Apa yang akan kamu lakukan jika mengetahui kapan akan berakhir kontrak bernafasnya di dunia?
Sejak kecil saya belajar bahwa ada tiga hal yang sudah ditentukan tetapi menjadi rahasia yang maha hidup. Jodoh, rejeki, maut. Dua yang pertama tidak akan dibahas di tulisan ini.
Beberapa hari menjelang keberangkatan saya untuk kunjungan kekeluargaan ke Belanda, Mike sudah mengabarkan kalau tantenya akan meninggal. Hanya saja tanggalnya belum tahu. Dua kalimat itu terdengar aneh ketika disatukan. Tantenya akan meninggal karena cancer, itu sangat mungkin. Bisa jadi dokternya bilang seperti di film-film, usianya tidak panjang lagi, atau sesuatu semacam itu. Lalu ditambah pernyataan hanya saja tanggalnya belum tau, pastilah dokter tidak ada yang selancang itu memastikan tanggal kematian.
Tapi itu semua hanyalah pikiran saya tentang kematian yang umum terjadi di Indonesia. Pada kasus tante Magda, dia melakukan euthanasia. Dia memutuskan sendiri untuk mengakhiri rasa sakitnya dengan suntikan yang konon kabarnya tidak menyakitkan. Secara hukum euthanasia di Belanda diijinkan. Tante Magda sendiri adalah seorang dokter yang sangat dikenal di kalangannya sebagai gender sensitive doctor, yang paham benar bagaimana orang dengan gender yang berbeda akan datang dengan cerita yang juga berbeda ketika menghadapi masalah yang sama, tante yang juga selalu membantu orang lain bahkan di hari-hari terakhir hidupnya.
Saya tidak kenal dengan si tante secara dekat, bahkan tidak pernah bertemu sama sekali sebelumnya. Saya bertemu suami dan anak-anaknya. Mereka masih berusia 20-an dan sangat tegar menghadapi kehilangan ibunya. Saya hanya membayangkan apa rasanya mengetahui bahwa beberapa saat lagi orang yang sangat kita cintai akan meninggalkann kita. Pada umumnya kematian adalah hal yang tidak kita antisipasi. Jadi sering kali mendengar cerita penyesalan belum sempat minta maaf, belum sempat membahagiakan, dan banyak penyesalan lain lagi, lalu yang tercinta sudah pergi.
Dalam kasus tante Magda, semua orang di sekelilingnya bilang kalau hari-hari terakhir dia menghabiskan waktunya dengan penuh kedamaian. Merancang sendiri lagu-lagu yang akan diputar di upacara pemakamannya meskipun diintervensi oleh anak-anak dan suami, memilih dikremasi, memilih siapa saja yang akan memberikan pidato perpisahan, memilih bunga yang menghias peti matinya, memilih orang yang diijinkan ikut sampai ke tempat kremasi bahkan mungkin sampai memilih makanan yang disediakan di upacaranya. Saya pikir ini romantis, sekaligus pedih pasti.
Tapi bukankah dari awal kita sudah diingatkan kalau semua yang ada di muka bumi ini adalah sementara ya? Termasuk nyawa kita. Jadi sudahlah, kalau memang harus bersiap untuk kehilangan nyawa mungkin lebih baik mengetahui dan ikut merencanakannya sendiri. Mungkin.
Selama mengikuti upacara pemakaman (saya tidak ikut ke tempat kremasi) semua orang yang memberikan pidato, memainkan piano, tidak ada yang menitikkann air mata. Mereka berbicara seolah-olah Magda duduk di sebelah mereka. Kalau di dalam film, mungkin memang dia duduk secara samar-samar transparan dan tersenyum melihat semua seperti yang diinginkannya. Ada isakan-isakan terdengar dari kursi tetamu ketika foto-fotonya diputar diiringi lagu-lagu Pearl Jam, Dua Lipa dan Nocturne 1, tapi bukan isakan mewek-mewek yang tidak rela ditinggalkan.
Saya belajar banyak hal dari upacara 90 menit itu tentang persahabatan, kasih sayang dan perencanaan. Seluruh keluarga dan teman-teman dekat berkumpul untuk mengucapkan selamat tinggal. Tidak ada drama keluarga yang berarti. Bukankah kita selalu ingin pergi seperti kita datang ke dunia ini? Polos, putih, murni dan disambut dengan senyuman.
Sekarang, bagaimana kita merencanakan hari yang pasti datang itu untuk kita?