baharui komitmen untuk HIV/AIDS

Yogyakarta, 16 Mei 2010

Malam Renungan AIDS Nusantara 2010

  Malam itu sekitar 600-an orang berkumpul di Main Hall Balai Kota Yogyakarta. Ibu-ibu dan anak-anak kecil yang digandengnya, suami-suami, remaja cantik dan ganteng, teman-teman dari Vesta, Diadjeng, Dimas, Kebaya, Victory, beberapa Rumah Sakit dan Puskesmas di Yogyakarta, mahasiswa, media dan masih banyak lagi. Kami semua berkumpul di sana malam itu untuk sebuah tujuan, mengenang mereka yang lebih dulu meninggalkan kita karena AIDS dan bersama-sama membaharui komitmen, untuk bergandeng tangan memutus mata rantai penyebaran HIV. Bukan untuk membatasi hak hidup mereka yang memiliki HIV di tubuhnya. Acara diramaikan dengan dance yang menarik tentang bagaimana kita bisa bersama-sama menghadapi HIV dengan cinta dan kasih sayang. Kemudian ada puisi karya pak Slamet yang dibacakan mb Diah dengan cantik, juga penyalaan lilin sebagai tanda kepedulian dan keikutsertaan untuk menghentikan penyebaran HIV.

Malam itu saya bertemu dan berinteraksi dengan banyak teman, diantaranya adalah seorang sahabat yang baru saja mengalami sebuah drama. Dia tinggal di Jogja dan baru saja mengungkap status HIV-nya, dan ternyata warga di sekitarnya justru mendidiskriminasi sahabt saya tersebut dan keluarganya. Fiuh… Yang paling pedih, anak sahabat saya yang masih balita, ikut menerima diskriminasi itu. Si kecil ditutup aksesnya untuk bermain dengan anak-anak lain sebayanya, istri dan keluarganya dipaksa untuk melakukan test, dan berbagai tindakan diskriminatif lainnya.Hal ini jelas melanggar hak asasi sahabat saya dan keluarganya.

Tapi tentu saja kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan warga di sekitar tempat tinggal sahabt saya tersebut. Mungkin selama ini mereka tidak mendapatkan informasi yang tepat mengenai HIV/AIDS, mungkin yang ada di kepala mereka tentang HIV/AIDS adalah penyakit menular yang dengan bersentuhan bisa mentransfer virus ke orang lain, atau mungkin juga yang mereka tahu tentang HIV bahwa orang yang terkena adalah mereka yang dikutuk oleh Tuhan, karena perbuatan mereka yang “dianggap” negatif.

Padahal, siapapun bisa terpapar HIV. Pasien dokter gigi yang terpapar karena peralatan kurang steril yang baru saja dipakai merawat pasien ODHA, orang yang mendapat transfusi dari darah yang terpapar HIV, petugas kesehatan yang banyak berinteraksi dengan HIV, istri yang berhubungan hanya dengan satu suami (tapi ternyata suami terpapar HIV), bayi yang dikandung oleh ibu dengan HIV, bayi yang disusui oleh ibu HIV, mereka yang bergantian jarum ketika memakai narkoba, orang yang berganti-ganti pasangan seksual dan terpapar karena aktifitasnya itu, dan sebagainya. Siapa saja dari kita memiliki kans untuk terpapar HIV, termasuk orang yang melakukan diskriminasi terhadap ODHA maupun keluarganya.

Pelajaran yang harus dipetik dari sahabat saya adalah, kesabarannya. Dia tidak panas menghadapi warga. Keluhan mereka, teriakannya, protesnya, semua didengarkan. Pada akhirnya dalam sebuah acara sarasehan bersama teman-teman dari KPA dan pendamping, warga bisa memahami bahwa apa yang selama ini ada di kepala mereka tentang HIV tidak sepenuhnya benar. Sodara-sodara… Jangankan warga yang memang awam, lha wong tenaga medis saja masih ada yang melakukan diskriminasi terhadap ODHA kok. Ini bukan berarti bahwa tindakan diskriminasi selamanya bisa dimaklumi. Secepatnya mencari informasi yang benar adalah solusi untuk segera mengakhiri diskriminasi.

Diskriminasi hanya akan menciptakan ruang gelap yang semakin melebar. Orang takut mengetahui status HIV-nya. Mereka memilih diam dan pura-pura tidak tahu, tapi mengambil resiko terpapar atau memaparkan pada lebih banyak orang. Padahal HIV bukan akhir dari kehidupan. Ini hanya perubahan status saja. Selebihnya, tidak banyak yang berbeda.

Jadi, dari malam dimana puluhan lilin dinyalakan malam itu, saya belajar sesuatu.

  • Tidak berdiri sendiri untuk melawan HIV, tapi menggandeng lebih banyak tangan untuk bersama-sama memutus mata rantai penularan HIV,
  • membuka cakrawala pikir bahwa bukan berarti apa yang tertanam di kepala kita sekian lama adalah yang paling benar. The world is moving, so does everything on it. Kalau kita mau kekeuh marekeuh dengan pikiran-pikiran yang dipenuhi stigma dan tidak mau membuka diri untuk belajar, maka kita memang tidak akan pernah kemana-mana,
  • membaca lebih banyak buku tentang HIV/AIDS
  • mengikuti perkembangan HIV, karena mungkin buku-buku yang saya koleksi dari tahun 2000 sudah expired 😉
  • lebih banyak menempatkan diri di sisi seberang (kalau nggak salah bahasa Indonesianya adalah empati).

Anda mau menambahkan?
gambar lilin dari sini ya

← dan demi waktu
petisi OCEANS →

Author:

Dian adalah penulis Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam dan 8 novel serta kumpulan cerita lainnya. Peraih grant Residensi Penulis Indonesia 2019 dan She Creates Change Green Camp 2020 ini lahir tahun 1976, belajar komunikasi di Universitas Diponegoro dan STIK Semarang, lalu lanjut belajar perlindungan anak di Kriminologi UI. Dia adalah anak ke-2 dari 4 bersaudara, ibu dari Vanya Annisa Shizuka dan beberapa anak lain. Saat ini Dian menghabiskan banyak waktunya menjadi penulis lepas dan konsultan untuk isu perlindungan anak dan kekerasan berbasis gender.

  1. @Hari: betul sekali. cuma 30% kemungkinan ibu menularkan HIV ke bayi yang dikandungnya. makanya wajib banget buat ibu dengan HIV untuk melakukan terapi mencegah penularan terhadap bayi

    @Akin: betul. anda sudah benar kok 😉

  2. salam sobat
    kasihan sekali ,ya,kalau balita juga ditutup akses mainnya dengan anak-anak lainnya.
    seharusnya jangan didiskriminasikan .

  3. bener banget mbak, masyarakat kita harus di beri pemahaman tentang apa itu AIDS dan bagaimana penularannya biar gak sembarangan mendiskriminasi seseorang 🙂

  4. ribet kalau menyangkut masalah sosial mah, memang harus dimulai dari diri kita pribadi min seperti point terakhir kesimpulanmu yaitu “berempati” 🙂 tq dah berbagi 🙂

  5. @nura: betul, mereka berhak untuk mendapatkan masa kecilnya

    @idana: mantap sist

    @warcof: mari kita berempati

    @julian: amien, semoga ya…

  6. makanya mulai skrg jg say no to “Free Sex”
    dan jgn kucilkan mreka yg udh terkena HIV, justru kitalah yg hrs berperan aktif mmbuat mreka bs bertahan utk sembuh…

  7. @penghuni 60: tetep harus say no sama free sex. setia jauh lebih baik. tapi saya setuju bahwa kita tidak boleh mengucilkan mereka yang terpapar HIV.

    @science: terima kasih 🙂

  8. Bagaimanapun penderita aids dan keluarganya berhak mendapat perlakuan normal. memang, lebih penting lagi untuk tidak mendekati sumber penyebab aids.

  9. Diskriminasi entah mengapa selalu muncul walau kita sering kali mengingatkan satu sama lainnya.

    Sayangnya kita tak boleh lelah begitu saja, walau kesabaran mungkin sudah lama meninggalkan ujungnya. Jika tidak, bisa jadi banyak hal tidak bertambah baik sama sekali.

  10. kalo masyarakat awam mungkin cenderung sperti itu ya, mbak…
    mendiskriminasi dan menjauhi ODHA….hehehe
    semoga dga danya penyuluhan HIV/ aids ini, lama2 diskriminasi itu smkin berkurang ya… 🙂

  11. HIV/AIDS itu seperti bola salju saja..semakin lama semakain besar jangkauan yang terinfeksi…krn itu patut diwaspadai & dicegah penyebarannya…
    Salam

  12. @Yani: yuwk, sama-sama berkomitmen 🙂

    @Agoes: setuju mas. salam

    @Mala: terima kasih

    @Afis: memang butuh waktu, tapi saya yakin pasti bisa

    @cahya, edwin, vany: setuju!!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

What to Read Next

Perpus Provinsi Kalimantan Selatan yang Inspiratif

Beberapa hari lalu saya mendapatkan kesempatan untuk mengisi acara diskusi literasi di Perpustakaan Provinsi Kalimantan Selatan. Sungguh sebuah kesempatan yang sangat berharga buat saya. Awal menerima undangan ini saya pikir kena prank. Masa’ iya sih ada Perpustakaan Provinsi bikin acara seperti ini, pikir saya. Tapi rupanya ibu Kepala Dinas ini...

Read More →

Berkah Dalem

Selamat merayakan Natal teman-teman, Berkah Dalem. Biasanya kalimat itu yang saya kirimkan ke sahabat dan teman-teman saya melalui WhatsApp untuk memberikan ucapan selamat Natal. Pagi tadi saya menyegarkan kembali ingatan tentang frasa Berkah Dalem, yang menurut beberapa referensi artinya Tuhan memberkati, yang menurut sejarah diambil dari kata Deo Gratia, berkah...

Read More →

44 Years of Practice

Lima tahun lalu saya dapat quote keren banget tentang usia 40, seperti ini: Gambar dari darlingquote.com Lalu tahun-tahun itu berlalu dan saya lupa apa yang jadi resolusi saya di ualng tahun saya ke-40 itu. Saya hanya ingat mengirimkan surat pada 40 orang yang pernah dan masih menggoreskan makna pada hidup...

Read More →

The Class of 94 and Beyond

Ilusi bahwa saya adalah Supergirl, Harley Quin, Black Widow, Queen of Wakanda patah sudah. Tanggal 25 Juni menerima hasil antigen positif. Tidak disarankan PCR sama dokter karena dia melihat riwayat orang rumah yang pada positif, “Save your money, stay at home, have fun, order as many foods as you like,...

Read More →

Domba New Zealand dan Pahlawan Perubahan Iklim

Pada suatu hari di bulan November 2016 bersama teman-teman dari tim Alzheimer Indonesia kami mendapat kesempatan untuk mengikuti konferensi di Wellington, New Zealand. Kok baru ditulis sekarang? Huft.. Seandainya kemalasan ada obatnya, saya antri beli dari sekarang. Ada banyak hal yang membuat orang mudah sekali jatuh hati pada Wellington, udaranya...

Read More →

Perjalanan ‘Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam’ Menemukan Jodohnya

Jodoh, rezeki dan maut ada di tangan Tuhan, katanya. Tapi kalau kita berharap Tuhan turun tangan untuk dua item pertama, nyesel sendiri lho ntar. Antriannya panjang, Sis. Ada tujuh milyar orang di muka bumi ini. Cover Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam Maka saya menjemput paksa jodoh tulisan saya pada...

Read More →

Defrag Pikiran dan Keinginan

Ada banyak peristiwa yang terjadi selama tahun 2020 ini, meskipun ada banyak juga yang kita harapkan seharusnya terjadi, tetapi belum kejadian. 2020 adalah tahun yang ajaib. Lulusan tahun ini sempat dibully sebagai lulusan pandemi. Yang keterima sekolah/kuliah di tempat yang diinginkan tidak segirang tahun sebelumnya, yang wisuda tahun ini apa...

Read More →

Didi Kempot, Sugeng Tindak Ma Lord

Hari ini status itu yang saya pasang di media sosial saya dengan foto Didi Kempot hitam putih dengan tulisan the Godfather of Broken Heart. Patahnya hati saya mungkin nggak sepatah teman-teman sadboys dan sadgirls lainnya. Saya tidak mengenal secara personal mas Didi, hanya pernah papasan di sebuah mal di Solo...

Read More →