Lucky Bastard #3: Pecah Telor Pake Paspor

Sejak SMA dan mulai mikir secara ajeg, saya punya dua cita-cita yang pasti. Pertama keliling dunia, kedua menjadi penyelamat dunia. Sampai detik ini saya masih menunggu undangan menjadi anggota Avengers, tapi ya sudahlah. Mungkin mereka sibuk.
Maka ketika lolos seleksi pramugari Sempati Air (tua ya, bok) tahun 1994, tapi kemudian juga lulus UMPTN dan masuk UNDIP, maka dengan setengah hati saya memilih UNDIP, karena kalau kuliah di Universitas Negeri saya dapat beasiswa dari perusahaan tempat bapak saya bekerja. Orang-orang pada pengen jadi sarjana, saya mah sebenernya cuma pengen keliling dunia aja. Tapi sudahlah, itu another story. Akhirnya, seperti ini masa kuliah saya: kuliah – siaran – siaran – kuliah – repeat. Tapi sungguh menjadi mahasiswa itu bukan sesuatu yang menyenangkan waktu itu. Tugasnya banyak banget. Terus jam kuliahnya beda-beda. Buat saya ini menyulitkan. Alarm tubuh saya kan bingung ya? Maka saya sering melewatkan kelas. Di jaman itu titip absen masih dimungkinkan. Jadi, terima kasih lah ya, para pahlawan absen saya.

Umur 30 tahun saya belum juga menginjakkan kaki ke luar dari negeri ini. Agak frustasi dong saya. Kalau kamu baca tulisan ini maka akan ketahuan bahwa keliling dunia pertama saya adalah ke Bali di usia 32 tahun. Sementara waktu itu sudah mulai banyak teman saya yang pergi ke luar negeri, memasang foto-foto di media sosial tentang negeri tak terjamah itu, makin senewen lah saya. Buku-buku traveling juga semakin menusuk mata saya.
Maka terjadilah percakapan ini dengan sahabat saya, Frey yang sudah lebih dulu ke Bangkok:
F: Jarak antara permintaan sama pengabulan itu cuma 5 tahun, Curut.
D: Jadi kalau aku minta ke Tuhan sekarang untuk dikirim ke luar negeri, maka lima tahun lagi aku ke luar negeri, Cumi?
F: Kurang lebih gitu deh.

Lalu saya dengan naifnya manggut-manggut. Tapi saya pikir, Tuhan ini biasanya mau ada sacrifice sacrifice-nya dikit ala Nabi Ibrahim gitu lah. Maka saya berpikir keras. Dan saya memutuskan akan mengorbankan waktu bermain untuk menyelesaikan skripsi, itu sacrifice saya. Saya bikin gentlemen agreement sama Tuhan. “Han, kalau saya menyelesaikan skripsi sebelum semester depan dimulai lagi, maka saya boleh menunjuk satu negara di peta ini, dan segera kirim saya ke sana ya… Please…” (Note: saya selalu punya peta besar di dinding).
Tidak ada suara petir menggelegar, tidak ada tanda tangan darah. Karena itu adalah gentlemen agreement. Waktu itu usia saya baru 33 tahun.

Singkat cerita, saya menyelesaikan skripsi pada tanggal 18 Januari 2009, yang seharusnya selesai 8 tahun lebih cepat. Disaksikan teman-teman satu kos di Ngesrep Timur – Semarang (Mami Ery, Lala saya agak lupa apakah Neneng, Farda & Nerva ikut menyaksikan), saya merem dan menunjuk satu titik di peta. Sampai detik ini saya masih takjub. Jari saya di foto itu menunjuk arah satu negara di Eropa. Tadinya saya berharap itu agak ke atas dikit di sekitaran Russia lah, tapi rupanya agak terlalu ke bawah. Ah tapi di manapun di Eropa, jadilah.
Beberapa bulan setelah dinyatakan lulus kuliah, saya apply untuk mendapatkan fellowship mengikuti pelatihan jurnalistik dan mempresentasikan abstrak saya tentang bagaimana media berperan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang HIV di konferensi Internasional HIV di Wina – Austria. Di sinilah Tuhan membuktikan ke-gentle-annya. Tanggal 7 April 2010 saya mendapatkan notifikasi bahwa permohonan fellowship saya diterima. Lima hari pelatihan jurnalistik dan 5 hari ikut konferensi. Total 16 hari saya habiskan di sana. Sisanya untuk apa? Halan-halan pastinya.

Dan di situlah pecah telor saya bepergian menggunakan paspor. Semua biaya ditanggung, dari mulai tiket pesawat, pembuatan visa, akomodasi, pelatihan dan biaya masuk konferensi, dan dapat uang saku. Tentu saja saya menari hujan begitu mendapatkan email notifikasi itu. I’m a lucky bastard. Confirmed!
Maka berangkatlah saya tanggal 11 Juli 2010 ke Wina. Itu adalah hadiah ulang tahun ke-34 dari semesta untuk saya. Sebagai orang yang pertama kali merasakan penerbangan jarak jauh, anehnya saya sama sekali tidak mengalami jetlag. Mungkin karena terlalu kegirangan. Begitu sampai di hotel dan menemukan peserta lain, yang juga sama-sama baru pertama kali menjejakkan kaki di Wina, kami langsung klayapan menyeberangi sungai Danube, mendatangi gereja tua yang megah di seberang sungai, lalu ke danau dan membeli sandal japit. Oh, sungguh pemula. Tapi biarlah. Kami bahagia menjadi pemula.

Hari berikutnya ketika lebih banyak peserta datang barulah kami menjelajah lebih jauh ke Stephanplatz, Opera House, melompat dari stasiun satu ke yang berikutnya, foto sana sini tanpa peduli. Di hari ke-5 kami mendapatkan kado yang lain lagi yaitu sebuah Pesta Life Ball (agak sulit membahasa Indonesiakannya) yang digawangi oleh Whoopie Goldberg. Sempurna.
Konferensinya sendiri menjadi bagian seru yang membuat mata saya membelalak lebar. Terlalu sedikit hal yang saya tahu tentang HIV rupanya. Ya, saya beruntung mendapatkan fellowship sebagai delegasi media di acara itu, bersama 40 orang lain dari 40 negara.
Keberuntungan lain saya adalah dipertemukan dengan orang-orang hebat. Nanti saya akan cerita tentang mereka satu persatu di tulisan yang lain. Juga tentang halan-halan ke Praha dan Bratislava.

Kalau mau mengintip foto-foto saya di Vienna ada di sini
Sementara tulisan tentang landmark Vienna pernah saya posting di sini

← Lucky Bastard #2: BFF
Tips Tetap Waras di Dunia yang Menggila →

Author:

Dian adalah penulis Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam dan 8 novel serta kumpulan cerita lainnya. Peraih grant Residensi Penulis Indonesia 2019 dan She Creates Change Green Camp 2020 ini lahir tahun 1976, belajar komunikasi di Universitas Diponegoro dan STIK Semarang, lalu lanjut belajar perlindungan anak di Kriminologi UI. Dia adalah anak ke-2 dari 4 bersaudara, ibu dari Vanya Annisa Shizuka dan beberapa anak lain. Saat ini Dian menghabiskan banyak waktunya menjadi penulis lepas dan konsultan untuk isu perlindungan anak dan kekerasan berbasis gender.

  1. Dear miss Dian,

    We have heard you were intrested in being part of our little organization of super heroes (we like to be known as SH). Good news is since we had a little run in with a guy called Thanos, we are kind of short in SH’s and we have some places open that need to be filled. If you please could give us your SP (Super Power) and your SHN (Super hero name) we could definetly look into requiring your services

    Team Avengers
    Sir Hattrick

  2. Hahahaha…
    I’m taking this seriously, Sir.
    My super power is: killing people with a smile. Oh, isn’t it super super super? Can you imagine if I ever laugh? Please don’t.
    And my super nick name would be, Glimlachie.
    Looking forward to meeting you in the interview 🙂

  3. Yes, that’s what I was very happy about the almost final Avengers.
    Nantikan saya di Avengers final final final ya…
    May the force be with us (teteup)

  4. Glimlachie sounds like the ultimate Avengers name, one we havent included yet in our ranks. The power of kill by smiling is indeed also a very strong ability. Please make sure you dont smile during the interview.

    @Life in fiction : May the force be with you is never ever a wrong tagline. It can be used in any situation or timeframe.

    Regards
    Team Avengers
    Sir Hattrick

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

What to Read Next

Perpus Provinsi Kalimantan Selatan yang Inspiratif

Beberapa hari lalu saya mendapatkan kesempatan untuk mengisi acara diskusi literasi di Perpustakaan Provinsi Kalimantan Selatan. Sungguh sebuah kesempatan yang sangat berharga buat saya. Awal menerima undangan ini saya pikir kena prank. Masa’ iya sih ada Perpustakaan Provinsi bikin acara seperti ini, pikir saya. Tapi rupanya ibu Kepala Dinas ini...

Read More →

Berkah Dalem

Selamat merayakan Natal teman-teman, Berkah Dalem. Biasanya kalimat itu yang saya kirimkan ke sahabat dan teman-teman saya melalui WhatsApp untuk memberikan ucapan selamat Natal. Pagi tadi saya menyegarkan kembali ingatan tentang frasa Berkah Dalem, yang menurut beberapa referensi artinya Tuhan memberkati, yang menurut sejarah diambil dari kata Deo Gratia, berkah...

Read More →

44 Years of Practice

Lima tahun lalu saya dapat quote keren banget tentang usia 40, seperti ini: Gambar dari darlingquote.com Lalu tahun-tahun itu berlalu dan saya lupa apa yang jadi resolusi saya di ualng tahun saya ke-40 itu. Saya hanya ingat mengirimkan surat pada 40 orang yang pernah dan masih menggoreskan makna pada hidup...

Read More →

The Class of 94 and Beyond

Ilusi bahwa saya adalah Supergirl, Harley Quin, Black Widow, Queen of Wakanda patah sudah. Tanggal 25 Juni menerima hasil antigen positif. Tidak disarankan PCR sama dokter karena dia melihat riwayat orang rumah yang pada positif, “Save your money, stay at home, have fun, order as many foods as you like,...

Read More →

Domba New Zealand dan Pahlawan Perubahan Iklim

Pada suatu hari di bulan November 2016 bersama teman-teman dari tim Alzheimer Indonesia kami mendapat kesempatan untuk mengikuti konferensi di Wellington, New Zealand. Kok baru ditulis sekarang? Huft.. Seandainya kemalasan ada obatnya, saya antri beli dari sekarang. Ada banyak hal yang membuat orang mudah sekali jatuh hati pada Wellington, udaranya...

Read More →

Perjalanan ‘Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam’ Menemukan Jodohnya

Jodoh, rezeki dan maut ada di tangan Tuhan, katanya. Tapi kalau kita berharap Tuhan turun tangan untuk dua item pertama, nyesel sendiri lho ntar. Antriannya panjang, Sis. Ada tujuh milyar orang di muka bumi ini. Cover Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam Maka saya menjemput paksa jodoh tulisan saya pada...

Read More →

Defrag Pikiran dan Keinginan

Ada banyak peristiwa yang terjadi selama tahun 2020 ini, meskipun ada banyak juga yang kita harapkan seharusnya terjadi, tetapi belum kejadian. 2020 adalah tahun yang ajaib. Lulusan tahun ini sempat dibully sebagai lulusan pandemi. Yang keterima sekolah/kuliah di tempat yang diinginkan tidak segirang tahun sebelumnya, yang wisuda tahun ini apa...

Read More →

Didi Kempot, Sugeng Tindak Ma Lord

Hari ini status itu yang saya pasang di media sosial saya dengan foto Didi Kempot hitam putih dengan tulisan the Godfather of Broken Heart. Patahnya hati saya mungkin nggak sepatah teman-teman sadboys dan sadgirls lainnya. Saya tidak mengenal secara personal mas Didi, hanya pernah papasan di sebuah mal di Solo...

Read More →