Sudah seminggu ini anak saya terlihat lebih sering murung di dalam kamar dan menolak menjawab kalau ditanya kenapa. Ini sungguh mengkhawatirkan buat saya. Ada banyak kemungkinan buruk yang sudah bermain-main di kepala saya, sembari membayangkan diri saya sendiri ketika seusia dia. Enam belas tahun. Salah satu masa rawan. Hal hal seperti patah hati, jatuh hati, keduanya bisa berdampak tidak baik ketika kita semuda itu. Tidak punya uang, kesal dengan orang lain, juga kadang direspon dengan cara yang kurang pas ketika kita masih hijau. Saya tidak berani membayangkan hal lain lagi yang lebih buruk.
Sampai kemudian hari Sabtu kemarin, saya mengajaknya bicara. Hmm.. lebih tepatnya ‘menginterogasi’ anak semata wayang saya. Dan jawabannya di luar dugaan.
“Bisa nggak sih bu, sekolahku itu masuk jam 9 atau kalau mau massuk pagi ya pulangnya jangan kesorean? Gimana anak mau pinter kalau tiap hari capek? Boleh nggak aku home schooling aja?”
Wow… Saya menyesali pikiran lebay saya sebelumnya. Jadi ini masalah sekolah? ok…
That’s anak time sekarang, aka kids zaman now.
Saya harus mengatakan bahwa anak saya sepertinya tidak termasuk anak yang pemalas. Nilainya sama sekali tidak buruk. Dia sedih ketika nilainya rendah, dia belajar dengan baik. Tapi dia nggak bahagia karena beban pelajaran yang berat di sekolahnya.
“Aku tuh pernah baca bu, ada sekolah di Negara mana gitu yang cuma dua jam, terus habis itu nggak pernah ada PR. Tapi anak-anaknya pada pinter.”
Mungkin yang dia maksud adalah Finlandia. Saya juga pernah membaca dan mendengar cerita tentang pendidikan di Negara tersebut.
Maaf saya jadi harus membandingkan dengan diri saya sendiri, karena saya juga pernah sekolah di sekolah negeri zaman old, di small town zaman old juga.
Dulu saya rasanya sangat menantikan hari sekolah karena alasan-alasan aneh seperti daripada di rumah disuruh nyuci piring atau nyapu, mending di sekolah ketemu gebetan. Padahal saya juga nggak ada yang naksir-naksir amat. Saya dulu mengerjakan PR dengan baik, kecuali kalau tidak tahu jawabannya maka di pagi hari saya meminjam PR teman untuk disalin. Setidaknya saya usaha.
Saya ingat membolos paling banyak 3x selama saya SMA. Sementara anak saya, sudah setidaknya tiga kali meminta izin untuk tidak sekolah. Di rumahpun dia selalu mengeluh banyak PR, capek, dan malas melakukan hal lain.
Lalu saya jadi mikir, ini bapak & ibu yang pada bikin kurikulum sekolah, waktu nyusun anak-anak pada diajak duduk dan bicara nggak ya? Kalau iya, anak-anak yang seperti apa ya? Karena menurut anak saya, temannya ada yang sudah bolos sampai totalnya dua minggu, karena alasan lelah sekolah. Itu baru di semester pertamanya di bangku SMA lho.
Melihat kondisi anak saya dan temannya, rasanya tidak berlebihan kalau kita harus bersama-sama meninjau kembali kurikulum yang sedang berjalan. Efektif nggak sih, membuat anak-anak berada di sekolah pukul 6.30 di kota yang macetnya minta ampun ini, lalu mempertahankan mereka sampai jam 3 sore di sekolah? Cukup nyamankah sekolah sebagai tempat anak menghabiskan hari mereka nyaris seperti jam kerja orang dewasa?
Saya bilang ke anak saya, kalau dia memang nggak nyaman dengan sekolah, pernahkah membicarakan hal ini dengan guru? Dia bilang belum pernah. Karena mungkin tidak ada jalurnya. Lalu apakah hanya dia atau teman-teman lain juga merasakan hal yang sama. Dia bilang sebagian besar merasa sama, tapi ketika diajak untuk melakukan protes atau semacamnya, tidak ada yang mau. Ah, saya bisa membayangkan frustasinya mencari teman seperjuangan dan tidak ketemu.
Beberapa waktu terakhir ini saya juga mengkhawatirkan sikap kids zaman now yang sepertinya agak kurang peduli pada sekitar. Dengan mudahnya saya menyalahkan gadget. Dunia anak menjadi begitu sempit sekarang ini. Sebatas layar ponsel mereka. Saya berusaha keras untuk tidak mencari tahu siapa yang salah di sini. Tetapi setelah saya amati, sekolah zaman now juga membuat anak-anak semakin sempit dunianya. Anak saya makannya data. Dia bilang, memang sebagian datanya habis untuk surfing di Instagram atau aplikasi lain. Tetapi dia juga mengerjakan banyak PR dengan bantuan internet.
Sebagai anak sekolah zaman old, saya ingat betul bahwa dulu kami lebih banyak berpraktek dengan hal-hal nyata. Bawa kaldu untuk melihat pertumbuhan mahluk hidup, mengiris bawang sangat tipis untuk melihat penampang di dalamnya, menyusuri sungai untuk PR geografi. Kami tidak hanya menemukan jentik-jentik kehidupan dalam air kaldu, tapi kami juga menemukan pacar, teman, tumpangan di perjalanan pulang pergi ke sungai. Entahlah, zaman SMA saya yang old itu begitu indah. Anak saya kalau diceritain juga terkekeh-kekeh dan menganggap kami konyol. Dan jarang sekali kami ingin membolos.
Saya sekarang ini rindu sekali ingin mendengar anak saya bercerita dengan suka cita tentang pelajaran, tentang PR yang seru, tentang guru yang membuatnya terpana karena cara mengajarnya. Bukan keluhan tentang pelajaran, guru yang menurut dia nggak ngajarin apapun karena semuanya diserahkan pada anak untuk belajar sendiri. Ini mungkin maksudnya baik, supaya anak lebih aktif belajar. Tapi, sekali lagi, sudah siap kah anak-anak kita?
Ini semoga saya bukan yang khawatir berlebihan ya.
Berharap banget kalau ada orang tua yang juga concern dengan pendidikan anak zaman now, mari kita bikin forum buat bicara yuks..
Sekolah Kids Zaman Now
What to Read Next
Perpus Provinsi Kalimantan Selatan yang Inspiratif
Beberapa hari lalu saya mendapatkan kesempatan untuk mengisi acara diskusi literasi di Perpustakaan Provinsi Kalimantan Selatan. Sungguh sebuah kesempatan yang sangat berharga buat saya. Awal menerima undangan ini saya pikir kena prank. Masa’ iya sih ada Perpustakaan Provinsi bikin acara seperti ini, pikir saya. Tapi rupanya ibu Kepala Dinas ini...
Berkah Dalem
Selamat merayakan Natal teman-teman, Berkah Dalem. Biasanya kalimat itu yang saya kirimkan ke sahabat dan teman-teman saya melalui WhatsApp untuk memberikan ucapan selamat Natal. Pagi tadi saya menyegarkan kembali ingatan tentang frasa Berkah Dalem, yang menurut beberapa referensi artinya Tuhan memberkati, yang menurut sejarah diambil dari kata Deo Gratia, berkah...
44 Years of Practice
Lima tahun lalu saya dapat quote keren banget tentang usia 40, seperti ini: Gambar dari darlingquote.com Lalu tahun-tahun itu berlalu dan saya lupa apa yang jadi resolusi saya di ualng tahun saya ke-40 itu. Saya hanya ingat mengirimkan surat pada 40 orang yang pernah dan masih menggoreskan makna pada hidup...
The Class of 94 and Beyond
Ilusi bahwa saya adalah Supergirl, Harley Quin, Black Widow, Queen of Wakanda patah sudah. Tanggal 25 Juni menerima hasil antigen positif. Tidak disarankan PCR sama dokter karena dia melihat riwayat orang rumah yang pada positif, “Save your money, stay at home, have fun, order as many foods as you like,...
Australia, Isu Sosial, Kesehatan, Lingkungan, Non Fiksi, Perjalanan, Selandia Baru
Domba New Zealand dan Pahlawan Perubahan Iklim
Pada suatu hari di bulan November 2016 bersama teman-teman dari tim Alzheimer Indonesia kami mendapat kesempatan untuk mengikuti konferensi di Wellington, New Zealand. Kok baru ditulis sekarang? Huft.. Seandainya kemalasan ada obatnya, saya antri beli dari sekarang. Ada banyak hal yang membuat orang mudah sekali jatuh hati pada Wellington, udaranya...
Asia, Budaya, Fiksi, Indonesia, Isu Sosial, Kejahatan, Novel, Novel, Perjalanan, Tulisan
Perjalanan ‘Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam’ Menemukan Jodohnya
Jodoh, rezeki dan maut ada di tangan Tuhan, katanya. Tapi kalau kita berharap Tuhan turun tangan untuk dua item pertama, nyesel sendiri lho ntar. Antriannya panjang, Sis. Ada tujuh milyar orang di muka bumi ini. Cover Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam Maka saya menjemput paksa jodoh tulisan saya pada...
Isu Sosial, Lingkungan, Non Fiksi, Praktik Baik, Tulisan
Defrag Pikiran dan Keinginan
Ada banyak peristiwa yang terjadi selama tahun 2020 ini, meskipun ada banyak juga yang kita harapkan seharusnya terjadi, tetapi belum kejadian. 2020 adalah tahun yang ajaib. Lulusan tahun ini sempat dibully sebagai lulusan pandemi. Yang keterima sekolah/kuliah di tempat yang diinginkan tidak segirang tahun sebelumnya, yang wisuda tahun ini apa...
Budaya, Isu Sosial, Kesehatan, Sosok, Tulisan
Didi Kempot, Sugeng Tindak Ma Lord
Hari ini status itu yang saya pasang di media sosial saya dengan foto Didi Kempot hitam putih dengan tulisan the Godfather of Broken Heart. Patahnya hati saya mungkin nggak sepatah teman-teman sadboys dan sadgirls lainnya. Saya tidak mengenal secara personal mas Didi, hanya pernah papasan di sebuah mal di Solo...