Beberapa hari lalu saya mendapatkan kesempatan untuk mengisi acara diskusi literasi di Perpustakaan Provinsi Kalimantan Selatan. Sungguh sebuah kesempatan yang sangat berharga buat saya. Awal menerima undangan ini saya pikir kena prank. Masa’ iya sih ada Perpustakaan Provinsi bikin acara seperti ini, pikir saya. Tapi rupanya ibu Kepala Dinas ini memang sungguh luar biasa, ibu Nurliani Dardie atau lebih dikenal sebagai Bunda Nunung. Beliau lah yang menggawangi perpustakaan ini menjadi sekeren sekarang.
Saya bukan orang pertama yang diundang di acara serupa. Acara-acara diskusi untuk meningkatkan minat baca masyarakat Kalimantan Selatan sudah dilakukannya sejak lama. Para penulis nasional sudah banyak yang menyambangi perpustakaan provinsi yang bangunannya menyerupai rumah Suku Banjar atau Rumah Bubungan Tinggi. Dewi Lestari, Mommy ASF, Ria Enez, kang Abik dan masih banyak lagi.
Beberapa hari sebelum acara dimulai, sudah banyak media yang memberitakan tentang rencana acara tersebut, sehingga tidak heran pada hari H, baik media maupun peserta memenuhi ruangan, sesuai dengan kapasitas yang diizinkan. Saya sampai merinding melihatnya. Ada 50 peserta yang hadir secara langsung dan 150 orang yang hadir secara virtual. Meskipun Ibu Kepala Dinas sendiri sedang tidak sehat ketika itu, tetapi semangat timnya luar biasa sekali.
Acara yang dimoderatori oleh Randu Alamsyah ini berjalan seru menurut saya, karena dari peserta yang awalnya malu-malu bertanya, sampai kemudian pertanyaan mengalir begitu ramai baik dari peserta onsite maupun online, lalu bergeser meluas ke isu-isu yang lebih menantang untuk kita selesaikan bersama yaitu kekerasan terhadap perempuan. Diskusi yang awalnya menuduh bahwa HAM itu dibawa oleh dunia Barat, kemudian merembet membuka satu pintu informasi tentang bagaimana Nabi Muhammad itu mempraktikkan aktivitas yang tidak bias gender.
Pertanyaan yang seharusnya paling menohok kita semua datang dari seorang peserta di aula Perpus Palham, “Ibu, saya pernah membaca buku tentang Nabi Muhammad, yang intinya di zaman itu para laki-laki memperjuangkan hak perempuan. Tapi kenapa kita sekarang justru mundur jauh? Kemana para laki-laki ini?” Saya tentu saja tidak bisa menjawab. Para laki-laki yang lebih berhak menjawab pertanyaan ini.
Perjuangan terhadap ketidakadilan pada perempuan seharusnya memang perjuangan semua orang, apapun gendernya. Ketika seorang perempuan disakiti, katakanlah dia bukan kita, maka bisa jadi dia adalah ibu, adik perempuan, anak perempuan atau istri kita. Maka sudah seharusnya kita semua berdiri dan melawan, membantu menghentikan penindasan terhadap perempuan.
Ada banyak lagi pertanyaan lain tentang buku maupun tentang isu kawin tangkap secara luas. Saya tidak yakin semua orang mendapatkan jawaban yang diinginkan atau dibutuhkan. Tapi satu hal yang saya yakini dan saya harapkan adalah bahwa semua orang mendapatkan informasi baru, semua orang terganggu pikirannya karena kondisi dunia yang kita tempati ini masih terus menerus melanggengkan praktik ketidakadilan terhadap perempuan.
Malam harinya saya masih diajak pula bertemu dengan seniman dari Banjar Baru, bang Benyamine di Taman Minggu Raya. Sebuah kesempatan yang sangat tidak mungkin saya lewatkan. Meskipun harus pura-pura pemberani waktu ditembak baca puisi. Tapi sudahlah, anggap saja ini uji nyali dan saya lulus 🙂 horeeee…
Dalam perjalanan dua hari di Banjarmasin, saya hanya berpikir seandainya perpustakaan di 33 Provinsi lainnya di Indonesia juga melakukan hal yang sama, mendatangkan penulis-penulis untung merangsang minat baca dan tulis masayrakatnya, mungkin akan ada lebih banyak lagi calon penulis yang tergugah untuk segera mengabadikan buah pikirnya. Indonesia yang kaya ini akan lebih kita kenali melalui tulisan-tulisan masyarakatnya. Perpustakaan-perpustakaan akan ramai buku dan ramai pengunjung. Alangkah indahnya.
Semoga!
Keren kk