Minggu lalu saya baru saja pulang dari Makassar. Ini adalah untuk pertama kalinya saya berkunjung ke kota itu. Oh, tentu saja bukan dalam rangka jalan-jalan, karena saya belum punya cukup uang untuk dialokasikan ke budget jalan-jalan. Saya ke Makassar untuk sebuah tugas kantor.
Ini yang saya sukai dari pekerjaan saya sekarang. Pekerjaan yang membawa saya berjalan-jalan berkeliling dunia. Well, Makassar bagian dari dunia kan? Tapi ini juga yang membuat saya jadi memiliki banyakan keterbatasan. Misalnya jadi terbatas waktu untuk potret sana sini, ngetwit sana sini, up date status facebook, dll. Tapi satu hal yang menguntungkan adalah saya jadi berkenalan dengan banyak teman. Jadi berkenalan dengan @ipulg_, @_nanie-, @Iqko, @irhapunya, @mustamar, @TaqdirArsyad, @rara79, @andhy2 dan banyak daeng yang lain.
Kami bertemu hanya sekali, selanjutnya pertemuan kami diperpanjang oleh twitter. Janjian mau kesana kemari, tidak pernah berujung, sampai akhirnya saya memutuskan menculik seorang teman yang dikenalkan oleh sahabat saya, untuk membawa saya ke pantai Losari. Hidup belum lengkap di Makassar tanpa mengunjungi pantai Losari. Dan di sana, ada sebuah keajaiban yang mungkin hanya terjadi di Indonesia. Saya menemukan dua kerumuman orang berdiri melingkar (mengkotak lebih tepatnya) mengelilingi satu orang berpakaian jubah panjang ala pemuka agama, yang berteriak-teriak menjajakan keahliannya.
Yang pertama secara telak menjajakan obat yang konon bisa mengobati berbagai penyakit, sembari membawa kotak kayu berisi buaya muda sepanjang kurang lebih 1 meter. Tentu saja saya segera ngacir meninggalkan kerumuman itu. Saya juga kadang-kadang bisa jadi buaya, tapi kalau dipertemukan dengan nenek moyang saya yang sesungguhnya, saya memilih untuk pura-pura tidak pernah jadi buaya saja.
Di kerumuman berikutnya, si aktor utama jauh lebih cantik permainannya. Dia membagikan sebuah batu akik, yang tentu saja langsung saya sambut dengan bahagia. Warnanya merah, kecil dan cantik. Lalu ada atraksi dimana seorang penonton diminta menggenggam batu akik itu, dan tangannya dipotong dengan golok. Abrakadabra, tentu saja tangannya tidak terluka sedikitpun. Kemudian, dia memotong leher seorang aktor pendukung yang sudah dibungkus dengan kain hitam. Tapi dia baik-baik saja. Ah… saya benar-benar semakin cinta Indonesia. Karena mungkin hal-hal seperti ini hanya bisa saya temukan di negeri ini.
Berikutnya, si aktor utama meminta kami yang sudah menggenggam batu akik untuk membungkusnya dengan uang kertas lalu menggenggamnya dengan tangan Kanan. Dia bilang, semakin besar pecahan uangnya, semakin ampuh doanya. Hmmm… malaikat juga bisa disogok rupanya ya.. Saya ambil lembaran seribu rupiah dari dompet, karena saya merasa sayang kalau uang pecahan lebih besar menjadi pembungkus. Soal keampuhan, saya kurang terlalu peduli. Tapi ketika aktor itu meminta saya dan penonton lain untuk mengembalikan batu akik dan uang yang membungkusnya ke dalam wadah yang disediakan, saya mundur dong. Saya mulai mencium gelagat tepu-tepu di sini. Bukannya pelit uang 1000 saya melayang lho… Tapi, saya sudah terlanjur cinta pada batu akik merah saya tadi 😛
Setelah itu berpanjang-panjang aktor itu bercerita tentang keampuhan akik, dari mulai mengobati panu, batuk kering, tenggorokan gatal, kanker, sampai mengobati skripsi yang tidak selesai-selesai, saya merasa putus asa. Teman saya Fifi lebih putus asa lagi. Dia 5 tahun kuliah kedokteran, dan semua ilmunya patah oleh aktor utama di kerumunan tadi. Maka kami memutuskan untuk pergi dari kerumunan itu sambil membawa batu akik secara diam-diam.
Menurut teman saya Ikdar, keputusan saya tepat. Karena aktor itu tidak akan berhenti berpidato. Dia akan terus berbicara sampai satu persatu orang menyerah seperti saya, lalu dia mengumpulkan uang pembungkus akik tadi. That’s how it works. Dari situlah dia mendapatkan uang pengganti energinya yang terbuang.
Woh!!
Bukannya itu penipuan ya?
Nyatanya tidak ada yang merasa ditipu. Para penonton yang masih tersisa nanti diberikan kembali akiknya, beserta sebuah keyakinan, bahwa obat segala penyakit, sudah ada di tangan mereka.
Pak, punya obat untuk menyembuhkan penyakit para pemimpin negeri ini nggak?
Isu Sosial, Kesehatan, Perjalanan, Tulisan
obat segala penyakit
Tinggalkan Balasan
What to Read Next
Perpus Provinsi Kalimantan Selatan yang Inspiratif
Beberapa hari lalu saya mendapatkan kesempatan untuk mengisi acara diskusi literasi di Perpustakaan Provinsi Kalimantan Selatan. Sungguh sebuah kesempatan yang sangat berharga buat saya. Awal menerima undangan ini saya pikir kena prank. Masa’ iya sih ada Perpustakaan Provinsi bikin acara seperti ini, pikir saya. Tapi rupanya ibu Kepala Dinas ini...
Berkah Dalem
Selamat merayakan Natal teman-teman, Berkah Dalem. Biasanya kalimat itu yang saya kirimkan ke sahabat dan teman-teman saya melalui WhatsApp untuk memberikan ucapan selamat Natal. Pagi tadi saya menyegarkan kembali ingatan tentang frasa Berkah Dalem, yang menurut beberapa referensi artinya Tuhan memberkati, yang menurut sejarah diambil dari kata Deo Gratia, berkah...
44 Years of Practice
Lima tahun lalu saya dapat quote keren banget tentang usia 40, seperti ini: Gambar dari darlingquote.com Lalu tahun-tahun itu berlalu dan saya lupa apa yang jadi resolusi saya di ualng tahun saya ke-40 itu. Saya hanya ingat mengirimkan surat pada 40 orang yang pernah dan masih menggoreskan makna pada hidup...
The Class of 94 and Beyond
Ilusi bahwa saya adalah Supergirl, Harley Quin, Black Widow, Queen of Wakanda patah sudah. Tanggal 25 Juni menerima hasil antigen positif. Tidak disarankan PCR sama dokter karena dia melihat riwayat orang rumah yang pada positif, “Save your money, stay at home, have fun, order as many foods as you like,...
Australia, Isu Sosial, Kesehatan, Lingkungan, Non Fiksi, Perjalanan, Selandia Baru
Domba New Zealand dan Pahlawan Perubahan Iklim
Pada suatu hari di bulan November 2016 bersama teman-teman dari tim Alzheimer Indonesia kami mendapat kesempatan untuk mengikuti konferensi di Wellington, New Zealand. Kok baru ditulis sekarang? Huft.. Seandainya kemalasan ada obatnya, saya antri beli dari sekarang. Ada banyak hal yang membuat orang mudah sekali jatuh hati pada Wellington, udaranya...
Asia, Budaya, Fiksi, Indonesia, Isu Sosial, Kejahatan, Novel, Novel, Perjalanan, Tulisan
Perjalanan ‘Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam’ Menemukan Jodohnya
Jodoh, rezeki dan maut ada di tangan Tuhan, katanya. Tapi kalau kita berharap Tuhan turun tangan untuk dua item pertama, nyesel sendiri lho ntar. Antriannya panjang, Sis. Ada tujuh milyar orang di muka bumi ini. Cover Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam Maka saya menjemput paksa jodoh tulisan saya pada...
Isu Sosial, Lingkungan, Non Fiksi, Praktik Baik, Tulisan
Defrag Pikiran dan Keinginan
Ada banyak peristiwa yang terjadi selama tahun 2020 ini, meskipun ada banyak juga yang kita harapkan seharusnya terjadi, tetapi belum kejadian. 2020 adalah tahun yang ajaib. Lulusan tahun ini sempat dibully sebagai lulusan pandemi. Yang keterima sekolah/kuliah di tempat yang diinginkan tidak segirang tahun sebelumnya, yang wisuda tahun ini apa...
Budaya, Isu Sosial, Kesehatan, Sosok, Tulisan
Didi Kempot, Sugeng Tindak Ma Lord
Hari ini status itu yang saya pasang di media sosial saya dengan foto Didi Kempot hitam putih dengan tulisan the Godfather of Broken Heart. Patahnya hati saya mungkin nggak sepatah teman-teman sadboys dan sadgirls lainnya. Saya tidak mengenal secara personal mas Didi, hanya pernah papasan di sebuah mal di Solo...
cara jitu memperoleh obat segala penyakit nih 😀
salam
Kunjungi juga yah Web Flash saia Digital Printing Suppliers
kasihan Fifi…
#salahcomment 😀
masih ada to ternyata cara-cara seperti itu, kalau pengalaman saya nonton seperti ya ketika masih anak-anak di pasar
Aulia, mari ke Makassar 🙂
Doni, sudah saya kunjungi ya..
Afiq, hahaha… kasian just silly dong
Narno, masih ada, saya juga tadinya mikir kalo yang begituan adalah standar tahun 80-an, eh.. ternyata masih ada
halooo mba dian……
hanya ingin mengikuti postingan agan .
postingan yang menarik
nice gan .
sempatkan mampir ke website kami
http://www.hajarabis.com
hai mbak dian 😀
woohoo. postingan kopdar, asik beet!
*nyungsep di belakang blog yg byk laba2nya*
wow cerdik ya… kreatif 😆
:)……senyum bacanya mba dian…berarti kaya APOTIK ya….
Hahaha…
seru banget pengalaman di Makassar-nya, Mbak. Pertunjukan serupa sudah kerap menjadi penghias pasar atau tempat umum lainnya di negara kita. Hanya saja baru kali ini saya dengar yang model tipuan batu merah kek gitu 😀
haloo mbak irhaa..
mb ntan.. haha, awas jadi spidergirl 🙂
Lambertus: beda tipis sama licik ya 😉
Ahmad: yup..
Akin: saya masih simpen sampe skrg lho, batunya
Kasihan ya, ini bukti bahwa jaman sekarang nyari duit itu susah, sampe2 banyak orang melakukan segala cara untuk dapetin duit… 🙁
makin canggih aja org menipu..hehe
huauahahaha…
sumpah keren Indonesia ini, sanggup mematahkan ilmu kedokteran dan lebih bagusnya lagi, ada obat yang sanggup mengobati skripsi 😀
perjalanannya yang menyenangkan 🙂
hebat bener obatnya bisa mengobati skripsi yang nggak selesai-selesai, 😆
makasih buk di dah mbuatkuh tersenyum disiang ini… matur suwun sanget nggih… peluk.. peluk… kangen ma kmu buk…