Sama sepertu judul album saya di facebook. Oh I love that place, really. Ho Chi Minh lebih tepatnya. Karena memang hanya satu kota itu yang saya tuju di Vietnam. Berbekal tiket murah yang ditawarkan AirAsia setahun lalu, saya memesan perjalanan satu arah ke kota ini. Kemudian berbekal buku petunjuk perjalanan ke Vietnam dan Kamboja, saya mencoba mempelajari beberapa hal supaya perjalanan lebih menyenangkan, diantaranya supaya tidak tertipu taksi dan calo ini itu.
(not) a city girl
Mengingat saya bukan city girl, yang tidak suka pada kota besar dengan gedung bertingkat dan kemacetan, kota ini terutama di district 1 dan daerah-daerah wisata umumnya cukup bersahabat. Dari Pam Ngu Lao tempat saya menginap, saya bisa berjalan kaki sampai Opera House, Notre Dame Church, War Remnant Museum dan beberapa tempat lain. Sepanjang perjalanan saya sering kali bergumam dengan teman Sofni dan Mamik, “Ih, kenapa Jakarta nggak bisa gini ya?”
Kayaknya di Jakarta juga banyak tempat menarik yang bisa dikunjungi, tapi panasnya itu lho. Belum lagi trotoar yang dipangkas habis. Di Ho Chi Minh saya bisa berjalanan melenggang, foto-foto di trotoar yang lebar dan teduh, tanpa takut terserempet kendaraan. Persamaan Jakarta dan Ho Chi Minh adalah di bagian menyeberang. Kayaknya para pengendara motor di HCM ini diijinkan untuk tidak melihat ke jalan, memakai telpon genggam dan menabrak siapa saja yang menyeberang. Fiuh.. Untunglah saya sudah terlatih menyeberang Margonda setiap paginya.
Satu hal yang saya lihat sangat menarik di HCM adalah taman-taman kota. There are so many public space in the city. Tiap sore banyak orang berkumpul di sana. Orang tua yang momong anak, remaja yang janjian ketemu, grup choir berlatih paduan suara, beberapa orang berlatih wushu, saya yang bengong melihat pemandangan itu, beberapa orang memanfaatkan fasilitas olah raga yang ada di taman itu. Ih, cakep. So beautiful. Teman saya nyeletuk aja, “Ini kalau di Jakarta, kira-kira besi-besi yang buat olah raga itu umurnya berapa tahun ya, sebelum diambilin orang?”
Jleb! Jadi ingat jembatan roboh yang konon kabarnya karena banyak besi yang diambilin orang. Apa memang orang kita yang belum siap ya, dikasih fasilitas bagus? Atau negaranya yang memang nggak mau mempersiapkan warganya untuk memiliki fasilitas bersama?
Saya nggak bisa menjawabnya, nanti dikira nyinyir. Tapi saya punya mimpi, di setiap kota besar di Indonesia ada lebih banyak lagi tempat terbuka hijau yang memungkinkan anak-anak kita berlarian tanpa takut ditabrak kendaraan, ada trotoar yang lebar dan dingin karena dipayungi pohon-pohon rindang, ada lebih banyak fasilitas olah raga di tempat terbuka itu, seperti yang di gambar saya ini, dan lebih bersih tentunya.
Di HCM sebagai kota pertama dari serangkaian perjalanan backpacker pertama saya, bisa dikatakan nilainya memuaskan. Daerah turisnya di sekitaran Pam Ngu Lao saja membuat saya betah berlama-lama di sana. Minum jus durian, makan kaki rajungan atau minum kopi Vietnam di pinggir jalan, hanya menghabiskan paling banyak 50 ribu rupiah, sambil bisa duduk berjam-jam. Pasarnya di Ben Tahn juga asik. Baru kali ini saya melihat pasar dipel sama penjaga tokonya. Itu pasar bersih banget. Terus, begitu melihat muka campuran Jawa-Thailand-Vietnam-Philipina-Kamboja-Melayu saya, mereka segera memanggil dengan “Kaka, buy somsing Kaka? Mura kaka” itu artinya: “Mbak mbak, mau beli apa mbak? Di sini murah-murah lho.” Gitu dia. Bahasa Indonesia rasanya memang sudah perlu menjadi salah satu bahasa wajib di – setidaknya – Asia Tenggara. Mengingat di pasar-pasar Asia Tenggara ini, muka-muka Indonesia banyak sekali kita temui.
Transportasi
Transportasi umum di HCM mudah sekali ditemui, rutenya juga jelas. Setidaknya demikian menurut buku dan pemilik hostel tempat saya menginatp. Tapi sayangnya saya pejalan kaki sejati. Saya memilih berjalan kaki kemana-mana selama itu di dalam kota. Sekalinya saya nyoba naik cyclo, kendaraan semacam becak yang hanya muat satu penumpang, saya dirampok. Maaf kalau saya berlebihan. Tapi demikianlah faktanya.
Di depan pasar Ben Tahn saya iseng menerima tawaran tukang cyclo yang bilang kalau berkeliling ke tempat-tempat wisata seperti museum dan opera house di dalam kota per jamnya, hanya 15 dong. Mereka terbiasa menyingkat tiga nol di belakang. Jadi 15 dong itu artinya 15 ribu dong. Yang itu artinya adalah setara 7,500 rupiah. Saya mau dong. Di dalam hati, saya mau kasih tips sampai 50 ribu dong nanti. Tapi saya memang nggak mau kemana-mana. Saya Cuma mau ke riverside dan opera house. Waktu saya bilang, udah ambil sisa waktunya buat kalian, saya mau berhenti di sini saja. saya turun, membuka dompet, and guess what?? Mereka mengambil sendiri uang 500 ribu dong dari dompet saya. Isn’t it a robbery? Waktu saya panic mau ambil uang itu lagi, dia langsung memasukkan ke kantong. “Lady, you have to pay more. It cost 15 hundred thousand per hour.” DZIG. Mamik teman perjalanan saya langsung ngamuk. Di tangan saya yang sedang memegang 100 ribu dong langsung direbut sama dia. Dan dia mencak-mencak pake bahasa Indonesia. Saya kecewa banget, mereka nggak mau kembaliin uang saya, dan saya udah hampir nangis karena marah. Mamik langsung ngajak saya pergi. Saya sedih banget. Yang kayak gini ini, yang bikin perjalanan menyenangkan saya jadi perih. Kenapa sih, orang berbohong ke orang lain? Kenapa mesti menipu sih? Sebagai obat kecewa, saya beli kaos bertuliskan: no cyclo for today and tomorrow.
Sementara itu untuk taksi. Konon kabarnya yang bagus bermerk Vinasun. Tapi saya juga tidak sempat mencobanya. Satu-satunya taksi yang saya tumpangi menipu kami. Jadi begitu sampai di bandara pada malam tanggal 5 Januari, kami bertiga ke konter taksi. Si mbak itu minta uang 180 ribu rupiah, bukan dong. Karena masih dalam keadaan bingung, kami menurut. Dia mengembalikan uang kami yang 200 ribu dengan 20 ribu dong. Ah, penjahat. Lalu begitu turun dari taksi, supir taksinya meminta kembali uang sebesar 200 ribu dong. Damn! Dan kami tidak bisa menolak. Dia tidak bisa bahasa Inggris dan kami tidak bisa bahasa Vietnam. Padahal menurut banyak referensi yang say abaca, dari bandara ke hotel tempat kami menginap, paling mahal 160 ribu dong saja. 80 ribu saja. Jaraknya nggak lebih jauh dari bandara kita ke Slipi gitu.
Makanan
Nah akomodasi ini penting nggak penting. Buat backpacker, kadang tidur jadi nggak penting karena kita akan menghabiskan hari untuk jalan-jalan. Tapi buat saya dan Mamik, ini jadi penting. Karena kami membawa pekerjaan sambil berjalan-jalan. Jadi, hotel mesti nyaman juga.Makanan Vietnam relative bisa diterima lidah Indonesia. Pho, sejenis bihun terbuat dari beras tapi teksturnya lebih besar paling enak bisa ditemui di Pho Quynh. Itu terletak di salah satu jalan di Pam Ngu Lao. Bakpao di sepanjang Vietnam yang saya temui dahsyat-dahsyat. Jangan tanya isinya ya, saya juga nggak mau nanya soalnya. Ntar kalau ternyata isinya babi dan saya nggak beli, kan sayang.. #eh. Isi bakpaonya campur-campur, kacang ijo, daging entah apa, telur asin dan telur puyuh. All in one bakpao. Yumm.. Makanan malam harinya adalah berbagai macam kerang, ikan rajungan, jagung rebus, cumi kering, dicemilin aja sambil nongkrong di pinggir jalan. Bahn mi, itu semacam kue bagel tipis panjang, isinya daging. Yummy banget. Not to mention kopinya. Ahhhh… Jadi pengen balik ke sana lagi.
Hotel pertama kami di Backpaker’s Hostel. Tempatnya nyaman, masuk gang, dekat pasar, yang punya bisa berbahasa Inggris. Penting itu! Wifi kenceng di sana, kamar mandi bersih dan ada pool bilyarnya. Tapi sayangnya, kami harus berdebat untuk mendapatkan ijin memegang paspor kami sendiri. Mereka nekat menahan, pertama katanya untuk laporan ke pemerintah, kemudian orang yang lain lagi bilang, kami mencoba menyelamatkan anda. Di HCM banyak pencopet. Daripada paspor anda dicopet? Oh… dan anda sedang mencoba mencopetnya dengan cara halus dari kami? 😛
Tapi setelah kami memenangkan perdebatan, so far hostel itu nyaman. Sayangnya – yang juga blessing in disguised – kami harus pindah ke hotel lain. Karena rencana untuk kabur ke Mui Ne di hari kedua batal. Kami pindah ke hostel yang sebelumnya ditinggali Sofni. Namanya Nhat Thao Guest House. This one is even better. Mereka tidak terlalu kekeuh mencoba mendapatkan paspor kami. Tempatnya lebih nyaman, free pisang sepanjang waktu, dan sarapannya juga enak. Roti baquet plus isian yang bisa dipilih. Telur dadar, telur rebus atau telur omelet? 😛 nggak ada pilihan lain, maaf. Kalau saya harus menyarankan, pilih hostel kedua ini. Lokasinya lebih asik.
Btw, saya sudah merencanakan ke sana lagi. Tinggal nunggu AirAsia memanjakan kami dengan tiket murahnya lagi. Sebelum saya berpanjang-panjang dengan tulisan ini, saya kasih rincian belanja kami di sana ya. Jadi kalau mau backpackeran di sana, biar ada gambaran.
- 500,000 (one way ticket dengan airasia)
- 200,000 (hostel per malam – bisa lebih murah)
- 3,500 (air minum botol 600 ml)
- 30,000 (pho di Quynh)
- 30,000 (makan di pinggir jalan semacam warteg pake ikan makarel segede betis saya)
- 25,000 (kaki rajungan dimasak pedas)
- 12,500 (sepiring kerang dimasak pedas)
- 4,000 (sepotong bahn mi)
- 7,500 (bakpao terenak di dunia)
- 5,000 (bacang isi telur asin)
- 10,000 (jus durian)
- 5,000 (kacang rebus segenggaman)
- 10,000 (1 buah mangga udah dipotongin, rasanya campuran antara kweni dan arum manis)
- 100,000 (airport transfer, ini asumsi termahal)
- 50,000 (total tiket masuk tempat-tempat tertentu, bisa lebih murah banget)
- 50,000 (t-shirt kualitas 100 ribuan di Jakarta)
- 20,000 (t-shirt kelas 30 ribuan di Bali)
- 5,000 – 10,000 (magnet Vietnam)
Nah, silahkan dikalikan sendiri, mau menginap berapa lama di HCM dan mau makan apa aja selama di sana dan mau ngasih oleh-oleh apa buat orang rumah.
Foto-foto lengkap ada di sini yah..
Next saya akan cerita tentang perjalanan lanjutannya: Phnom Penh.
katanya biaya hidup sana ckp tinggi ya?
Bersih banget kotanya mbak
aku juga pengen kesana nanti 🙂
Wah,,, lucu, kyk di Indo juga…:)
Oiya gan, minat tuker link ga??
klu mau, comment dan visit balik ya..:)