Ambar Margi; p. Bukan yang Mati yang Perlu Ditakuti

Uang yang kudapatkan dari Leo cukup untuk membuatku bisa membayar cicilan motor, memeriksakan bapak ke rumah sakit karena batuknya kembali menjadi dan membeli sabun, odol, gula, susu dan berat. Aku dan Yudi tenang. Tapi setiap malam kami berdua bermandi peluh. Aku terbangun dengan keringat membasahi seluruh tubuh karena “didatangi” mumi. Yudi juga sama saja. Dia bahkan sering bangun tengah malam dan menangis.

Kami berdua tidak pernah membahasnya.

Aku dan Yudi menjadi seperti sepasang sahabat yang memiliki penderitaan sama tetapi tidak mampu bercerita satu sama lain. Berat badanku turun lima kilo dalam dua minggu. Yudi merokok tiada henti. Pipinya kempot dan matanya cekung. Dia tidur lebih sedikit. Tidak beda denganku. Kami berdua takut tidur. Malam menjadi hantu bagi kami, karena hanya ketika terpejam mumi itu berani mendatangi. Akhirnya kuputuskan untuk mendatangi Seno. Yudi kupaksa mengantarku ke rumah Leo.

Ruang tamu Leo begitu dingin kurasakan. Hampir setengah jam aku menunggu Leo menemuiku dan Yudi. Seno juga pergi kata Mimin, tukang bersih-bersih rumah ini.

“Sudah seminggu ini mas Seno nggak kelihatan. Waktu ke sini terakhir juga cuma sebentar.” Katanya.

Penjelasan Mimin mematahkan hatiku. Sepanjang perjalanan yang paling kubayangkan adalah memeluk Seno. Aku tidak peduli pada Yudi. Menurutku, dia juga tidak peduli pada siapapun yang kupeluk. Perkawinan kami sudah lama mati. Hanya menunggu sampai salah satu berani mengajukan permintaan cerai.

Leo keluar bersamaan dengan aroma dupa yang meruap dari pintu kamarnya. Jadi sedari tadi dia ada di kamar. Aku penasaran apa yang dilakukannya di dalam sana. Aku tidak ingat apakah waktu pertama datang dulu aroma dupa juga menyerbu hidungku ketika dia keluar dari kamar.

“Pak,” aku menjabat tangannya.

Leo membalas genggamanku sangat kuat. Lalu Yudi.

“Masih mau terus?” Leo langsung bertanya.

Aku dan Yudi berpandang-pandangan.

“Semakin kalian bagus mainnya, semakin banyak uang yang bisa kita dapat.”

“Saya berhenti, Pak.” Yudi cepat menjawab. Kepalanya menunduk.

“Kamu Mbar?” Leo menatapku.

Aku suka membayangkan uang yang akan kuterima kalau aku melanjutkan pekerjaan ini. Tapi aku tidak suka membayangkan seumur hidup akan bermimpi mumi yang sama.

“Semua juga awalnya sama seperti kamu. Tapi lama-lama biasa.” Leo seolah-olah membaca pikiranku.

Aku mengangkat kepala, menatapnya.

“Berapa lama?”

Leo berdiri. Diulurkannya tangannya ke arahku. Dia bahkan tidak meminta pendapat pada Yudi ketika menuntunku masuk ke kamarnya.

Kamar yang awalnya kupikir adalah kamar Leo itu, sama sekali tidak seperti kamar. Lampu yang meneranginya sangat sedikit. Mungkin bolam kuning itu bahkan tidak sampai 3 watt. Warnanya kuning menggantung di kabel yang dililit serabut ijuk hitam. Di ujung ruangan ada sebuah meja yang di atasnya terhidang sepiring sesajen. Aku tidak terlalu jelas melihat apa saja yang ada di sana, tapi tampak sebuah pisang melintang hampir menutupi sepertiga pinggiran piring, sesuatu dibungkus daun pisang – mungkin lemper atau arem-arem, telur bulat, kopi dan air putih di dalam gelas bening ada di kiri kanannya.

Tepat di tengah ruangan ada sebuah karpet membentang. Warnanya merah dengan bunga-bunga simetris memanjang. Leo memintaku duduk di sana. Aku menurut begitu saja. Apapun akan kulakukan untuk membuat mumi itu pergi dari mimpiku.

Aku bersila di tengah karpet dan Leo duduk menghadapku. Diletakkannya kedua tanganku di lututku sendiri, lalu dia meremas kedua tanganku. Aku merasakan tangan Leo menghangat dan terus semakin panas sampai tanganku terasa hampir terbakar. Leo menahanku agar tidak melepaskan diri dari genggamannya. Lalu panas itu menjalar ke atas, naik ke lengan, pundak, lalu merambat ke dadaku dan akhirnya mencapai leher. Dari sensasi penasaran, aku berakhir tersentak. Maka Leo berwarna merah. Itu hal terakhir yang kulihat sebelum aku hilang.

Aku terbangun di kamar yang asing. Bukan kamar dimana tadi Seno nyaris membakarku jadi arang. Tapi ruangan ini juga berbau dupa. Aku mual. Pada tengokan pertama ke kanan mulutku tidak dapat lagi menahan seluruh isi perut. Seno masuk ke kamar disusul Yudi. Mereka bahu membahu membersihkan muntahanku. Aku diberi ganti daster entah punya siapa. Seno mengoleskan minyak angin ke perutku dan Mimin memberiku minum teh manis panas. Seluruh tulangku rasanya hilang dari tubuh. Setelah Seno meletakkan gelas di meja, digenggamnya tanganku dan menyuruhku tidur lagi.

Mataku terpejam sembari terus menahan pegangan Seno agar tidak melepaskanku. Aku merasa seluruh dunia berputar.

“Bukan yang mati yang perlu kamu takuti, Mbar. Tapi yang hidup.”

Seno berbisik padaku, sebelum aku kembali hilang sadar lagi.

 

Dua hari menginap di rumah Leo dan terus menerus diberi makanan enak-enak, minuman yang belum pernah kurasakan sebelumnya, tubuhku berangsur pulih membaik. Yudi pulang duluan. Dia hanya menginap semalam. Entah apa yang dikatakannya pada orang rumah kalau mereka bertanya di mana aku.

Di malam kedua aku tidur seperti orang mati. Pertama kalinya aku tidur tanpa bermimpi tentang mumi. Pertama kali membuka mata, kutemui wajah Seno sedang menatapku sambil tersenyum. “Rupamu elek nek turu.” (mukamu jelek kalau tidur)

Lalu dia masuk ke selimutku dan kami tidak keluar dari kamar sampai pengeras suara dari mushola di tikungan jalan meneriakkan suara adzan.

← Bapak Pulang
Kematian yang Bukan Rahasia →

Author:

Dian adalah penulis Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam dan 8 novel serta kumpulan cerita lainnya. Peraih grant Residensi Penulis Indonesia 2019 dan She Creates Change Green Camp 2020 ini lahir tahun 1976, belajar komunikasi di Universitas Diponegoro dan STIK Semarang, lalu lanjut belajar perlindungan anak di Kriminologi UI. Dia adalah anak ke-2 dari 4 bersaudara, ibu dari Vanya Annisa Shizuka dan beberapa anak lain. Saat ini Dian menghabiskan banyak waktunya menjadi penulis lepas dan konsultan untuk isu perlindungan anak dan kekerasan berbasis gender.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

What to Read Next

Perpus Provinsi Kalimantan Selatan yang Inspiratif

Beberapa hari lalu saya mendapatkan kesempatan untuk mengisi acara diskusi literasi di Perpustakaan Provinsi Kalimantan Selatan. Sungguh sebuah kesempatan yang sangat berharga buat saya. Awal menerima undangan ini saya pikir kena prank. Masa’ iya sih ada Perpustakaan Provinsi bikin acara seperti ini, pikir saya. Tapi rupanya ibu Kepala Dinas ini...

Read More →

Berkah Dalem

Selamat merayakan Natal teman-teman, Berkah Dalem. Biasanya kalimat itu yang saya kirimkan ke sahabat dan teman-teman saya melalui WhatsApp untuk memberikan ucapan selamat Natal. Pagi tadi saya menyegarkan kembali ingatan tentang frasa Berkah Dalem, yang menurut beberapa referensi artinya Tuhan memberkati, yang menurut sejarah diambil dari kata Deo Gratia, berkah...

Read More →

44 Years of Practice

Lima tahun lalu saya dapat quote keren banget tentang usia 40, seperti ini: Gambar dari darlingquote.com Lalu tahun-tahun itu berlalu dan saya lupa apa yang jadi resolusi saya di ualng tahun saya ke-40 itu. Saya hanya ingat mengirimkan surat pada 40 orang yang pernah dan masih menggoreskan makna pada hidup...

Read More →

The Class of 94 and Beyond

Ilusi bahwa saya adalah Supergirl, Harley Quin, Black Widow, Queen of Wakanda patah sudah. Tanggal 25 Juni menerima hasil antigen positif. Tidak disarankan PCR sama dokter karena dia melihat riwayat orang rumah yang pada positif, “Save your money, stay at home, have fun, order as many foods as you like,...

Read More →

Domba New Zealand dan Pahlawan Perubahan Iklim

Pada suatu hari di bulan November 2016 bersama teman-teman dari tim Alzheimer Indonesia kami mendapat kesempatan untuk mengikuti konferensi di Wellington, New Zealand. Kok baru ditulis sekarang? Huft.. Seandainya kemalasan ada obatnya, saya antri beli dari sekarang. Ada banyak hal yang membuat orang mudah sekali jatuh hati pada Wellington, udaranya...

Read More →

Perjalanan ‘Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam’ Menemukan Jodohnya

Jodoh, rezeki dan maut ada di tangan Tuhan, katanya. Tapi kalau kita berharap Tuhan turun tangan untuk dua item pertama, nyesel sendiri lho ntar. Antriannya panjang, Sis. Ada tujuh milyar orang di muka bumi ini. Cover Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam Maka saya menjemput paksa jodoh tulisan saya pada...

Read More →

Defrag Pikiran dan Keinginan

Ada banyak peristiwa yang terjadi selama tahun 2020 ini, meskipun ada banyak juga yang kita harapkan seharusnya terjadi, tetapi belum kejadian. 2020 adalah tahun yang ajaib. Lulusan tahun ini sempat dibully sebagai lulusan pandemi. Yang keterima sekolah/kuliah di tempat yang diinginkan tidak segirang tahun sebelumnya, yang wisuda tahun ini apa...

Read More →

Didi Kempot, Sugeng Tindak Ma Lord

Hari ini status itu yang saya pasang di media sosial saya dengan foto Didi Kempot hitam putih dengan tulisan the Godfather of Broken Heart. Patahnya hati saya mungkin nggak sepatah teman-teman sadboys dan sadgirls lainnya. Saya tidak mengenal secara personal mas Didi, hanya pernah papasan di sebuah mal di Solo...

Read More →