Jodoh, rezeki dan maut ada di tangan Tuhan, katanya. Tapi kalau kita berharap Tuhan turun tangan untuk dua item pertama, nyesel sendiri lho ntar. Antriannya panjang, Sis. Ada tujuh milyar orang di muka bumi ini.
Maka saya menjemput paksa jodoh tulisan saya pada suatu hari di bulan Juli 2019. Waktu itu saya bahkan belum mengandung benih novel apapun. Tapi saya tahu bahwa sudah cukup waktu saya bertapa dan menunggu. Tahun 2020 paling lambat, saya sudah harus melahirkan satu anak lagi, itu niat saya.
Mbak Greti namanya. Dia adalah salah satu direktur Gramedia. Saya dapat kontak beliau dan senang sekali karena pertanyaan sejuta umat saya direspon dengan positif, yang mungkin juga dijawab dengan jawaban sejuta umat. “Tulis aja dulu mbak, lalu kirimkan naskahnya ke saya.” Kamu bisa nebak kan, kira-kira pertanyaan saya apa?
Seharusnya saya sudah tahu jawabannya akan seperti itu, tapi memang bukan itu tujuan saya. Saya butuh mbak Greti terpapar nama saya, sukur-sukur menyimpan kontak saya. Hahaha.. Lemah!
Residensi Penulis Indonesia 2019
2019 akhir saya mendapat kesempatan ke Sumba dibiayai uang pajak rakyat melalui Komite Buku Nasional dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dari mulai berangkat dengan proposal mau nulis tentang konflik agraria dan praktik migrasi di Sumba, pulang-pulang saya malah membawa Magi Diela yang jadi korban kawin tangkap dan menuliskannya dalam Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam.
Saya harus bercerita betapa beruntungnya saya mendapat kesempatan residensi ini. Novel terakhir saya terbit tahun 2015 lalu vakum lama banget karena di kepala selalu kebanyakan ide, ditambah setelah dapat ilmu dari Kelas Menulis Tempo Institute di kelasnya Leila Chudori, saya semakin merasa dodol dan nggak pede nulis.
Kalau dinalar pakai akal sehat panitia, harusnya secara administratif saya nggak lolos, karena udah kelamaan tidak berkarya. Sementara grantee residensi yang lain hampir semuanya aktif berkarya. Tapi ini yang namanya jodoh, ada tangan tidak tampak yang mengaturnya.
Maka berangkatlah saya ke Sumba, satu setengah bulan menimba ilmu sambil tanning di sana. Cerita dan banyak rekomendasi kisah lama saya dapatkan termasuk tentang migrasi sampai pasola, tapi tak satupun yang bersedia digali informasi tentang kawin tangkap. Mayoritas menjawab bahwa praktik itu sudah tidak ada, atau ada tapi tidak di sini. Ah, mungkin saya belum menemukan orang yang tepat saja ketika itu.
Tapi sepulang dari Sumba, hanya selang dua minggu saja, saya mendapat link berita tentang kawin tangkap. Bukan main marahnya saya. Bukan pada orang lain, tapi pada diri saya sendiri. Ini artinya selama di sana saya tidak cukup meyakinkan untuk menggali cerita yang sebetulnya masih ada.
Maka tekad saya setengah bulat, berbekal kontak dan kemampuan sok akrab saya yang mentok langit, saya menggali cerita dari kejauhan. Buku dan banyak link tulisan tentang kawin tangkap saya lahap cepat. Saya tahu jika menunda menuliskannya maka saya akan berakhir dengan tidak menelurkan apapun dari residensi ini.
Sebagai bani Bandung Bondowoso yang powered by deadline. Maka saya membuat deadline sendiri dengan men-submit sinopsis novel yang masih sangat mentah untuk launching di Ubud Writers and Readers Festival. Oh, luar biasa sekali bukan, padahal naskah belum jadi.
Saya mengirim naskah lengkap ke mbak Greti di bulan Juli, lalu menggempurnya untuk segera membaca naskah tersebut di bulan Agustus, karena tanggal launching sudah ditetapkan. Sekali lagi, jodoh saya yang lain, Ruth Priscilia yang membaca naskah Magi Diela dan langsung bersedia mendampingi membidani anak ke-9 saya ini.
Jadi di sinilah kita, dalam waktu dua bulan bolak-balik edit sana-sini, bikin cover, lay out, ini itu, sampai buku selesai dicetak dan orang bisa mulai PO di tanggal 1 November. Gilaaakkk!! Ini sprin, kata Ruth. Saya harus meminta maaf bertubi-tubi untuk hal ini. Tapi saat ini semua orang happy, semoga.
Magi Diela sudah ada di toko buku dan bersliweran di timeline Twitter sekarang ini. Belakangan saya paling bahagia membaca review di Goodreads #PerempuanBulanHitam karena satu hal yang saya niatkan dari awal tercapai. Saya ingin banyak pembaca muda terpapar tentang praktik budaya yang timpang, yang jahat terhadap perempuan, tapi terus dilestarikan. Saya ingin mengganggu pikiran pembaca dengan sebuah cerita. Memang tidak sepenuhnya nyata, karena mungkin yang nyata lebih pedih untuk dibeberkan di depan mata. Saya berharap ada semakin banyak mata yang awas, dan suatu saat dalam waktu tidak terlalu lama ketidakadilan gender bisa dihapuskan.
Demikianlah perjalanan sunyi Magi Diela dalam merebut hati Gramedia. Kalau kamu, siapa jodoh yang hendak kau kejar saat ini?