Tips Tetap Waras di Dunia yang Menggila

Terpapar informasi-informasi getir tentang terorisme dan bagaimana anak ikut dieksploitasi dilibatkan didalamnya, lalu anak-anak kembali menjadi korban, mau gila rasanya. Lebih gila lagi karena membaca komen-komen di media sosial baik yang pedih getir prihatin dengan kejadian ini, maupun yang nyinyir salah tempat dan akhirnya malah ditangkap yang berwajib. Tergoda untuk ikut kehilangan akal sehat kadang-kadang rasanya.

Kalau sudah begini, ingin segera masuk ke safe room, mengunci diri dan tidak keluar-keluar lagi sampai kapal Nabi Nuh datang. Tapi tentu saja itu hanya ada di dalam dunia khayalan saya. Yang benar-benar dilakukan oleh beberapa teman saya yang masih waras sampai sekarang adalah beberapa hal berikut:

1. Puasa TV
Ah ini mah gampang. Yes! Gampang, banget. Setidaknya tahun ini genap 10 tahun saya mengikuti langkahnya dengan tidak punya TV di rumah, meskipun kalau bepergian dan menginap di tempat yang ada TV-nya masih nonton TV juga.
Menjauhkan diri dari racun ketergantungan terhadap TV ini menyenangkan juga. Nggak nonton sinetron yang bikin emosi karena alur ngaco, akting menyedihkan, setting sangat terbatas, dan sudut pengambilan gambar yang ajaib. Nggak emosi jiwa melihat talkshow ngaco menghadirkan anak yang “dilindungi” dengan topeng.
Puasa TV ini gampang secara teori untuk dilakukan oleh orang yang tinggal sorangan wae. Karena ketika anak saya bergabung, maka terjadi ketidaksepakatan di antara kita. Dia yang sejak lahir hidup dengan suara TV di dalam rumah mengalami kesulitan beradaptasi. Hmmm… Mungkin untuk orang yang kemudian membawa pasangan masuk ke dalam rumahnya juga akan menemui masalah ini.

2. Unfriend yang Bukan Friend
Ini saya sudah lakukan juga, yay!
Seperti kebanyakan orang yang melakukannya pada pemilihan umum terakhir lalu, eh bukan… pemilihan daerah kalau nggak salah. Saya juga ikut melakukannya. dan terbukti, setiap ada teman yang curhat, “Kesel aku lihat komen temanku, masak dia bilang ini anu, ina itu,” maka saya hampir selalu membalas dengan, “Kok di aku nggak ada komen kayak gitu ya?”
Lalu saya teringat, aha.. saya sudah melakukan pembersihan pertemanan yang kontra produktif beberapa waktu lalu. Jadi inilah waktunya saya menuai hasil.
Langkah kedua ini relatif lebih mudah dilakukan pada media sosial tertentu, karena dia tidak memberi notifikasi siapa yang meninggalkan kita. Tapi kalau ada media sosial yang membocorkan informasi siapa yang meninggalkan kita, emang agak nggak enak sih. Apalagi kalau sampai dikonfirmasi.
Ah, tapi ya sudah lah. Kita boleh memilih makanan yang masuk ke mulut lalu perut kita kan? Dan berteman adalah makanan jiwa. Penteng! Jadi, kalau emang nggak seru buat ditemenin, ya tinggalin!

3. Puasa Media Sosial
Nah, ini level yang lebih berat. Teman saya melakukannya. Saya belum berani. Karena saya senang sekali bersosialisasi di media. Saya masih bermimpi menjadi sosialita di mesia sosial, membuat buku-buku saya dibaca banyak orang, pengikut bertambah sampai saya mendapat tanda centang terverifikasi saking banyaknya yang mencoba mengaku-ngaku sebagai saya. Ah… Manjah!

Tapi teman saya itu, kalau kita lihat hidupnya. Oh.. enak banget. Diajak ketemuan banyak bisanya. Kalau makanan baru diletakkan di meja sama waiter, dia nggak sibuk mau motret itu makanan tapi langsung kembang-kempis hidungnya menghirup aroma makanan. Kalau reunian dia sibuk ngobrol sana-sini tanpa selfie-selfie. Dan dia… dia adalah orang yang paling sering menelpon kami, para temannya ini.

“Heh, aku mimpiin kamu semalam. Yo opo? Sehat tah?” Kadang sesederhana itu saja pertanyaannya. Lalu sudah, begitu dia tahu saya baik-baik saja dia akan tutup telponnya. Saya curiga dia menanyakan hal yang sama ke semua orang. Bermimpi tentang kita adalah line pembuka paling aman.
Tadinya saya pikir kalau dia nggak punya teman, makanya sering telpon-telpon singkat gitu. Rupanya saya salah. Temannya banyak banget dan dia nggak kuper. Dia adalah orang yang mendapat undangan kawinan, sunatan dan promosi doktor terbanyak yang saya kenal. Kawinan sih yang paling masif. Kalau nggak pindah rumah, dia sendiri nggak akan sadar sebanyak itu undangan kawinan dalam hidupnya. Semua dia simpan sampai hari pindahan itu.
Dia memakai aplikasi WhatsApp baru empat tahun terakhir ini. Itupun karena HP jadul yang dikaretinnya jatuh dari angkot dan kegencet ban angkot itu. Bless the angkot. Untuk mendapatkan informasi, dia mendengarkan radio dan mendapatkan semua update dari sana.

Oh ya, satu lagi. Koleksi bukunya ngalah-ngalahin perpustakaan di kampus saya. Dan… semua buku itu sudah dia baca.
Dan dia juga menulis. Oh… indah banget ya hidupnya.

Sejauh ini dua teman saya yang paling waras hidupnya adalah yang mempraktekkan ketiga cara ini. Ingat, ketiga cara ini tidak wajib, bisa dilakukan dengan porsi kecil dulu kalau tidak sanggup langsung ketiganya.

Udah ah, saya mau mandi dulu, biar waras.
 

← Lucky Bastard #3: Pecah Telor Pake Paspor
figur →

Author:

Dian adalah penulis Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam dan 8 novel serta kumpulan cerita lainnya. Peraih grant Residensi Penulis Indonesia 2019 dan She Creates Change Green Camp 2020 ini lahir tahun 1976, belajar komunikasi di Universitas Diponegoro dan STIK Semarang, lalu lanjut belajar perlindungan anak di Kriminologi UI. Dia adalah anak ke-2 dari 4 bersaudara, ibu dari Vanya Annisa Shizuka dan beberapa anak lain. Saat ini Dian menghabiskan banyak waktunya menjadi penulis lepas dan konsultan untuk isu perlindungan anak dan kekerasan berbasis gender.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

What to Read Next

Perpus Provinsi Kalimantan Selatan yang Inspiratif

Beberapa hari lalu saya mendapatkan kesempatan untuk mengisi acara diskusi literasi di Perpustakaan Provinsi Kalimantan Selatan. Sungguh sebuah kesempatan yang sangat berharga buat saya. Awal menerima undangan ini saya pikir kena prank. Masa’ iya sih ada Perpustakaan Provinsi bikin acara seperti ini, pikir saya. Tapi rupanya ibu Kepala Dinas ini...

Read More →

Berkah Dalem

Selamat merayakan Natal teman-teman, Berkah Dalem. Biasanya kalimat itu yang saya kirimkan ke sahabat dan teman-teman saya melalui WhatsApp untuk memberikan ucapan selamat Natal. Pagi tadi saya menyegarkan kembali ingatan tentang frasa Berkah Dalem, yang menurut beberapa referensi artinya Tuhan memberkati, yang menurut sejarah diambil dari kata Deo Gratia, berkah...

Read More →

44 Years of Practice

Lima tahun lalu saya dapat quote keren banget tentang usia 40, seperti ini: Gambar dari darlingquote.com Lalu tahun-tahun itu berlalu dan saya lupa apa yang jadi resolusi saya di ualng tahun saya ke-40 itu. Saya hanya ingat mengirimkan surat pada 40 orang yang pernah dan masih menggoreskan makna pada hidup...

Read More →

The Class of 94 and Beyond

Ilusi bahwa saya adalah Supergirl, Harley Quin, Black Widow, Queen of Wakanda patah sudah. Tanggal 25 Juni menerima hasil antigen positif. Tidak disarankan PCR sama dokter karena dia melihat riwayat orang rumah yang pada positif, “Save your money, stay at home, have fun, order as many foods as you like,...

Read More →

Domba New Zealand dan Pahlawan Perubahan Iklim

Pada suatu hari di bulan November 2016 bersama teman-teman dari tim Alzheimer Indonesia kami mendapat kesempatan untuk mengikuti konferensi di Wellington, New Zealand. Kok baru ditulis sekarang? Huft.. Seandainya kemalasan ada obatnya, saya antri beli dari sekarang. Ada banyak hal yang membuat orang mudah sekali jatuh hati pada Wellington, udaranya...

Read More →

Perjalanan ‘Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam’ Menemukan Jodohnya

Jodoh, rezeki dan maut ada di tangan Tuhan, katanya. Tapi kalau kita berharap Tuhan turun tangan untuk dua item pertama, nyesel sendiri lho ntar. Antriannya panjang, Sis. Ada tujuh milyar orang di muka bumi ini. Cover Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam Maka saya menjemput paksa jodoh tulisan saya pada...

Read More →

Defrag Pikiran dan Keinginan

Ada banyak peristiwa yang terjadi selama tahun 2020 ini, meskipun ada banyak juga yang kita harapkan seharusnya terjadi, tetapi belum kejadian. 2020 adalah tahun yang ajaib. Lulusan tahun ini sempat dibully sebagai lulusan pandemi. Yang keterima sekolah/kuliah di tempat yang diinginkan tidak segirang tahun sebelumnya, yang wisuda tahun ini apa...

Read More →

Didi Kempot, Sugeng Tindak Ma Lord

Hari ini status itu yang saya pasang di media sosial saya dengan foto Didi Kempot hitam putih dengan tulisan the Godfather of Broken Heart. Patahnya hati saya mungkin nggak sepatah teman-teman sadboys dan sadgirls lainnya. Saya tidak mengenal secara personal mas Didi, hanya pernah papasan di sebuah mal di Solo...

Read More →