Apa yang muncul di kepala tentang Indramayu? Mangganya yang enak? Perempuannya yang cantik? Atau keduanya secara bersamaan?
Dua tahun lalu, pada saat menyelesaikan tugas akhir kuliah, saya menghabiskan beberapa waktu tinggal di Indramayu untuk mengumpulkan data. Indramayu—satu kabupaten di Jawa Barat—bukan tempat yang asing buat saya.
Sebelumnya, bersama OnTrackMedia Indonesia, saya wara-wiri di sana untuk melakukan kampanye migrasi aman. Mendengar reputasi mangga yang enak sampai cerita eksploitasi perempuan di sana, sudah bukan hal baru lagi bagi kami.
Saking bangganya Indramayu terhadap produksi mangga di wilayahnya, jika Anda mengunjungi kota kecil ini maka hampir pasti akan melewati Tugu Mangga di wilayah Simpang Lima. Persimpangan jalan ini adalah jalur wajib dari arah Barat menuju Cirebon atau ke Balongan.
Di desa Bongas tempat saya melakukan penelitian, setiap rumah memiliki pohon mangga. Ketika sedang kompak berbuah semua, pohon-pohon mangga ini menjadi suguhan mata yang indah.
Namun, tidak pernah terpikir bahwa orang akan menghubungkan mangga dengan subyek penelitian saya, yaitu perempuan khususnya anak perempuan yang dilacurkan. Sampai, salah seorang narasumber menyampaikan kaitan itu dalam wawancara.
“Perempuan Indrayamu itu seperti mangga, Bu,” kata informan tersebut, yang tetap melanjutkan ceritanya bahkan ketika melihat mata saya sudah nyaris keluar setengah.
“Jadi gini lho. Mangga Indramayu itu kan sudah tidak perlu dipertanyakan lagi kelezatannya. Jadi banyak pedagang mangga yang suka ngaku-ngaku kalau mangganya dari Indramayu, padahal bukan. Nah, perempuannya juga gitu. Karena yang terkenal enak, bersih, dan cantik, mohon maaf, ya perempuan Indramayu, makanya banyak yang ngaku-ngaku dari Indramayu.”
Kemudian, dia menambahkan kalau sebenarnya sekarang ini sudah tidak banyak lagi perempuan apalagi anak dari Indramayu yang luruh duit. Ini istilah yang dipakai untuk menghaluskan pekerjaan sebagai orang yang dilacurkan.
Menurut dia, rata-rata yang bekerja ke luar daerah itu bekerja di pabrik atau jadi asisten rumah tangga. Bisa jadi informan saya benar. Karena pendataan yang kacau, siapa pun bisa memiliki identitas lebih dari satu. Karenanya, orang mudah saja mengaku dari Indramayu, asalkan KTP-nya berbunyi begitu.
Namun, pernyataan bahwa tidak banyak lagi anak dan perempuan yang dilacurkan itu sangat debatable. Penelitian saya masih menemukan kasus anak yang dilacurkan, ada lebih dari dua anak di satu desa.
Maka, ini berarti masalah eksploitasi seksual anak khususnya di Indramayu masih belum selesai. Tidak bisa berlega dan bangga hati dengan mengatakan sudah tidak banyak lagi anak yang dilacurkan.
Konstruksi sosial
Kembali ke mangga. Cara bapak tadi menganalogikan perempuan seperti mangga itu rasanya sangat menyedihkan. Dan rupanya si bapak ini bukan satu-satunya orang yang berpendapat serupa. Sejak pertama mendengar pernyataan tersebut, rasanya seperti echo, berulang-ulang saya mendengar pernyataan yang sama.
Jika dibaca dengan menggunakan teori konstruksi sosial, bahasa punya peranan penting dalam proses obyektivikasi terhadap tanda-tanda. Bahasa adalah representasi simbolis yang mewakili kehidupan sehari-hari.
Jadi, perumpamaan perempuan seperti mangga Indramayu oleh narasumber tersebut bukan kebetulan belaka semata karena di Indramayu banyak mangga. Jika dihubungkan dengan eksploitasi, tubuh perempuan dihargai tidak lebih dari komoditas perdagangan “sekelas” mangga. Mau dijual Rp 50.000 atau Rp 80 juta, tetap tubuh perempuan adalah barang yang didagangkan.
Dan, berbicara tentang barang dagangan, negara kita sejatinya masih “terjajah” dan kita tanpa disadari meletakkan diri sebagai bangsa terjajah sampai ke akar-akarnya.
Kali ini, bentuk penjajahan itu tidak lagi melibatkan senjata tetapi jauh lebih terselubung sampai nyaris tidak terasa. Yang diperebutkan apa? Kapital alias modal. Semua hal diarahkan untuk memberikan keuntungan maksimal pada pemilik modal.
Dari cerita yang saya dengar ketika berada dari Batam, Ambon, sampai Papua, demikianlah nasib perempuan yang dieksploitasi secara seksual sebagai pekerja seks.
Ketika masih muda dijual di Ibu Kota atau wilayah perbatasan seperti Batam. Semakin tua dan tidak lagi mulus kulitnya, dilempar ke arah semakin ke Timur, dengan harga yang lebih murah.
Begitu juga mangga. Yang terbaik dijual ke supermarket sebagai barang dagangan kualitas ekspor dan ditempeli stiker merek terbaik. Begitu keriput dan tidak segar lagi, mangga ini dibuang ke pasar yang lebih murah atau dipotong-potong supaya tidak tampak kulitnya.
Di Ambon pada salah satu kunjungan ke Batumerah, saya banyak bertemu dengan teman-teman pekerja seks dari Jawa. Mereka menguatkan dugaan itu, bahwa Ambon adalah kota ke sekian yang sudah mereka tinggali untuk “bekerja”. Indikator kepindahan dari kota satu ke kota lainnya tak lain adalah fisik dan usia semata.
Kapitalisasi perempuan
Di dunia kapitalis, perempuan selalu menjadi pihak yang termarjinalkan. Ketika semua diukur dengan skala materi, pada saat kebutuhan rumah tangga juga menjadi tidak masuk akal lagi untuk dipenuhi, perempuan adalah pihak yang dipaksa pergi ke luar rumah dan bekerja dengan bekal pendidikan yang tidak disiapkan untuk hal tersebut.
Ketika giliran bersekolah, anak laki-laki didahulukan dengan alasan nanti akan menjadi kepala keluarga, pencari nafkah utama. Namun, pada kenyataannya ketika laki-laki mengalami kesulitan mencari nafkah maka perempuan yang harus maju dengan menggunakan bekal tubuhnya.
Dari mulai buruh kasar, asisten rumah tangga, pekerja kantoran, sampai pekerja seks, tubuh-tubuh perempuan dijajakan sama halnya seperti mangga. Di salah satu agen pengiriman buruh migran, jelas sekali foto-foto para calon buruh migran perempuan dipajang dan calon majikan memilih mereka berdasarkan foto dan sedikit keterangan tentang kemampuan berbahasa dan lainnya.
Di dunia kapital, perempuan juga dipengaruhi habis-habisan sesuai kepentingan pemilik modal. Kulit putih, rambut lurus, badan kurus, yang mana beberapa hal tersebut tidak sesuai dengan kondisi perempuan di seluruh muka bumi.
Dampaknya? Perempuan mati-matian berusaha untuk menjadi seperti citra kapital tersebut. Siapa yang paling diuntungkan? Tentu saja pemilik modal. Tubuh perempuan dikontrol tidak hanya oleh laki-laki, tetapi juga oleh masyarakat umum, oleh sistem. Menyedihkan.
Harus ada revolusi pola pikir terhadap perempuan. Perempuan adalah manusia yang sama seperti gender lain, yang bukan hanya terdiri atas daging dan darah tetapi juga nyawa yang bersamanya melekat hak dan martabat sebagai manusia.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Mangga Indramayu dan Eksploitasi Tubuh Perempuan”
Editor : Palupi Annisa Auliani