Perubahan jadwal keberangkatan Residensi Penulis Indonesia 2019 sudah diatur Tuhan sedemikian rupa, menjadi menguntungkan bagi saya. Sebulan lebih tinggal di Sumba Barat, saya jadi dapat mengikuti salah satu ritual terpenting di kehidupan Marapu di Kampung Tarung dan Weetabara di Loli – Sumba Barat, NTT. Wulla Poddu.
Wulla Poddu jika diterjemahkan bebas berarti bulan suci. Kepala saya juga langsung mengaitkannya dengan Ramadhan. Untuk orang yang dibesarkan di lingkungan Muslim, kata bulan suci sebelumnya hanya ada satu makna, Ramadan yang ditutup dengan kemeriahan Lebaran.
Masyarakat adat Marapu sebagian besar bermatapencaharian bertani. Di ritual Wulla Poddu ini kita dapat melihat bahwa setiap hal hampir selalu merupakan simbolisasi dari kehidupan agraris itu. Seperti perolehan buruan babi hutan yang kemudian dimaknai sebagai simbol bagus tidaknya panen musim berikutnya, setiap tetes darah babi hutan dari tempatnya diburu sampai setibanya di kampung, melambangkan banyaknya curah hujan musim depan. Besar kecilnya babi hutan, juga menandakan banyak sedikitnya panenan, dan seterusnya.
Saya seperti remaja yang jatuh cinta selama residensi, saya terus menerus bertanya setelah ini apa lagi, mengapa begini, mengapa begitu. Rencana untuk tinggal di rumah kos, nyatanya hanya jadi tempat persinggahan baju kotor saja. Hidup lebih banyak saya habiskan di kampung adat Tarung, terlebih lagi setelah terpapar tentang Marapu.
Apa itu Marapu? Jika melihat pengertian yang ditulis di beberapa literatur, Marapu adalah agama atau kepercayaan yang dianut oleh masyarakat adat di Sumba. Dari Rato Rumata (pemimpin tertinggi suku Weelowo) definisi Marapu adalah spirit. Ruh. Jiwa. Inti spirit Marapu ini adalah manawara, kasih sayang. Saya ingat menghela nafas panjang waktu mendengar penjelasan ini.
Pembicaraan tentang Marapu ini kemudian melebar pada fakta bahwa dunia pendidikan di Sumba belum memfasilitasi anak-anak dari orang tua yang menganut Marapu untuk mendapatkan pelajaran tersebut di sekolah. Anak-anak jadi terpaksa mengikuti pelajaran agama yang dianut oleh mayoritas murid sekolah tersebut. Ini mengingatkan saya pada waktu SD dimana banyak teman sekelas yang terpaksa duduk di perpustakaan karena di sekolah tidak ada guru agama untuk mereka. Pilihannya adalah duduk di kelas dan mendengarkan pelajaran agama yang dianut mayoritas, atau duduk di perpustakaan.
Saya merasa terganggu sendiri. Hari gini, hak dasar anak akan pendidikan masih belum terpenuhi juga. Sekali lagi, ini bukan tentang agama apa yang dipaksakan pada anak, tapi tentang kelalaian tanggung jawab Pemerintah untuk memberikan hak anak. Hal ini kemudian menjadi pembahasan saya di luar lingkungan masyarakat adat.
Di sebuah siang yang penuh semangat, bersama Redempta Tete Bato, ketua Yayasan Sumba Hospitality Foundation kami membahas dari mulai pendidikan dan masa depan anak-anak di Sumba, sampai ke Marapu dan identitas agama legal yang awalnya saya anggap sebagai ancaman. Rato Rumata yang bertugas menjaga adat dan ajaran Marapu tidak merasa terganggu dengan identitas legal masyarakatnya, saya yang hanyalah pendatang kenapa jadi terusik, hanya karena sedang jatuh cinta pada Marapu dan eksotisme yang saya imajinasikan ternyata sudah hampir pupus.
Bu Dempta memiliki jawaban yang menarik. “Ancaman yang perlu kita khawatirkan bukan dari luar Mbak, tapi justru dari dalam.” Oh, Apa lagi ini?
Maka mengalirlah diskusi tentang ancaman Tuhan-Tuhan baru yang ada di sekeliling kita. Tidak usah bicara Marapu, Sunda Wiwitan, Kejawen, atau agama lain. Pertanyaan besarnya adalah bagaimana kita meyakini apa yang kita anggap sebagai agama, keyakinan atau apapun itu. Marapu jadi seksi di mata saya karena saya baru terpapar ajaran ini, sedang senang-senangnya melihat banyak ritual yang belum pernah saya lihat sebelumnya, terasa magis dan seterusnya. Tapi apakah orang-orang yang menganut spirit ini masih meyakini nilai-nilai marapu dari setiap ritual yang dilaksanakan?
Dengan adanya berbagai aplikasi di genggaman kita, menemukan kapan bulan akan bulat penuh sudah tidak terlalu perlu mendongak ke langit. Memperkirakan hujan turun deras atau tidak kita hanya perlu accu weather. Lalu dengan banyaknya pilihan mudah pengetahuan baru tersebut, bagaimana kita akan menghayati Poddu lebih dari sekedar ritual saja? Bagaimana pemali akan ditaati ketika pelan-pelan anak-anak dibius dengan logika dan fakta sains?
Kehadiran teknologi bagi sebagian orang seperti kedatangan messenger baru. Bangun tidur yang pertama dipegang apa? Kehabisan pulsa atau ketinggalan charger sudah seperti kehabisan nyawa. Kalau tidak update status sehari saja tidak bisa tidur, sehingga di atas bantal dengan mata nyaris terpejam berswafoto dengan caption: bobok dulu ya gaes. Sekali lagi, ini tidak berbicara tentang Marapu saja. Ini adalah Tuhan baru kita semua.
Mungkin nenek moyang kita dulu terlepas dari apapun agamanya, sama seperti kita. Wujudnya bisa apa saja, dari pohon, batu, patung, atau wujud yang tidak sanggup dilukiskan. Jika tidak berdoa atau menyalakan lilin atau menyajikan sesajen untuk Tuhan dan leluhur, maka ada yang kurang hidupnya. Bangun pagi jika tidak langsung menghadap ke arah Timur untuk menyembah matahari maka merasa hari itu akan dikutuk, dan seterusnya.
Tuhan baru kita ini, sekuat apa dia? Siapa yang menggerakkan siapa? Sebesar apa kasih sayangnya pada kita? Matikah dunia kita jika sehari saja hidup tanpanya? Dia yang bertanggung jawab atas seluruh hidup kita, atau kita yang membuatnya jadi situs pemujaan tanpa konsekuensi kemahabesaran selain yang kita ciptakan sendiri?
Lalu Marapu sendiri, siapa yang dirugikan kalau dia sirna? Indonesiakah? Masyarakat adat di Sumba? Atau hanya saya yang patah hati karena kehilangan eksotisme yang membuat saya jatuh cinta?
Catatan: Tulisan ini dibuat persis di sebelah Tuhan baru yang menyala 24 jam sehari.
Saya ingin berceritera sedikit. Sebelumnya, pemahaman saya terbingkai begitu saja (entah sejak kapan) bahwa penganut Marapu itu sama dengan (maaf) Kafir. Jadi, dengan Iman yang saya percayai saya begitu menyalahkan mereka yang menganut Marapu ini sebagai orang – orang yang tidak percaya pada Tuhan. Lalu, setelah sering membaca buku dan suatu waktu terlibat dalan suatu diskusi tentang budaya dan didalamnya ada pembahasan tentang Marapu barulah saya paham… Bahwa penganut Marapu itu bukan tidak percaya pada Tuhan atau tidak ber-Tuhan. Mereka percaya pada Tuhan, bahwa semua yang ada di alam semesta ini adalah dari Tuhan sehingga bagi mereka menyebut nama Tuhan adalah sesuatu yang sangat sakral…. Begitu tinggi rasa hormat mereka kepada Tuhan sehingga untuk menyampaikan permohonan dalam bentuk penyembahan dan doa mereka memilih menggunakan media lain (pohon, batu, patung, dll) yang mereka yakini akan menjadi jembatan penghubung antara mereka dengan Tuhan.. Bagi mereka menyebut langsung nama “Tuhan” adalah hal yang sangat sakral dan agung.
Kak Ersy…
Senang sekali membaca komen Kakak. Mestinya ketika di Sumba kita lebih sering berjumpa dan berdiskusi ya. Kita jadwalkan di diskusi berikutnya harus lebih panjang dan bahas dari mulai menulis sampai tentang Tuhan ya. Kali ini mungkin perlu sampai menginap camping di pinggir pantai demi kelancaran bicara. Hahahaha…
Sangat tertarik dengan “Tuhan Baru” yang mba tulis ini. Meskipun baru beberapa kali mengikuti beberapa ritus adat di Tarung (lucky me karena diundang Mba Dian) tapi buat saya pun jatuh cinta pada marapu. Pengen tahu lebih banyak tentang marapu dengan merasakan atau melihat secara langsung bagaimana marapu itu dalam sprit hidup orang di Tarung dalam kehidupan harian mereka tidak hanya pada wulla poddu.
Kalo ada obrolan- obrolan atau diskusi kecil tentang “Tuhan Baru” itu jangan lupa bilang-bilang ya mba..
Kok aku baru baca komen iniii… Mumpung di sini, mari kita diskusi tentang Tuhan-tuhan Baru, kakak.