori, nulis fiksi itu kadang perlu lebih logis daripada fakta benerannya. Dari mas Agus Noor & Khrisna Pabicara saya belajar untuk bertanya kembali tentang cerita saya. Masuk akal nggak?
Lalu saya tersedak-sedak nonton Arini. Suguhan Heidelberg & Nuremberg-nya ok lah. Yogyakarta tempo dulu dan kekinian juga aman. Aktingnya Morgan dan Aura Kasih. Jempol banget. Casting-nya nggak salah menurut saya. Itu anak bau kencur pengen dididik tata krama banget rasanya sama tante. Sementara tante Arini gemes-gemes gimana gitu di film.
Yang bikin kesedak lainnya adalah:
Adegan makan malam sama ortu Nick. Ibu Nick tanya ke Arini, “Besok kamu ulang tahun ya? Yang ke berapa?”
Arini jawab, “38 bu.”
“Kalau gitu jangan panggil saya Bu dong. Panggil mbak.”
Nick nyahut, “Kalau gitu aku juga panggil mama mbak dong.”
Doweweweweng!!!
Aduhhh…
Rasanya adegan ini pengen saya take out. Belum lagi ibu-bapak Nick yang secara fisik babar blas nggak mirip Nick. Mungkin Ferry Salim dan Ira maya Sopha lebih pas di-casting di sini.
Adegan lain yang bikin ilfil adalah bagaimana Arini yang terganggu dengan kehadiran Nick setelah dikuntit kemanapun pergi, tapi giliran diajakin ke Heidelberg pada akhirnya mau juga. Alamaakkk…
Satu lagi, satu lagi. Nick kan ceritanya jatuh cinta mampus sama Arini, hanya karena ketemu di gerbong kereta itu. Ini.. menurut saya.. kurang gimana gitu. Mesti ditemukan cantolannya. Misalnya, Arini mukanya mirip idolanya, Arini baca novel yang sama dengan dia, atau semacamnya. Duh, saya agak kurang pakar dalam hal jatuh cinta, tapi ada yang kurang beberapa gram rasanya di sini.

Saya yakin tante Mira menulis novel ini dengan sangat baik. Menumpahkan isi novel ke dalam film memang memerlukan energi dan keahlian khusus. Ruang imajinasi pembaca yang maha tak terbatas di dalam novel, menjadi sangat penuh batasan di layar film. Menceritakan perasaan Nick dan Arini ke dalam dua jam gambar pasti jauh lebih sulit dibanding membiaran pembaca ngayal-ngayal dan punya bayangan sendiri atas perasaan para tokohnya.
Seandainya saya yang bikin film, mungkin saya akan rombak habis macam Romeo Juliet dibikin versi kulit hitam dan etnis Cina, Capulet & Montague-nya juga dibuat pengedar narkoba dan gangster. Nah, Arini mungkin juga bisa dibikin versi kekinian dengan pendekatan intens-nya Nick lewat dunia maya. Lalu dunia kerjanya Arini dan mantan suaminya nggak harus sekantor-sekantor banget gitu. Terus fakta bahwa anak Arini masih hidup juga bisa diakalin lah. Those are too sinetron.
Well, di masa novelnya ditulis saya yakin itu udah sangat realistis dan keren banget. Tapi ketika dikontekskan ke hari gini jadi ada yang kurang pas ya rasanya. Saya jadi gemes-gemes gimana gitu. Ah… tapi film ini tetep seru lah ditonton. Ajakin bokap-nyokap lah. Biar mereka bulan madu kedua gitu rasanya.
Poin plusnya, lagu-lagu soundtrack Arini sungguh enak-enak banget. Dan Mogan Oey, acting-nya super keren. Saya sampe pengen jitakin dia rasanya. Terus lumayan liat pemandangan bagus di film. Heidelberg-nya bikin saya melayang ke komik Heidi si anak gunung. Suka!

Now, I leave it to you. Silahkan menonton filmnya mumpung masih main di bioskop. And please let me know what you think. Sepakat atau nggak sepakat sama saya. Yang jelas pesan saya buat kita semua, jangan terlalu kayak Arini ya. Kita perlu melindungi diri kita dari predator seksual di dunia fana ini. Morgan Oey cuma ada di layar kaca. Jangan masukin orang asing ke dalam rumah, jangan mau dititipin tas atau benda apapun sama orang nggak dikenal, jangan mau diajak ke Heidelberg, kecuali kalau dia beliin kita tiket Jakarta – Heidelberg PP.
Cus! Happy watching!

← Kenapa Harus Bule? Kenapa Enggak?
Lucky Bastard Ep. 1; Hadiah Ulang Tahun ke Bali →

Author:

Dian adalah penulis Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam dan 8 novel serta kumpulan cerita lainnya. Peraih grant Residensi Penulis Indonesia 2019 dan She Creates Change Green Camp 2020 ini lahir tahun 1976, belajar komunikasi di Universitas Diponegoro dan STIK Semarang, lalu lanjut belajar perlindungan anak di Kriminologi UI. Dia adalah anak ke-2 dari 4 bersaudara, ibu dari Vanya Annisa Shizuka dan beberapa anak lain. Saat ini Dian menghabiskan banyak waktunya menjadi penulis lepas dan konsultan untuk isu perlindungan anak dan kekerasan berbasis gender.

  1. Ciamik min! Bener banget, cerita di awal rasanya pengin nimpuk sandal ke Nick. Gengges berat. Ngejar ngejar wis mengganggu tenan og. Aku juga ngerasa cerita di awal kok kayak kehilangan jembatan gitu. Sebagai penikmat film film India, aku merasa slur dramanya terlalu cepat. Jadi kita kebingungan kenapa ujug ujug muncul si Nick gelendotan ke Tante Arini. Terus ngikutin ke mana mana Arini pergi. Kenapa oh kenapa? Tapi Arini kelewat kalem sampe sampe diboongin identitasnya si Nick di awal aja kagak ngamuk hahahaha. Apalagi dibiarin masuk apartemennya. Aduhai, peluang kekerasannya di depan mata. Jujur, aku tertarik nonton karena Mira W dan Ismail Basbeth. Wkwkwkwk.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

What to Read Next

Perpus Provinsi Kalimantan Selatan yang Inspiratif

Beberapa hari lalu saya mendapatkan kesempatan untuk mengisi acara diskusi literasi di Perpustakaan Provinsi Kalimantan Selatan. Sungguh sebuah kesempatan yang sangat berharga buat saya. Awal menerima undangan ini saya pikir kena prank. Masa’ iya sih ada Perpustakaan Provinsi bikin acara seperti ini, pikir saya. Tapi rupanya ibu Kepala Dinas ini...

Read More →

Berkah Dalem

Selamat merayakan Natal teman-teman, Berkah Dalem. Biasanya kalimat itu yang saya kirimkan ke sahabat dan teman-teman saya melalui WhatsApp untuk memberikan ucapan selamat Natal. Pagi tadi saya menyegarkan kembali ingatan tentang frasa Berkah Dalem, yang menurut beberapa referensi artinya Tuhan memberkati, yang menurut sejarah diambil dari kata Deo Gratia, berkah...

Read More →

44 Years of Practice

Lima tahun lalu saya dapat quote keren banget tentang usia 40, seperti ini: Gambar dari darlingquote.com Lalu tahun-tahun itu berlalu dan saya lupa apa yang jadi resolusi saya di ualng tahun saya ke-40 itu. Saya hanya ingat mengirimkan surat pada 40 orang yang pernah dan masih menggoreskan makna pada hidup...

Read More →

The Class of 94 and Beyond

Ilusi bahwa saya adalah Supergirl, Harley Quin, Black Widow, Queen of Wakanda patah sudah. Tanggal 25 Juni menerima hasil antigen positif. Tidak disarankan PCR sama dokter karena dia melihat riwayat orang rumah yang pada positif, “Save your money, stay at home, have fun, order as many foods as you like,...

Read More →

Domba New Zealand dan Pahlawan Perubahan Iklim

Pada suatu hari di bulan November 2016 bersama teman-teman dari tim Alzheimer Indonesia kami mendapat kesempatan untuk mengikuti konferensi di Wellington, New Zealand. Kok baru ditulis sekarang? Huft.. Seandainya kemalasan ada obatnya, saya antri beli dari sekarang. Ada banyak hal yang membuat orang mudah sekali jatuh hati pada Wellington, udaranya...

Read More →

Perjalanan ‘Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam’ Menemukan Jodohnya

Jodoh, rezeki dan maut ada di tangan Tuhan, katanya. Tapi kalau kita berharap Tuhan turun tangan untuk dua item pertama, nyesel sendiri lho ntar. Antriannya panjang, Sis. Ada tujuh milyar orang di muka bumi ini. Cover Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam Maka saya menjemput paksa jodoh tulisan saya pada...

Read More →

Defrag Pikiran dan Keinginan

Ada banyak peristiwa yang terjadi selama tahun 2020 ini, meskipun ada banyak juga yang kita harapkan seharusnya terjadi, tetapi belum kejadian. 2020 adalah tahun yang ajaib. Lulusan tahun ini sempat dibully sebagai lulusan pandemi. Yang keterima sekolah/kuliah di tempat yang diinginkan tidak segirang tahun sebelumnya, yang wisuda tahun ini apa...

Read More →

Didi Kempot, Sugeng Tindak Ma Lord

Hari ini status itu yang saya pasang di media sosial saya dengan foto Didi Kempot hitam putih dengan tulisan the Godfather of Broken Heart. Patahnya hati saya mungkin nggak sepatah teman-teman sadboys dan sadgirls lainnya. Saya tidak mengenal secara personal mas Didi, hanya pernah papasan di sebuah mal di Solo...

Read More →