Film Aquaman, Sampah dan Generasi Tak Peduli

FILM  Aquaman sudah berlalu dari layar bioskop di negeri ini. Namun, satu adegan masih terus mengambang di pikiran saya. Ups, bukan di bagian badan atletis para pemerannya, melainkan pada adegan ketika daratan dihajar tsunami.

Meskipun di dalam film digambarkan bahwa tsunami itu adalah karya Raja Orm yang rakus akan kekuasaan dan berupaya mengobarkan perang dengan dunia atas, saya tidak melihatnya demikian.

Pembawa berita di film ini memberikan komentar kurang lebih begini, “Kita bisa lihat laut seolah memuntahkan seluruh sampah yang pernah dibuang manusia ke dalamnya, termasuk sebuah bangkai kapal selam.”

Saya lalu segera mencari tahu, berapa banyak sampah manusia yang dibuang ke laut. Menurut Jenna Jambeck, seorang profesor teknik lingkungan di Universitas Georgia, ada sekitar 8,8 juta ton plastik yang dibuang ke laut di seluruh dunia ini.

Jambeck menggunakan statistik Bank Dunia untuk melacak dan memperkirakan polusi plastik dari sumbernya. Dan, hasilnya cukup menyedihkan, Indonesia telah menjadi penyumbang sampah plastik terbesar ke-2 di dunia, setelah China. Ini jelas bukan prestasi yang membanggakan.

Oceana, sebuah organisasi konservasi laut global, mengatakan kalau pengelolaan sampah plastik bukan solusi dari masalah menumpuknya sampah plastik ke laut. Namun, mendorong perusahaan untuk mengurangi produksi plastik dan solusi lain pembuangan sampah plastik mungkin bisa menyelesaikan sebagian dari masalah ini.

Plastik dan kota besar 

Salah satu kegiatan wajib penduduk kota besar adalah berbelanja. Ada yang melakukannya sebulan sekali, tetapi tidak sedikit yang menjadikan belanja sebagai wahana wisata mingguannya.

Di rumah, kami sudah mulai membiasakan diri untuk membawa bukan cuma kantong belanja besar melainkan juga plastik-plastik bekas lain yang lebih kecil dalam berbagai ukuran. Awalnya saya dipelototin dan dibilang bawel orang siapa pun yang menjadi partner belanja saya.

Namun, mari kita perhatikan. Tidak semua belanjaan kita di supermarket atau di pasar tradisional itu homogen. Di belanjaan kita ada benda kering, ada juga benda basah yang kadang disertai aroma menyengat jika dicampur dengan yang lain. Lalu, ada makanan, ada benda-benda berbahan kimia yang bersifat mempengaruhi aroma atau rasa kalau didekatkan dengan makanan.

Karenanya, membawa semua itu dalam satu plastik sama sekali tidak dianjurkan. Maka, idealkah membawa hanya satu kantong raksasa untuk keperluan belanja seberagam itu?

Belajar dari kesalahan-kesalahan awal, belanja bulanan saya memang menjadi sangat kompleks. Dengan membawa plastik berbagai ukuran itu saja, kita masih tidak bisa menghindari membawa plastik dari pembungkus buah sebelum ditimbang, pembungkus daging—yang bahkan kadang disertai styrofoam—, pembungkus makanan dalam kemasan, dan plastik lain dalam berbagai tampilannya.

Bayangkan jika seluruh keluarga di kota besar di Indonesia ini berbelanja setidaknya sebulan sekali kemudian membawa pulang setidaknya lima plastik besar dan lima plastik kecil. Berapa pertambahan sampah plastik yang sudah dihasilkan oleh penduduk kota-kota besar ini?

Saya pernah mendapat sanggahan tentang plastik belanja ini dari beberapa orang. “Ini kan nanti dipakai buat plastik tempat sampah. Kalau enggak dari sini, kita harus beli sendiri plastik sampah? Kan malah dobel borosnya?” dalih mereka sembari melenggang sambil merasa tidak berdosa memakai plastik untuk belanjaannya.

Terlepas dari alasan apa pun yang dipakai untuk membawa pulang dan menggunakan banyak plastik, sebelum kita menemukan solusi untuk membuang sampah plastik ini, menurut saya— dari sisi pemakai akhir plastik—maka yang bisa kita lakukan adalah mengurangi semaksimal mungkin pemakaiannya.

Setiap alasan yang membenarkan pemakaian plastik adalah satu langkah lagi untuk menambah beberapa kilogram plastik ke dasar laut.

Plastik dan budaya

Pada suatu hari saya membeli permen dan beberapa minuman dalam kemasan—lihat, betapa sulit kita menghindari plastik—di warung kaki lima. Sang bapak pedagang yang ramah mengambil plastik untuk membungkus semua belanjaan tersebut. Tentu saja saya menolak. Namun, bapak ini tidak kurang gigih.

Dia keluar dari dalam warung kotaknya dan memaksa menjejalkan permen dan minuman tadi ke dalam plastik. “Enggak sopan atuh, Neng, belanja enggak dikasih plastik.”

Oh, tidak! Jadi, “plastik” sama dengan “sopan”, lalu “tanpa plastik” sama dengan “tidak sopan”? Dan, ini tidak hanya terjadi di satu tempat. Ibu pedagang sayur keliling langganan harian saya juga memaksakan memakai plastik darinya, meskipun dia tahu kita membawa plastik lain.

Jadi, kalau kita tidak pandai dan lincah menolak, kita justru akan membawa pulang dua plastik ke rumah.  Jangankan berbicara tentang bagaimana laut tercemar oleh plastik atau fakta temuan sampah plastik di perut paus yang mati dan terdampar, ini yang dilawan adalah budaya menempatkan plastik sebagai simbol kesantunan.

Adalah tugas kita semua untuk bisa menemukan narasi lain yang tepat untuk mengubah cara pandang tersebut. Namun, saya rasa tidak terlalu sulit untuk menemukan narasi yang bisa menggantikan kesopanan dengan kebaikan yang lebih besar.

Yang lebih sulit adalah menemukan dan menyusupkan narasi baru pengganti ketidakpedulian ke dalam kepala manusia modern di muka bumi ini. Jika budaya tidak peduli dan merasa bahwa hidup terpenting di muka bumi ini adalah selama nyawanya sendiri masih berembus, selesai sudah upaya kampanye ini.

Bila begitu keadaannya, kampanye apa pun yang dilakukan terhadap generasi egois ini gagal atau mungkin sangat tipis angka keberhasilannya, jika diukur dengan serius.

Beberapa organisasi dan orang-orang yang peduli telah melakukan kampanye terhadap generasi yang lebih hijau, di berbagai belahan bumi ini. Beberapa toko ritel juga sudah mengenakan sistem plastik berbayar. Yang kurang adalah sosialisasinya.

Pertama, harga kantong plastiknya kurang dari Rp 100 per helai, nominal yang sangat tidak masalah buat pelanggan dengan total belanjaan ratusan ribu rupiah sampai jutaan rupiah. Kedua, hanya sedikit toko yang menyampaikan pada pelanggan bahwa tidak ada lagi fasilitas kantong plastik gratis.

Benar, di sekolah-sekolah, anak-anak kita mulai diajarkan tentang bahaya plastik sejak duduk di bangku sekolah pertamanya. Saya juga kemudian teringat guru TK saya meninggalkan banyak sekali bekas dalam hidup saya.

Jika teori tentang guru TK yang berpengaruh besar dalam kehidupan umat manusia ini berlaku universal dan global, kita bisa berharap pada anak-anak kita. Namun, ini artinya masih ada kurang lebih 50 tahun lagi sampai generasi tidak peduli menghilang dari muka bumi dan laut baru bersih dari sampah plastik baru.

Semoga perhitungan saya salah. Semoga di muka bumi ini setidaknya ada satu orang saja di setiap keluarga yang bisa memulai perubahan di dalam lingkungan terdekat mereka. Semoga….

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Film Aquaman, Sampah, dan Generasi Tidak Peduli.”

Editor : Palupi Annisa Auliani

← Mangga Indramayu dan Exploitasi Tubuh Perempuan
Lucky Bastard #5 Residensi Penulis Indonesia 2019 →

Author:

Dian adalah penulis Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam dan 8 novel serta kumpulan cerita lainnya. Peraih grant Residensi Penulis Indonesia 2019 dan She Creates Change Green Camp 2020 ini lahir tahun 1976, belajar komunikasi di Universitas Diponegoro dan STIK Semarang, lalu lanjut belajar perlindungan anak di Kriminologi UI. Dia adalah anak ke-2 dari 4 bersaudara, ibu dari Vanya Annisa Shizuka dan beberapa anak lain. Saat ini Dian menghabiskan banyak waktunya menjadi penulis lepas dan konsultan untuk isu perlindungan anak dan kekerasan berbasis gender.

  1. 100% dari tulisan ini benar sekali dan tamparan keras untuk generasi tidak peduli, tetap semangat ka dian purnomo menulis artikel yang sangat bagus seperti ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

What to Read Next

Perpus Provinsi Kalimantan Selatan yang Inspiratif

Beberapa hari lalu saya mendapatkan kesempatan untuk mengisi acara diskusi literasi di Perpustakaan Provinsi Kalimantan Selatan. Sungguh sebuah kesempatan yang sangat berharga buat saya. Awal menerima undangan ini saya pikir kena prank. Masa’ iya sih ada Perpustakaan Provinsi bikin acara seperti ini, pikir saya. Tapi rupanya ibu Kepala Dinas ini...

Read More →

Berkah Dalem

Selamat merayakan Natal teman-teman, Berkah Dalem. Biasanya kalimat itu yang saya kirimkan ke sahabat dan teman-teman saya melalui WhatsApp untuk memberikan ucapan selamat Natal. Pagi tadi saya menyegarkan kembali ingatan tentang frasa Berkah Dalem, yang menurut beberapa referensi artinya Tuhan memberkati, yang menurut sejarah diambil dari kata Deo Gratia, berkah...

Read More →

44 Years of Practice

Lima tahun lalu saya dapat quote keren banget tentang usia 40, seperti ini: Gambar dari darlingquote.com Lalu tahun-tahun itu berlalu dan saya lupa apa yang jadi resolusi saya di ualng tahun saya ke-40 itu. Saya hanya ingat mengirimkan surat pada 40 orang yang pernah dan masih menggoreskan makna pada hidup...

Read More →

The Class of 94 and Beyond

Ilusi bahwa saya adalah Supergirl, Harley Quin, Black Widow, Queen of Wakanda patah sudah. Tanggal 25 Juni menerima hasil antigen positif. Tidak disarankan PCR sama dokter karena dia melihat riwayat orang rumah yang pada positif, “Save your money, stay at home, have fun, order as many foods as you like,...

Read More →

Domba New Zealand dan Pahlawan Perubahan Iklim

Pada suatu hari di bulan November 2016 bersama teman-teman dari tim Alzheimer Indonesia kami mendapat kesempatan untuk mengikuti konferensi di Wellington, New Zealand. Kok baru ditulis sekarang? Huft.. Seandainya kemalasan ada obatnya, saya antri beli dari sekarang. Ada banyak hal yang membuat orang mudah sekali jatuh hati pada Wellington, udaranya...

Read More →

Perjalanan ‘Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam’ Menemukan Jodohnya

Jodoh, rezeki dan maut ada di tangan Tuhan, katanya. Tapi kalau kita berharap Tuhan turun tangan untuk dua item pertama, nyesel sendiri lho ntar. Antriannya panjang, Sis. Ada tujuh milyar orang di muka bumi ini. Cover Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam Maka saya menjemput paksa jodoh tulisan saya pada...

Read More →

Defrag Pikiran dan Keinginan

Ada banyak peristiwa yang terjadi selama tahun 2020 ini, meskipun ada banyak juga yang kita harapkan seharusnya terjadi, tetapi belum kejadian. 2020 adalah tahun yang ajaib. Lulusan tahun ini sempat dibully sebagai lulusan pandemi. Yang keterima sekolah/kuliah di tempat yang diinginkan tidak segirang tahun sebelumnya, yang wisuda tahun ini apa...

Read More →

Didi Kempot, Sugeng Tindak Ma Lord

Hari ini status itu yang saya pasang di media sosial saya dengan foto Didi Kempot hitam putih dengan tulisan the Godfather of Broken Heart. Patahnya hati saya mungkin nggak sepatah teman-teman sadboys dan sadgirls lainnya. Saya tidak mengenal secara personal mas Didi, hanya pernah papasan di sebuah mal di Solo...

Read More →