Taj Mahal, Monumen Egois

The selfish Mahal

Lebih dari empat tahun lalu saya mendapat kesempatan melakukan perjalanan ke India, untuk mengikuti Konferensi Alzheimer se-Asia. Thanks to ALZI for this. Dan seperti halnya India 1st time traveler, pasti akan menjadikan Taj Mahal sebagai salah satu tujuan wajib. Karena waktu yang kami miliki tidak banyak, maka menyewa seorang pemandu wisata – yang kemudian menjadikan kami terjebak jeratan fotografer – adalah solusi cepat untuk mendapatkan semua yang kami perlukan di Taj Mahal.

Perjalanan pagi buta dari Delhi ke Agra cukup nyaman. Agak mengejutkan karena cuacanya lebih dingin dari yang kami harapkan. Asap di udara yang awalnya kami pikir adalah kabut, rupanya memang betulan asal karena polusi. Huff… Ternyata ada yang lebih parah dari Jakarta. Tapi kami menikmati yang diharapkan, berpapasan dengan sapi yang menyeberang jalan di Agra. So postcartic.

Setelah lebih dari tiga jam perjalanan, kami bertemu dengan pemandu wisata kami, saya betul-betul lupa namanya, jadi mari kita sebut dia Khan. Singkat kata, kami masuk ke lingkungan Mahal dengan didampingi Khan dan seorang fotografer. Awalnya kami pikir dia men-charge dengan harga yang terlalu mahal, tetapi ketika melihat hasil foto, dimana kita mendapatkan foto bagus di spot yang menjadi incaran banyak orang, maka ya sudahlah. No money, no honey.

Taj Mahal ada dalam salah satu daftar wajib kunjung saya. Membaca sejarahnya, saya berpikir ketika berhasil masuk, menyentuh setiap jengkal marmernya, maka saya akan menemukan cinta sejati setelahnya. Seperti cinta sejati Raja Mughal Shah Jahan pada istri ke-3 nya, Mumtaz Mahal.

Tetapi setelah sampai di sana, saya sadar bahwa saya keliru. Mahal adalah batu nisan termahal yang pernah dibuat di muka bumi ini. Ada banyak versi tentang Mahal yang dapat kita baca. Ini dia beberapa versinya buat saya:

Monumen Cinta

Mughal Shah Jahan di dalam literatur manapun diceritakan sangat mencintai Mumtaz Mahal. Dia telah gandrung pada perempuan asal Persia ini sejak berusia 14 tahun. Baru lima tahun kemudian Jahan mendapat izin menikahi Mahal dan membawanya ke India.

Semakin cinta Jahan pada Mahal ketika dia menyadari bahwa istrinya memiliki keahlian bermain catur, bermain strategi perang, dan bersedia melahirkan banyak anak untuknya. Mahal adalah satu-satunya istri yang diajak Jahan kemanapun, termasuk ke arena perang, karena bantuannya sangat dibutuhkan Jahan. Maka memenuhi salah satu permintaan Mahal sebelum mati adalah mutlak sebuah kewajiban untuknya.

Mahal yang lahir dengan nama Arjuman Banu Begum meminta Jahan mendirikan bangunan atau monumen yang akan menjadi makamnya. Maka setahun setelah kematian Mahal pada 1631, Jahan mulai membangun Taj Mahal. Lebih dari 20 ribu orang terlibat di dalam pembangunan monumen ini, selama 22 tahun.

Monumen Permohonan Maaf

Versi ini saya dapatkan ceritanya dari salah satu liputan BBC tentang sebuah show di Inggris yang dibuat oleh seniman asal India, Dilip Hiro. Di dalam pementasan ini digambarkan bahwa Mumtaz Mahal adalah permaisuri yang luar biasa cerdas namun juga kejam.

Dia telah membantu memenangkan banyak perang untuk Jahan. Dia juga telah melahirkan anak-anak Jahan. Maka dia menginginkan tahta suaminya. Bukan panahan atau berkuda yang menjadi ajang peperangan mereka, melainkan permainan catur. Barang siapa memenangkan permainan, maka dia berhak atas tahta kekaisaran Mogul.

Mudah diduga, Mahal memenangkan pertandingan. Maka tahta beralih padanya. Tetapi karena Mahal adalah ratu yang otoriter dan kejam, rakyat menderitanya dibuatnya. Melihat kekejaman istri tercintanya, Jahan memutuskan untuk mendorongnya dari tahta. Mahal jatuh, tetapi yang membuatnya meninggal adalah karena melahirkan anak ke-14-nya.

Karena rasa bersalah yang mendalam, Jahan mengundang arsitek terbaik serta puluhan ribu orang bahkan ribuan gajah untuk membuat monumen bagi mendiang istrinya. Versi ini tidak dapat diverifikasi kebenarannya. Mungkin saja ini murni khayalan Hiro sebagai seniman. Tetapi ini menarik. Plot twist-nya bagus.

Monumen Egois

Yang ini versi saya sendiri. Menurut saya Taj Mahal adalah monumen termahal dan teregois yang pernah saya lihat. Diawali dengan egoisnya sang rasa yang memiliki tiga istri. Banyak yang mengatakan, demikianlah para kaisar di jaman itu. Baiklah, tapi tetap untuk saya, itu egois. Tapi Jahan memang punya sejarah egois, kalau tidak dapat dikatakan kejam.

Dia membunuh tiga saudaranya untuk memastikan tahta jatuh ke tangannya.

Egois yang lain lagi adalah, membangun istana yang menghabiskan biaya 32 juta rupee di kala itu, yang kalau disetarakan dengan kurs mata uang US dolar sekarang adalah antara 20 milyar – 5,3 trilyun. Pokoknya kalau pakai rupiah di atas 290 trilyun. Kurang egois apa coba? Jangan pikirkan bahwa sekarang monumen itu menghasilkan uang ya. Tapi bayangkan di jaman itu, dimana Taj Mahal semata-mata yang monumen. Yang isinya adalah jenazah Mumtaz mahal dan kemudian Shah Jahan sendiri.

Ada satu lagi cerita, yang sampai sekarang tidak ada yang bisa membuktikan keberadaannya. Dikisahkan Jahan memotong tangan semua pekerja setelah Taj Mahal selesai dibangun. Kenapa? Dia memastikan bahwa tidak ada seorangpun yang dapat membangun Monuman seindah Mahal. Psycho nggak sih?

Selesai mendengar cerita dari Khan sang pemandu wisata, ditambah sesampainya di rumah dan membaca lebih banyak literatur, membuat saya bergidik. Seandainya uang sebanyak itu dipakai untuk menyekolahkan anak di sana, memastikan makanan mereka bergizi, membuat program KB berjalan, mungkin anak-anak di India akan menikmati lebih banyak cinta ya, saat ini?

Foto-foto lebih banyak ada di: facebook saya

← Semalang di Malaysia
Kita dan Rindu yang Tak Terjawab →

Author:

Dian adalah penulis Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam dan 8 novel serta kumpulan cerita lainnya. Peraih grant Residensi Penulis Indonesia 2019 dan She Creates Change Green Camp 2020 ini lahir tahun 1976, belajar komunikasi di Universitas Diponegoro dan STIK Semarang, lalu lanjut belajar perlindungan anak di Kriminologi UI. Dia adalah anak ke-2 dari 4 bersaudara, ibu dari Vanya Annisa Shizuka dan beberapa anak lain. Saat ini Dian menghabiskan banyak waktunya menjadi penulis lepas dan konsultan untuk isu perlindungan anak dan kekerasan berbasis gender.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

What to Read Next

Perpus Provinsi Kalimantan Selatan yang Inspiratif

Beberapa hari lalu saya mendapatkan kesempatan untuk mengisi acara diskusi literasi di Perpustakaan Provinsi Kalimantan Selatan. Sungguh sebuah kesempatan yang sangat berharga buat saya. Awal menerima undangan ini saya pikir kena prank. Masa’ iya sih ada Perpustakaan Provinsi bikin acara seperti ini, pikir saya. Tapi rupanya ibu Kepala Dinas ini...

Read More →

Berkah Dalem

Selamat merayakan Natal teman-teman, Berkah Dalem. Biasanya kalimat itu yang saya kirimkan ke sahabat dan teman-teman saya melalui WhatsApp untuk memberikan ucapan selamat Natal. Pagi tadi saya menyegarkan kembali ingatan tentang frasa Berkah Dalem, yang menurut beberapa referensi artinya Tuhan memberkati, yang menurut sejarah diambil dari kata Deo Gratia, berkah...

Read More →

44 Years of Practice

Lima tahun lalu saya dapat quote keren banget tentang usia 40, seperti ini: Gambar dari darlingquote.com Lalu tahun-tahun itu berlalu dan saya lupa apa yang jadi resolusi saya di ualng tahun saya ke-40 itu. Saya hanya ingat mengirimkan surat pada 40 orang yang pernah dan masih menggoreskan makna pada hidup...

Read More →

The Class of 94 and Beyond

Ilusi bahwa saya adalah Supergirl, Harley Quin, Black Widow, Queen of Wakanda patah sudah. Tanggal 25 Juni menerima hasil antigen positif. Tidak disarankan PCR sama dokter karena dia melihat riwayat orang rumah yang pada positif, “Save your money, stay at home, have fun, order as many foods as you like,...

Read More →

Domba New Zealand dan Pahlawan Perubahan Iklim

Pada suatu hari di bulan November 2016 bersama teman-teman dari tim Alzheimer Indonesia kami mendapat kesempatan untuk mengikuti konferensi di Wellington, New Zealand. Kok baru ditulis sekarang? Huft.. Seandainya kemalasan ada obatnya, saya antri beli dari sekarang. Ada banyak hal yang membuat orang mudah sekali jatuh hati pada Wellington, udaranya...

Read More →

Perjalanan ‘Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam’ Menemukan Jodohnya

Jodoh, rezeki dan maut ada di tangan Tuhan, katanya. Tapi kalau kita berharap Tuhan turun tangan untuk dua item pertama, nyesel sendiri lho ntar. Antriannya panjang, Sis. Ada tujuh milyar orang di muka bumi ini. Cover Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam Maka saya menjemput paksa jodoh tulisan saya pada...

Read More →

Defrag Pikiran dan Keinginan

Ada banyak peristiwa yang terjadi selama tahun 2020 ini, meskipun ada banyak juga yang kita harapkan seharusnya terjadi, tetapi belum kejadian. 2020 adalah tahun yang ajaib. Lulusan tahun ini sempat dibully sebagai lulusan pandemi. Yang keterima sekolah/kuliah di tempat yang diinginkan tidak segirang tahun sebelumnya, yang wisuda tahun ini apa...

Read More →

Didi Kempot, Sugeng Tindak Ma Lord

Hari ini status itu yang saya pasang di media sosial saya dengan foto Didi Kempot hitam putih dengan tulisan the Godfather of Broken Heart. Patahnya hati saya mungkin nggak sepatah teman-teman sadboys dan sadgirls lainnya. Saya tidak mengenal secara personal mas Didi, hanya pernah papasan di sebuah mal di Solo...

Read More →