Bukan Kita

Sebenarnya judul yang pas adalah, it’s never us. Tapi karena saya cinta bahasa Indonesia, maka semoga judul “Bukan Kita” cukup mewakili.
Tulisan ini mestinya sudah selesai hari Minggu lalu, karena pembicaraan yang dirangkum dalam tulisan ini terjadi pada hari Sabtu. Semoga ingatan-ingatan saya belum terkikis-terkikis amat setelah melewati dua kali tidur malam.

Begini ceritanya, awalnya saya bertemu dengan seorang sahabat untuk membicarakan kemungkinan untuk membantunya menulis mengenai sesuatu yang berhubungan dengan Harta Karun Padang (sebut saja demikian). Setelah mendengar panjang lebar mengenai Padang, rumah Gadang, perdatukan dan banyak hal lagi tentang Padang, kemudian pembicaraan bergeser pada takdir. Yay! Sudah berjuta-juta tahun sejak terakhir kali saya berdiskusi tentang masalah ini dengan orang lain.
Pertanyaan sederhananya adalah, “Apakah kita berperan sebesar yang kita pikirkan pada hidup kita?”
Fiuh…
Saya dan kami semua di meja makan itu berargumen mengenai jawabannya.
X: Kalau gue nggak mengejar si A, maka rapat itu nggak bakal kejadian, dan apa yang sudah kita dapatkan ini nggak kejadian dong?
Y: Kalau saya nggak berupaya untuk ketemu sama anak saya, maka dia nggak akan pernah tahu kalau ibunya mencari dia dong?
Z: Kenapa sih, gue harus kerja susah-susah kalau ini semua sudah ditakdirkan? Mestinya kan duduk aja di rumah, kalau kun fayakun, maka ya harta gue datang sendiri dong?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut jawabannya sangat debatable.

Kita sering kali berpikir bahwa apa yang terjadi pada diri kita adalah karena kita yang menginginkannya dan karena kita sudah berusaha keras untuk mewujudkannya. Maka alam semesta mengabulkan yang kita inginkan. Saya saat ini, lebih dari kapanpun berpikir sangat seperti itu. Makanya saya marah ketika ada orang yang menurut saya mendholimi saya, saya kecewa ketika ada pihak yang harusnya membantu memudahkan hidup saya, malah menepis dengan kata-kata manis, saya sedih dan diam-diam pundung karena merasa tidak dihargai sebagaimana yang saya harapkan, dan seterusnya.
Tetapi dengan teori yang dikemukakan sahabat saya tadi, seharusnya kecewa, marah dan pundung itu nggak perlu terjadi. Kecewa, marah dan sedih atau perasaan-perasaan lain, bahkan bahagia sekalipun adalah hal-hal yang masih ada di level body dan perasaan. Mestinya kalau sudah ada di level ruh, yang konon kabarnya akan mendekatkan kita pada sang pencipta, maka semua dikembalikan lagi ke atas sana – semoga letaknya memang benar di atas.

Duh, kalau sampai di sini mau mulai berhenti membaca, silahkan lho 😉
Saya juga mulai pusing. Karena saya orang yang percaya bahwa nasib kita ada di tangan kita. Ini refer pada misalnya, saya adalah korban KDRT, kalau saya tidak berkeinginan untuk keluar dari lingkaran kekerasan, kalau saya tidak minta bantuan LSM, kalau saya tidak menghentikan pelaku melakukan kekerasan, maka nggak ada ceritanya saya berhenti menjadi korban, kecuali nyawa saya berakhir. Misalnya seperti itu.
Demikian juga untuk kasus lain. Kalau saya nggak belajar dengan keras, masa’ iya saya lulus ujian. Eh, tapi banyak orang yang belajar dengan sangat keras dan nggak lulus juga lho. Jadi? Dan saya juga sering berpikir bahwa saya beruntung. Atau, kalau sedang bermasalah, saya sering kali bilang bahwa saya orang paling malang di dunia, atau menyalahkan diri sendiri karena kurang usaha.

Eh, tapi itu ternyata berat ya, untuk menyerahkan hidup kita pada diri kita sendiri. Bikin stress, marah dan nggak let go. Kalau ada yang nggak sesuai sama standar kita, kita marah atau sedih. Duh, capek juga ya… Maka ide bahwa segala sesuatu sudah ada yang mengatur, bahwa siapapun yang sedang kita hadapi sesungguhnya juga bukan dia-dia juga, karena mereka nggak lebih dari kita – sesama wayang, membuat saya bisa bernafas agak lega. Kenapa? Karena kalau ada hal buruk yang terjadi di luar rencana kita, maka kita bisa melepaskan diri dan (kalau mau) menyalahkan pihak lain yang maha bertanggung jawab itu.

Kita semua adalah wayang, gitu sederhananya. Jadi kalau saya mau sombong bahwa saya sudah mencapai a,b dan c, maka alangkah malunya saya, karena kita ini cuma wayang yang digerakkan untuk mencapai a, b dan c. Pemikiran ini juga menyenangkan sekaligus menenangkan. Jum’at malam lalu, ketika saya sedang berpikir dengan level body dan perasaan, saya merancang-rancang apa yang akan saya katakan pada orang yang – menurut saya – menyakiti perasaan dan merenggut hak saya, semua rancangan saya adalah makian dan sumpah serapah. Sekarang? Setelah berbicara panjang lebar dengan sahabat-sahabat saya itu, saya sedikit bergeser, kalau ada yang akan saya katakan pada orang-orang tersebut, maka kata-kata tersebut adalah, “Saya memaafkan kalian.” Lalu lanjutannya di dalam hati, “Toh kalian sama wayangnya dengan saya.”

Satu hal yang menarik dari pembicaraan Sabtu lalu adalah, bahwa ada konsep reinkarnasi dalam setiap ruh. Kalau kita tidak mengerjakan PR kita di kehidupan yang sekarang ini, maka kita akan dihidupkan lagi untuk mengerjakan PR. Jadi, ini artinya bahwa kita yang hidup di bumi sekarang ini adalah ruh dari kehidupan sebelumnya yang bandel dan nggak bikin PR. Duh! Masa’ saya jadi orang bandel terus? Bukan cuma bandel dari kecil, tapi bahkan bandelnya lintas kehidupan gini.
Jadi, gimana dong biar PR-nya selesai? Let go! Percayakan hidupmu pada yang bikin hidup, gitu katanya jawabannya. Aaarrrggghh!! Berat ya… Katanya kita punya free will? Nah, menurut diskusi Sabtu lalu, free will adalah godaan yang lain lagi. Ketika kita berpikir bahwa semua capaian kita adalah berkat free will kita, maka kita belum mengerjakan PR. Hmm… saya jadi ingat, pada suatu masa di tahun 2006, ketika saya selama 3 bulan tinggal sekamar dengan Iteng aka. Niken Puspitaharum, setiap pagi doanya adalah, “Tuhan Yesus, hilangkan free will saya hari ini. Biarkan saya hidup dan berjalan karena kehendakmu.” Atau sesuatu semacam itu. Sekarang saya semakin bisa mengerti kenapa doa teman saya itu seperti itu dulu.

Baiklah, sementara memikirkan kembali tulisan saya di atas tadi, saya akan mulai mengimbangi dengan, benarkah tidak ada andil kita di dalam setiap apa yang terjadi pada diri kita sendiri?
*menunggu waktu diskusi selanjutnya

← Mulai lagi
Jatuh Cinta Lagi →

Author:

Dian adalah penulis Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam dan 8 novel serta kumpulan cerita lainnya. Peraih grant Residensi Penulis Indonesia 2019 dan She Creates Change Green Camp 2020 ini lahir tahun 1976, belajar komunikasi di Universitas Diponegoro dan STIK Semarang, lalu lanjut belajar perlindungan anak di Kriminologi UI. Dia adalah anak ke-2 dari 4 bersaudara, ibu dari Vanya Annisa Shizuka dan beberapa anak lain. Saat ini Dian menghabiskan banyak waktunya menjadi penulis lepas dan konsultan untuk isu perlindungan anak dan kekerasan berbasis gender.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

What to Read Next

Perpus Provinsi Kalimantan Selatan yang Inspiratif

Beberapa hari lalu saya mendapatkan kesempatan untuk mengisi acara diskusi literasi di Perpustakaan Provinsi Kalimantan Selatan. Sungguh sebuah kesempatan yang sangat berharga buat saya. Awal menerima undangan ini saya pikir kena prank. Masa’ iya sih ada Perpustakaan Provinsi bikin acara seperti ini, pikir saya. Tapi rupanya ibu Kepala Dinas ini...

Read More →

Berkah Dalem

Selamat merayakan Natal teman-teman, Berkah Dalem. Biasanya kalimat itu yang saya kirimkan ke sahabat dan teman-teman saya melalui WhatsApp untuk memberikan ucapan selamat Natal. Pagi tadi saya menyegarkan kembali ingatan tentang frasa Berkah Dalem, yang menurut beberapa referensi artinya Tuhan memberkati, yang menurut sejarah diambil dari kata Deo Gratia, berkah...

Read More →

44 Years of Practice

Lima tahun lalu saya dapat quote keren banget tentang usia 40, seperti ini: Gambar dari darlingquote.com Lalu tahun-tahun itu berlalu dan saya lupa apa yang jadi resolusi saya di ualng tahun saya ke-40 itu. Saya hanya ingat mengirimkan surat pada 40 orang yang pernah dan masih menggoreskan makna pada hidup...

Read More →

The Class of 94 and Beyond

Ilusi bahwa saya adalah Supergirl, Harley Quin, Black Widow, Queen of Wakanda patah sudah. Tanggal 25 Juni menerima hasil antigen positif. Tidak disarankan PCR sama dokter karena dia melihat riwayat orang rumah yang pada positif, “Save your money, stay at home, have fun, order as many foods as you like,...

Read More →

Domba New Zealand dan Pahlawan Perubahan Iklim

Pada suatu hari di bulan November 2016 bersama teman-teman dari tim Alzheimer Indonesia kami mendapat kesempatan untuk mengikuti konferensi di Wellington, New Zealand. Kok baru ditulis sekarang? Huft.. Seandainya kemalasan ada obatnya, saya antri beli dari sekarang. Ada banyak hal yang membuat orang mudah sekali jatuh hati pada Wellington, udaranya...

Read More →

Perjalanan ‘Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam’ Menemukan Jodohnya

Jodoh, rezeki dan maut ada di tangan Tuhan, katanya. Tapi kalau kita berharap Tuhan turun tangan untuk dua item pertama, nyesel sendiri lho ntar. Antriannya panjang, Sis. Ada tujuh milyar orang di muka bumi ini. Cover Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam Maka saya menjemput paksa jodoh tulisan saya pada...

Read More →

Defrag Pikiran dan Keinginan

Ada banyak peristiwa yang terjadi selama tahun 2020 ini, meskipun ada banyak juga yang kita harapkan seharusnya terjadi, tetapi belum kejadian. 2020 adalah tahun yang ajaib. Lulusan tahun ini sempat dibully sebagai lulusan pandemi. Yang keterima sekolah/kuliah di tempat yang diinginkan tidak segirang tahun sebelumnya, yang wisuda tahun ini apa...

Read More →

Didi Kempot, Sugeng Tindak Ma Lord

Hari ini status itu yang saya pasang di media sosial saya dengan foto Didi Kempot hitam putih dengan tulisan the Godfather of Broken Heart. Patahnya hati saya mungkin nggak sepatah teman-teman sadboys dan sadgirls lainnya. Saya tidak mengenal secara personal mas Didi, hanya pernah papasan di sebuah mal di Solo...

Read More →