Ilusi bahwa saya adalah Supergirl, Harley Quin, Black Widow, Queen of Wakanda patah sudah. Tanggal 25 Juni menerima hasil antigen positif. Tidak disarankan PCR sama dokter karena dia melihat riwayat orang rumah yang pada positif, “Save your money, stay at home, have fun, order as many foods as you like, and please do nothing major,” gitu kurang lebih pesannya.
Saya pikir, it would be fun. Rupanya nggak juga. Dua hari pertama, ya iyalah nggak bisa ngapa-ngapain, orang demam. Mana waktu itu parnonya ampun-ampunan, karena di rumah adik saya ada baby. Pas mamaknya demam, si budhe ini lah yang ngurusin, jadi takut banget kalo nularin. Untung emaknya bilang, “Tenang aja, anak gue udah pasti positif, malah kayaknya kamu ketularan dari dia.” What a sister…
Ok, hari berganti, makin membaik. Yang paling bikin baik itu karena sadar bahwa banyak banget yang sayang sama keluarga saya dan saya. Dari mulai vitamin, jus buah, jamu kuat, jamu detox, wedang uwuh, sosis, lupis, kentang, cireng, obat dari Cina, eco enzyme, madu, daun katuk, tahu dan tempe, sampai yang paling nggak saya pikirkan tapi paling membahagiakan: bakso sony, man! Oh, oh, not to mention yang mengirim gopay dan transfer ke saya buat milih gofood sendiri ya. Juga yang tiap hari ngecek dan kirim doa. Tuhan pasti bingung membalas kebaikan kalian. You guys are angels.
Di hari-hari dimana tiap orang ngingetin buat nggak ngapa-ngapain, saya malah stres. Saya nggak bisa diem, that’s clear. Jadi disuruh diem di rumah itu equals dipenjara buat saya. Saya punya deadline kerjaan, dan pusing pala kalau belum diselesaikan. Tapi tiap lihat tulisan, malah muncul pertanyaan, emang gue nulis ini? Kenapa? Lho, ini apa? Kok dia ada di sini? Hah? Apa? Blank semua. Bagian ini, terima kasih banget buat Ega yang back up saya dan sabar banget nanya-nanya lewat WA. Saya masih bisa merespon WA dengan cepat karena rasanya aplikasi ini yang membuat saya nggak ter-shut down sama seluruh lingkaran kesibukan.
Tanggal 5 Juli kami serumah PCR akhirnya, hasilnya masih positif tapi CT-nya beragam. Ibu dan saya kebagian angka 35, adik saya masih 30. Saya happy dong, menurut teori itu adalah sembuh. Maka tanggal 8 saya minta diantar pulang ke rumah. Eh tapi tapi tapi.. drama yang lain terjadi. Kepala saya pusing dan napas jadi pendek-pendek. Repotnya, saya belum punya oksimeter.
Terima kasih tim RSJ yang bahu membahu membuat saya mendapatkan oksimeter dua sekaligus. Hahaha.. nanti kalau kalian baca ini dan ada yang darurat butuh oksimeter, kasih tahu ya.
Dan begitu menjepit jempol saya, terjawab sudah, memang lagi rendah kadar oksigen di darah saya, 91-93. Sekali lagi, kalau menurut teori ini harusnya udah dirawat, tapi tentu saja saya nggak mau dirawat lah. Saya pulang ke rumah demi ketemu anak dan bisa berdua-duaan sama dia kok. Berbagai cara dilakukan dari proning sampai uap-uapan. Kadang naik tapi nanti turun lagi. Paling deg-degan tanggal 10 dini hari, 87 man. Saya tadinya mau stress tapi saya memutuskan untuk mem-FU oksimeter saya lalu kembali tidur. “Awas ya kalau nanti pas matahari terbit nggak naik angkanya.”
Alhamdulillah naik. 93-95 lagi sekarang.
Jadi angka 94 awalnya saya pikir hanya representasi angkatan kuliah saya, angkatan saya lulus SMA, dimana setiap mendengar kata 94 dada saya sesek karena bangga. Nggak tahu bagian mana yang paling saya banggakan, tapi bangga aja berhasil melalui masa SMA, pretty much alive dan saya masih mengenangnya sebagai masa yang paling menyenangkan. Yow! Yang angkatan 94 mana suaranya? Tapi sekarang 94 punya makna baru lagi buat saya, dimana setiap saya jepit jempol saya, selalu sambil ada doa, “Please please please jangan berhenti di 94, naik naik naik naik.” 94 yang kali ini setiap kali muncul, rasa seseknya beda. Literally mnghimpit dada. Fiuh!
Untuk orang yang udah belajar mandiri sejak SMA, merasa tidak berdaya seperti sekarang ini jauh lebih melelahkan dibanding fakta bahwa ada virus di dalam tubuh saya. Mengakui bahwa saya takut setiap kali anak saya tidur, lalu dengan parno saya memberikan nomor PIN dan password benda-benda penting dalam hidup saya, termasuk akses ke asuransi pada orang yang saya percaya, menyampaikan wasiat untuk anak saya, yang seharusnya bisa saya sampaikan sendiri tapi cuma berhenti di ujung jari dan tidak pernah tega mengetikkannya.
Dalam hidup yang saya pikir semuanya ada di bawah kendali kita, sekali ini saya merasa sungguh-sungguh harus menyerah. Bukan, bukan menyerah sama virusnya ya, tapi menyerah bahwa ada kekuatan super di luar kita yang “udah deh lu pasrah aja, semua udah ada yang atur,” itu rasanya bikin dada sesak.
Jadi yang saya lakukan sekarang adalah, berdoa dan berusaha agar saturasi terus di atas 94, berkompromi sama alien apapun di dalam tubuh saya dan mengajaknya ketemu di satu titik tengah. Silahkan tinggal selama kamu mau dan suka di dalam tubuh saya, selama saya masih bisa menulis, pergi ke Sangihe, Morowali dan Pipikoro karena ada banyak kisah yang harus saya tuliskan dari sana, ke Slovenia, Rusia, Irlandia, Nepal dan bahkan Wakanda jika dia ada, menulis buku yang sampai dibikin film saking pentingnya itu cerita, melihat anak saya wisuda berkali-kali, well… tiga kali lah setidaknya. Sarjana Sejarah, lalu dua kali master terserah apa. Nggak usah S3 nggak papa nak, kamu butuh bersenang-senang juga dalam hidup.
Sesungguhnya saya nggak tahu apa yang saya tulis hari ini, kalau kata anak twitter, pokoknya spill aja, biar lega. So I did it.
Udah lah, yuk… sehat ya kita semua. Kasihan pengusaha perjalanan kalau kita nggak jalan-jalan. Eh, satu lagi. Terima kasih teman-teman di grup WA yang walaupun belakangan banyak ucapan duka cita dan prihatin karena ada lagi dan lagi yang positif, tapi selalu berusaha menceriakan dengan video dan meme lucu. You guys are rock! You deserve a stage in heaven.
Mantab sharingnya. Tetap semangat. Tuhan Memberkati selalu.
Amin. Terima kasih Ferry. GBU too.