aktivis (01)

Pagi ini saya membuka-buka kembali folder and the story goes di komputer saya, dan menemukan banyak tulisan yang belum pernah saya publikasikan. Aduh, pelit sekali saya ini. Jadi saya putuskan, mulai hari ini saya akan memilah dan memilih memposting mereka satu per satu.

Tulisan ini di folder saya berjudul activism. Begini tertulisnya: (catatan, perubahan saya lakukan di sana-sini menyesuaikan keadan 😉 karena tulisan aslinya ditulis tahun 2012. Lima tahun lalu, please!

Pernah membaca cerpen Robohnya Surau Kami? Ada yang membuat saya terusik di dalamnya. Yaitu tentang bagaimana Navis nyinyir menyindir mereka yang menghabiskan waktunya untuk beribadah pada Tuhan saja. Navis bilang itu adalah salah satu bentuk kemalasan. Sebenarnya yang diinginkan Tuhan, adalah mereka yang tergerak untuk memperbaiki nasib bangsanya. Memperbaiki nasib sesamanya. Instead of duduk bersila dan berdo’a siang malam. Ini rasanya sangat relevan dengan kondisi bangsa saat ini.

Pertama kali membaca Robohnya Surau Kami, saya langsung terlecut menjadi sangat bersemangat. Saya jadi ingat tokoh idola saya dan sahabat saya Rani, yaitu Anita Roddick. Kami sangat mengagumi perempuan bernama Roddick ini dengan kalimat saktinya, bahwa bayaran kita untuk kehidupan gratis di dunia ini adalah dengan menjadi aktivis. Saya jadi penasaran, kalau menurut Navis, apakah Nyonya Roddick ini sekarang masuk ke surga atau neraka ya. Saya tidak tahu bagaimana Roddick menjalankan agamanya, tapi bentuk ibadahnya dengan mengabdikan hidup pada mereka yang membutuhkan, tampaknya akan membuat dia lolos screening tahap satu untuk masuk surga. Seandainya surga itu memang ada.

Anyway, apa yang paling anda pedulikan di dunia ini, setelah diri anda sendiri, orang tua, anak dan keluarga anda? Saya menuliskan begitu banyak daftar: anak-anak, perempuan, perdamaian, /AIDS, pemanasan global, kemiskinan, pendidikan, buruh migran, dan masih ada sederetan daftar lagi di dalam kolom info concern di facebook saya.

Tentang kemiskinan. Saya mungkin tidak banyak bisa melakukan apapun. Tapi saya sering membayangkan kalau misalnya rumah-rumah besar di Pondok Indah atau di Menteng, atau di apartemen yang tinggi menjulang itu setiap orang mau mengurangi jatah jajan di cafe mahal saja, maka mungkin masalah anak tidak sekolah di Jakarta akan berkurang sedikit. Mungkin.

Lalu ada yang bilang, ah… sekolah kan sekarang gratis, memang malas aja mereka nggak mau mau nyekolahin anak. Ibu-bapak, sekolah negeri gratis, yes sepakat! Tapi itu hanya di kota besar seperti Jakarta saja. Ponakan saya tiga orang di Lampung, sekolahnya negeri dan tidak gratis. Orang tua harus bayar setidaknya 2 – 4 juta per tahun. Uang komite katanya, atau seragam, atau entah apa lah. Orang tuanya tidak punya banyak pilihan, selain menurut membayar uang tersebut dengan cara mencicil.

Lalu yang sekolahnya gratis, apakah mereka tidak perlu beli buku, bayar angkot ke sekolah, lalu mungkin nanti harus beli pensil warna, peralatan keterampilan, seragam dan kebutuhan lain? Ada biaya tersembunyi yang memang harus dikeluarkan orang tua. Ah… kan ada KJP atau KIP. Yes, thanks to the Government for that. Lalu anak-anak tidak diberi makanan sehat agar otaknya bisa berkembang dengan baik?

Dua hari lalu saya mengikuti pelatihan di Bogor tentang Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA) – tentang ini saya cerita lain kali – tapi di pelatihan tentang manajemen keuangan, saya dan seorang ibu di sebelah geleng-geleng kepala. Saya tidak perlu sebut identitas, dia tinggal di Bogor, penghasilannya dengan suami kalau digabung 23 juta lebih. Tapi yang bisa disisihkan untuk tabungan hanya 1 juta. Luar biasa bukan? Boros kah dia? Nope! Karena anaknya tiga dan salah satunya memiliki kebutuhan khusus.

Nah, mari kita bayangkan di gubug-gubug yang menempel sungai atau rel kereta api. Anaknya mungkin lebih dari tiga. Penghasilan paling banyak mungkin 50 ribu sehari. Bagaimana memaksa mereka untuk tetap menyekolahkan anak, tanpa tergiur mencemplungkan anaknya ke jalanan demi penghasilan yang kasat mata sekarang?

Oh, I became too intense now. I know. 

Baiklah, kembali ke judul. Aktivis kalau menurut KBBI adalah orang (terutama anggota organisasi politik, sosial, buruh, petani, pemuda, mahasiswa, wanita) yang bekerja aktif mendorong pelaksanaan sesuatu atau berbagai kegiatan dalam organisasinya. Lalu mari kita gabungkan dengan kalimat sakti Anita Roddick, sudahkah kita membayar udara yang gratis ini?

Jika belum, percayalah keluar dari kaca jendela mobil dan rumah anda, tengok ke kiri dan kanan, banyak yang membutuhkan bantuan kita.

 

← Parade Adat Internasional
Gelombang dan Tidur →

Author:

Dian adalah penulis Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam dan 8 novel serta kumpulan cerita lainnya. Peraih grant Residensi Penulis Indonesia 2019 dan She Creates Change Green Camp 2020 ini lahir tahun 1976, belajar komunikasi di Universitas Diponegoro dan STIK Semarang, lalu lanjut belajar perlindungan anak di Kriminologi UI. Dia adalah anak ke-2 dari 4 bersaudara, ibu dari Vanya Annisa Shizuka dan beberapa anak lain. Saat ini Dian menghabiskan banyak waktunya menjadi penulis lepas dan konsultan untuk isu perlindungan anak dan kekerasan berbasis gender.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

What to Read Next

Perpus Provinsi Kalimantan Selatan yang Inspiratif

Beberapa hari lalu saya mendapatkan kesempatan untuk mengisi acara diskusi literasi di Perpustakaan Provinsi Kalimantan Selatan. Sungguh sebuah kesempatan yang sangat berharga buat saya. Awal menerima undangan ini saya pikir kena prank. Masa’ iya sih ada Perpustakaan Provinsi bikin acara seperti ini, pikir saya. Tapi rupanya ibu Kepala Dinas ini...

Read More →

Berkah Dalem

Selamat merayakan Natal teman-teman, Berkah Dalem. Biasanya kalimat itu yang saya kirimkan ke sahabat dan teman-teman saya melalui WhatsApp untuk memberikan ucapan selamat Natal. Pagi tadi saya menyegarkan kembali ingatan tentang frasa Berkah Dalem, yang menurut beberapa referensi artinya Tuhan memberkati, yang menurut sejarah diambil dari kata Deo Gratia, berkah...

Read More →

44 Years of Practice

Lima tahun lalu saya dapat quote keren banget tentang usia 40, seperti ini: Gambar dari darlingquote.com Lalu tahun-tahun itu berlalu dan saya lupa apa yang jadi resolusi saya di ualng tahun saya ke-40 itu. Saya hanya ingat mengirimkan surat pada 40 orang yang pernah dan masih menggoreskan makna pada hidup...

Read More →

The Class of 94 and Beyond

Ilusi bahwa saya adalah Supergirl, Harley Quin, Black Widow, Queen of Wakanda patah sudah. Tanggal 25 Juni menerima hasil antigen positif. Tidak disarankan PCR sama dokter karena dia melihat riwayat orang rumah yang pada positif, “Save your money, stay at home, have fun, order as many foods as you like,...

Read More →

Domba New Zealand dan Pahlawan Perubahan Iklim

Pada suatu hari di bulan November 2016 bersama teman-teman dari tim Alzheimer Indonesia kami mendapat kesempatan untuk mengikuti konferensi di Wellington, New Zealand. Kok baru ditulis sekarang? Huft.. Seandainya kemalasan ada obatnya, saya antri beli dari sekarang. Ada banyak hal yang membuat orang mudah sekali jatuh hati pada Wellington, udaranya...

Read More →

Perjalanan ‘Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam’ Menemukan Jodohnya

Jodoh, rezeki dan maut ada di tangan Tuhan, katanya. Tapi kalau kita berharap Tuhan turun tangan untuk dua item pertama, nyesel sendiri lho ntar. Antriannya panjang, Sis. Ada tujuh milyar orang di muka bumi ini. Cover Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam Maka saya menjemput paksa jodoh tulisan saya pada...

Read More →

Defrag Pikiran dan Keinginan

Ada banyak peristiwa yang terjadi selama tahun 2020 ini, meskipun ada banyak juga yang kita harapkan seharusnya terjadi, tetapi belum kejadian. 2020 adalah tahun yang ajaib. Lulusan tahun ini sempat dibully sebagai lulusan pandemi. Yang keterima sekolah/kuliah di tempat yang diinginkan tidak segirang tahun sebelumnya, yang wisuda tahun ini apa...

Read More →

Didi Kempot, Sugeng Tindak Ma Lord

Hari ini status itu yang saya pasang di media sosial saya dengan foto Didi Kempot hitam putih dengan tulisan the Godfather of Broken Heart. Patahnya hati saya mungkin nggak sepatah teman-teman sadboys dan sadgirls lainnya. Saya tidak mengenal secara personal mas Didi, hanya pernah papasan di sebuah mal di Solo...

Read More →