Hari Sabtu dan Minggu awal November lalu, saya catat sebagai salah satu hari penting dalam perjalanan hidup saya. Setelah lebih dari 18 tahun saya tidak pernah lagi menginjakkan kaki di tubuh gunung Ungaran, hari itu saya kembali datang untuk menyapa Ungaran. Pertama kali saya berada di lerengnya 20 tahun lalu, saya menjalani diksar, pendidikan dasar untuk menjadi salah satu anggota Jagabhumi sebuah wadah persahabatan orang-orang yang suka mendaki gunung di SMA saya. Sekarang saya kembali lagi untuk melihat 21 angkatan di bawah saya menjalani apa yang dulu saya lewati.
Kalau sahabat saya Dhanang menulis tentang apa yang terlihat dan tercatat tentang Diksar angkatan 22 Jagabhumi dengan sangat cantik di blognya, saya ingin mencoba meraba-raba yang tak terlihat tapi dapat dirasakan. Setidaknya saya merasakannya dengan jelas sepanjang perjalanan di Gunung Ungaran.
Semangat
Apa namanya kalau bukan semangat? Seluruh peserta dan panitia Diksar Jagabhumi disambut hujan deras sehingga membuat perjalanan berhenti dan acara berubah total. Mereka terpaksa berhenti di kebun mawar tanpa bisa menikmati indahnya mawar. Melingkar, kedinginan, saling menghangatkan, saling menguatkan. Sembilan perempuan hebat dengan rackshack yang lebih tinggi dari tubuh mereka kalau sudah digendongkan, tidak menyerah. Mereka bertahan hingga akhir acara.
Sayangnya saya hanya menunggui satu rangkaian acara yang harus mereka lewati. Susur gua. Satu persatu mendapat tugas untuk menyusuri gua jepang yang dulunya digunakan sebagai penjara dan tempat penyiksaan di jaman penjajahan Jepang. Tiap orang mendapat bekal lilin sepanjang 2 cm, 3 batang korek api dan sepotong kecil pemantiknya. Tidak satupun dari mereka surut. Mereka juga tetap tidak menyerah ketika harus merayap menyetubuhi bumi demi mendapatkan sebuah syal abu-abu dengan lambang topi rimba di satu sudutnya. Syal Jagabhumi.
Apa namanya kalau bukan semangat? Guru-guru yang tidak dibayar, ikut mendaki menemani anak-anak mereka, demi memastikan semua berjalan dengan baik dan tidak terjadi hal-hal yang tidak diharapkan? Kalau bukan semangat, pak Agus, pak Budi dan pak Dimas mungkin memilih tidur di rumah dengan TV meninabobokkan mereka. Tapi dingin ungaran yang dipilih.
Bukan semangat jugakah, jika senior yang membidani Jagabhumi menempuh ribuan kilometer untuk berada di dekat adik-adiknya, memastikan bahwa nyawa persaudaraan bernama Jagabhumi ini masih nyawa yang sama. Semangat untuk membuat olah raga atau hobi mendaki gunung dan mencumbui alam dalam bentuk apapun bukanlah hal yang berbahaya. Meyakinkan adik-adiknya kalau persaudaraan ini suatu saat di masa yang akan datang akan menjadi salah satu ‘sekolah’ mahal mereka, tempat mereka belajar sesuatu. Tepat waktu, manajemen perjalanan, mengamati lingkungan, tidak sombong, penuh persiapan, berani menghadapi tantangan, tidak menyerah dan entah berapa banyak hal baik lain yang dipelajari di dalam pamitran ini.
Baru
Delapan belas tahun lalu, terakhir kali saya berada di desa Promasan, di sekitarnya sangat tandus dan panas. Desa yang letaknya lebih dari 2000 meter DPL ini di siang hari terasa terik. Tapi minggu lalu, hanya warna hijau daun teh yang membentang di sepanjang saya memandang. Kami bahkan sempat tersesat ketika menuju desa Promasan. Karena jalannya sekarang begitu besar dan ada banyak jalur di sela-sela rerimbunan pohon teh.
Yang baru lagi tentu saja adalah wajah-wajah yang saya temui di sana. Mbah Karbin, salah satu sesepuh yang rumahnya 18 tahun lalu kami gunakan untuk menjadi camp sudah tidak ada, bentuk-bentuk rumahnya lebih berwarna-warni dan cantik, juga adik-adik yang baru sekali saya salami dan temui. Saya selalu suka sesuatu yang baru. Memberi semangat bahwa dunia berputar, memberi saya keberanian bahwa kematian adalah ketakutan pada bayangan sendiri. Karena selalu ada yang baru yang akan menggantikan mereka yang pergi.
Rindu
Ada rindu yang terbayar di lereng Ungaran dalam perjalanan mengunjungi dan memberi dukungan adik-adik yang sedang diksar. Rindu bertemu dengan alam yang terbayar, tapi rindu untuk memberi lebih banyak pada generasi baru juga terasa.
Saya tidak punya apa-apa, tapi saya pastikan ada semangat yang akan menyala sampai akhir hayat saya. Maka, adik-adikku di jagabhumi, yang bisa saya berikan adalah semangat dan janji untuk belajar bersama. Saya sedang belajar menulis, jadi kalau ada diantara kalian yang ingin belajar bersama saya, mari…
Saya juga rindu pada sahabat-sahabat dengan siapa saya dulu memperjuangkan syal abu-abu. Icha, Indah, Galih, Sonny, Kecel, AriNur, Ivan, Imam, semuanya. Saya menantikan Desember dan berdoa semoga diberi kesempatan agar bisa berkumpul dengan kalian. Saya ingin membayar rindu saya di pelukan dingin malam di dalam sleeping bag dan tawa-tiwi mengingat masa lalu.
Dekat
Ohya, tentu saja saya merasa dekat kembali dengan alam dan mimpi saya. Saya tidak tahu mimpi yang mana lagi yang saya dekati, tapi setiap saat saya melakukan perjalanan saya merasa bahwa saya sedang mendekati satu dari ribuan mimpi. Kadang saya tidak bisa menjelaskannya tapi mungkin perkenalan dengan seseorang yang begitu berapi-api menjelaskan tentang jamur, dengan guru-guru yang bersemangat menemani anak-anaknya, dengan adik-adik yang sebelumnya hanya saya kenal di facebook, dengan mbak Siwi yang tidak pernah saya kenal tetapi rupanya dia adalah kakak salah satu teman dekat jaman SMA. Semesta mendekatkan kita pada sesuatu dengan sebuah tujuan. Saya masih belum melihat apa dan dimana ujungnya, tapi saya tahu ada arah yang sedang saya datangi.
On top of all, saya merasa bahwa ada nyawa persaudaraan yang tidak pernah dingin. Kami yang lebih tua ini, mungkin tidak bisa menunjukannya setiap saat, tapi percayalah, kami ada di tempat yang sama, mengamati dan mencintai kalian dengan cara kami.
Wow…. inilah gaya sang pujangga…
Asem ik…
Mulane, ajari nulis toooo…
Aku malah belum sempat nulis, tentang orang orang keren yang aku temui
Siapa orang keren itu? Kok aku nggak dikenalin? 😛
artikelnya bagus bagus sob, senang baca baca di sini. 🙂 . Salam sukses !