Musim panas di Laredo benar-benar mengingatkanku akan Indonesia. Bahkan mungkin Laredo jauh lebih panas dibandingkan negara tempatku dilahirkan. Biarpun begitu, berlibur di Laredo mengikuti kata hati, adalah sesuatu yang tidak akan kusesali.
Semua bermula ketika Dewa, seorang pria yang kupacari selama setahun terakhir membatalkan lamarannya. Sangat memalukan. Seorang perempuan yang sudah waktunya kawin, setelah bertahun-tahun menundanya, hanya untuk menemukan lelaki yang tepat, akhirnya justru ditolak. Menurut ibuku ini yang namanya karma.
“Makanya to Il, ibu kan sudah bilang sejak dulu, jangan suka mempermainkan laki-laki. Kalau sudah begini, bukan cuma kamu kan yang malu. Semua keluarga ikut tercoreng mukanya.” Memang ibu yang paling sakit hati dengan pembatalan lamaran yang dilakukan keluarga Dewa.
“Bu, mungkin memang ini garis yang sudah ditentukan Tuhan untuk anak kita. Sudah, ndak usah disesali.” Bapak memang jauh lebih legowo menerima peristiwa ini. “Mungkin Tuhan bukan membatalkan perkawinan Ilma. Bisa saja ada rencana lain Tuhan, yang akan mempertemukan Ilma dengan laki-laki yang lebih baik. Mungkin ini bukan pembatalan. Bisa saja ini cuma penundaan. Nggak ada salahnya to, menunda suatu hajat besar untuk mendapatkan kebaikan yang lebih besar lagi?”
“Masalahnya pak, aku yang malu harus membatalkan semuanya. Catering yang kupesan di Jeng Ning kan sudah diberi uang muka, kan nggak enak kalau diminta lagi, terus undangan juga kata percetakannya sudah siap naik cetak. Gedung sih nggak terlalu masalah, karena aku kenal baik sama pemiliknya. Tapi yang jelas, aku nggak ngerti muka ini mau dilarikan kemana. Malu pak, malu… punya anak perawan yang dikatai orang ndak laku, ditampik sama calonnya. Malu pak…”
Seingatku malam ini ibu dan bapak ngobrol agak lama. Lucu sekali. Aku saja yang seharusnya tertampar muka, tidak terlalu menyesalkan pembatalan lamaran Dewa. Walaupun tidak kalah malunya dibanding ibu. Tapi bapak benar, siapa tahu Tuhan menyiapkan seorang laki-laki lain yang akan membawa kebaikan padaku. Seperti laki-laki yang kulihat sekarang, sedang memancing di Casa Blanca Lake itu. Aku tidak yakin apakah dia orang Indonesia, Malaysia, atau malah Philipina? Kulitnya tidak terlalu putih untuk ukuran orang Philipina, tapi yang jelas dia dari Asia. Dan pria itu sedang putus asa karena sudah tiga kali dia mengembalikan ikannya ke air. Ada aturan memancing di danau ini, yang harus dipatuhi oleh pemancing. Yellow Catfish must be at least 18 inches. The minimum length for croppie is 10 inches and the bass minimum is 18 inches. Anything less must be thrown back.
“Unlucky day sir?” Harus ada yang memulai. Dan karena aku yang sedari tadi memandanginya sendiri, maka aku yang harus memulai.
“Oh yeah I think. Like fishin to?” Walaupun wajah Asianya tidak tertutupi, tapi aksennya menunjukan kalau dia sudah cukup lama tinggal di Amerika. Entah negara bagian yang mana.
“No, I swim.”
“Are you from Indonesia?”
“Yes I am? And you?”
“Malang.” Jawabnya sambil tersenyum, seolah-olah Malang bukan bagian dari Indonesia.
“Oke, jadi kenapa mesti bersusah-susah memakai bahasa asing ini ya?” Benar kan kataku, Tuhan Maha Baik. Karena laki-laki ini sepertinya jauh lebih baik ketimbang Dewa. Atau mungkin waktu pertama kali ketemu Dewa dulu, aku juga menganggap Dewa sebagai laki-laki terbaik juga? Ah… tak tahulah.
“Kamu sendiri dari mana?”
“Solo.”
“Guntur.” Nama yang tepat untuk mengambarkan postur tubuh dan suaranya yang lumayan menggetarkan.
“Ilma.”
“Nice to meet you. Sendiri di sini atau ada keluarga?”
“Aku cuma liburan aja. Dulu waktu SMA sempat mengikuti pertukaran pelajar di Lubbock dan orang tua angkatku sekarang tinggal di sini. Kamu?”
“Aku sebenernya kerja di Houston. Lagi liburan juga. Wanna come by?”
“If only I had enough time.”
“Kapan mau pulang?”
“Belum tahu juga sih.”
“Aku berani bertaruh kamu ke sini untuk melarikan diri dari sesuatu.”
“Memang kelihatan sekali ya, kalau uang hasil korupku tercecer di mana-mana?” Perempuan yang punya sense of humor lebih disukai laki-laki.
Dan Guntur memang tampak menyukaiku, atau memang begitu yang terjadi ketika dua orang yang sedang dalam perantauan bertemu? Kami jadi cepat akrab. Bahkan malam itu Guntur tidak jadi menginap di La Posada Hotel/Suites di San Agustin Plaza. Malam itu dia menemaniku dan Chito, anak tertua keluarga Belmares, keluarga yang dulu kutinggali ketika home stay, menginap di tenda sewaan kami. Huh, untunglah bukan cuma aku dan Chito saja yang harus tidur di tenda, karena dia sama penakutnya denganku.
Kami menyewa tenda seharga 12 dolar. Tidak mahal, untuk kebahagiaan yang sudah kubayangkan akan kudapatkan dengan Guntur. Malam itu, dengan perut kenyang setelah makan ikan bakar hasil pancingan keluarga Tricia Cortez yang memang berkemah di samping tenda kami, aku dan Guntur ngobrol lagi. Sekali lagi aku mensyukuri kebesaran Tuhan dan kepandaian-Nya menyelipkan kebahagiaan di belakang kepedihan, dengan batas yang hampir tidak tampak ataupun tersentuh perbedaannya.
Aku rasa kalau ibu melihatku sudah tertawa-tawa dengan pria lain selain Dewa, beliau akan sangat marah. Apalagi setelah apa yang dilakukan Dewa padaku. Tadi malam ibu SMS, beliau sekali lagi menanyakan kapan aku kembali.
“Sebenarnya mau apa sih kamu ke Laredo? Laredo itu kota apa?” Aku sendiri awalnya memang juga tidak tahu Laredo itu kota apa, selain informasi dari Chito bahwa kota itu adalah kota kelahiran ibunya yang terletak di perbatasan Texas dan Mexico. Untuk sampai ke Mexido kita tinggal menyeberangi jembatan di Rio Grande. Ibu terus mencecarku dengan banyak pertanyaan sementara aku mengemasi pakaianku dalam kopor eliminasi. Biarlah aku menyebutnya kopor eliminasi, karena bentuknya memang mirip dengan kopor yang dibawa oleh akademia AFI ketika mereka dieliminasi, dan lagi aku bisa merasakan penolakan Dewa seperti penolakan penggemar terhadap akademia AFI yang tidak mereka sukai.
“Sebenarnya ada masalah apa antara kamu dan Dewa?” Ibu selalu tidak percaya kalau aku bilang bahwa tidak ada masalah apa-apa. Hanya saja pada detik-detik terakhir Dewa menyadari bahwa kami bukanlah pasangan yang tepat. Aku juga menyadarinya, hanya saja aku tidak berani mengambil tindakan. Dan mungkin peristiwanya akan berbalikan seandainya aku berani mengungkapkan itu. Mungkin keluarga Dewa yang gantian kecewa dan tersinggung seandainya aku yang menolak lamaran mereka. Sayang aku tidak punya cukup keberanian untuk mengungkapkan perasaanku. “Kalau memang tidak ada masalah, kenapa tidak kembali saja? Atau mungkin kamu yang bikin salah sama Dewa ya?” lama ibu menunggu jawabanku, “Kalau memang tidak ada yang merasa salah, ya sudah, kamu saja yang mengalah. Perempuan itu memang tempatnya kalah-kalahan Ilma. Lagipula mengalah untuk kebaikan itu pahalanya berlipat ganda. Tapi kalau kamu lari ke luar negeri, malah ibu curiga memang kamu yang bikin salah.”
Apapun yang dikatakan ibu, tidak akan mempengaruhi niatanku untuk menenangkan diri ke Laredo. Uang yang tadinya kurencanakan untuk biaya pernikahan dan bulan madu, harus dibuang. Kalau tidak sialnya juga akan terus mengikutiku. Aku harus pergi ke Laredo untuk membuang sial. Mana lagi negara yang bisa kupilih? Sampai umur 28 tahun ini, aku baru dua kali pergi ke luar negeri. Yang pertama ke Lubbock, tempat aku stay selama 2 bulan karena pertukaran pelajar di sana. Yang kedua adalah ke Barcelona, karena mendapatkan beasiswa penulisan artikel yang diadakan oleh Huairou Commission. Di Barcelona aku hanya tinggal selama dua minggu. Tidak ada orang yang kukenal dekat di sana, walaupun jujur saja, Barcelona jauh lebih romantis untuk dijadikan tempat menenangkan diri.
Tapi mungkin di Barcelona akan lebih banyak uang yang kukeluarkan. Pertama karena tidak ada orang yang bisa kutumpangi gratis di Barcelona, kedua karena biaya hidup di sana pastilah lebih tinggi.
Semalaman keluarga Cortez hampir tidak tidur, mereka terus minum dan ngobrol. Sampai satu persatu bertumbangan. Aku jadi teringat warung-warung hik di pinggir jalan di Solo dan Klaten, tukang ojek, tukang becak, mahasiswa dan pengangguran yang sering mangkal di sana dengan nikmatnya menenggak bir. Ternyata di sini sama saja. Bir sudah menjadi tradisi rupanya. Laredo tidak jauh berbeda panasnya dengan Indonesia, tapi kenapa bir masih jadi minuman favorit. Hanya saja bedanya, di Indonesia mereka begadang dan minum bir sambil menepuk nyamuk, di Laredo, terutama di tepian Casa Blanca Lake ini tidak ada nyamuk. Mungkin jentik-jentiknya tidak sempat menetas karena keburu dimakan ikan yang sengaja dibiakkan di danau.
“Kamu lari dari apa?”
“Aku tidak lari dari apapun. Aku sengaja berlibur untuk menghabiskan uang yang tadinya akan kupakai untuk bulan madu.”
“Jadi dia menolakmu?”
“Dia akan menyesalinya.”
“Apakah kamu akan menerimanya kalau dia memohon maaf dan meminta kembali?”
“Setelah dia mempermalukan ibu dan ayahku?”
“Kamu yang lebih malu mestinya.”
“Setengahnya ya, tapi sisa kekuatanku yang lain masih sanggup mensyukurinya.”
“Kamu memang harus mensyukurinya, karena kalau kamu menikah, mungkin kita tidak akan bertemu. Laredo jelas bukan pilihan bulan madu yang tepat kan?”
“Kamu mau mencoba melakukan pendekatan ya?”
“If you don’t mind.”
“I’m open now.”
“Tapi jangan harap aku melamarmu ya.” I know he’s kidding me. Walaupun aku memang tidak sedang menunggu lamaran, setidaknya untuk waktu dua abad lagi.
“Then I’ll purpose you.”
“Ilma, percayalah, laki-laki itu memang akan sangat menyesal telah mendepakmu. Kamu sangat lucu dan cerdas, tahu.”
“Why don’t you tell him?”
“I will.”
Saat ini aku jadi benar-benar mengagumi Einstein karena teori relativitasnya bekerja padaku. Satu malam bersama Guntur serasa bagai melewatkan satu jam ngobrol dengan pacar SMA. Semua begitu cepat bagiku. Tahu-tahu aku sudah dibangunkan oleh percikan air danau yang dicipratkan Chito ke mukaku. Nakal juga dia, persis seperti yang selalu dilakukan ibu kalau aku malas shalat Subuh. Sementara Guntur masih tidur di sebelahku, lengkap dengan sleeping bag-nya.
Seminggu penuh kuhabiskan waktuku dengan Guntur. Bukan sebagai sepasang kekasih yang terlibat conta lokasi, kami hanya sahabat yang saling melengkapi, saling memenuhi kebutuhan. Tak kusangka secepat ini kesedihanku hilang. Dua malam Guntur menginap di rumah keluarga Belmares dan dua malam terakhir Guntur di Laredo, aku yang menginap di kamar hotel La Posada. We spent the longest night ever.
Seperti layaknya guntur di langit, Guntur yang ini memang tidak banyak bicara. Dia pendengar yang baik. Guntur bicara hanya pada saat-saat dimana dia merasa suaranya akan didengarkan. Dia tidak banyak menceritakan dirinya sendiri. Satu hal yang tersirat dari caranya memandangku adalah bahwa aku mengingatkannya pada bekas pacar atau mungkin bekas istrinya.
Sebelum pulang ke Houston, karena dia sudah mendapat panggilan untuk terbang lagi, Guntur menawariku untuk mampir ke Houston kalau waktu liburku masih panjang. Tapi mengingat tipisnya batas antara kebahagiaan dan kepedihan, aku memilih tetap di Laredo saja dan segera memesan tiket untuk pulang ke Indonesia. Aku tidak mau luka yang hampir kering ini tergores lagi. Lagipula Guntur akan segera terbang. Dia bilang, “Apa jadinya dunia kalau aku tidak segera terbang. Guntur tempatnya di langit.” Ya, dia benar, dan ini mengingatkanku akan tempatku. Tempatku di Indonesia, jadi aku harus pulang. Menghindari Indonesia bukanlah pilihan bagus, walaupun cukup menyenangkan untuk sementara waktu.
Setelah hampir dua minggu berlibur musim panas di Laredo, udara di Jakarta yang agak lembab ini cukup menyejukkan. Sekarang aku yakin bisa menghadapi semuanya. Aku akan menjawab semua pertanyaan tentang rencana pernikahanku dengan Dewa, semua permintaan oleh-oleh dari Laredo, dan aku akan memenuhi semua death line pekerjaan seperti biasanya. Nothing change kecuali bayangan Guntur yang sekarang menggantikan gambar Dewa berputar-putar di kepalaku.
Sebulan di Indonesia, aku baru mendapatkan email dari Guntur,
Dear Ilma,
I’m so damn blessed meeting you last month. Nggak rugi aku minta cuti selama seminggu di Laredo. Kota yang bahkan seharusnya sangat kubenci karena disanalah aku bertemu Tina pertama kali. She’s Canadian. Maaf aku tidak banyak bercerita tentang Tina. She was my fiance when I met you, but after I heard your story I decided to take Tina to the church and marry her. Aku nggak mau jadi orang yang salah mengambil keputusan. Who knows Tina adalah orang yang menyenangkan seperti kamu. Aku takut terlambat menyadarinya atau bahkan tidak mengetahuinya sama sekali.
You may forward this mail to Dewa if you want to. Siapa tahu dia juga akan kembali padamu. ??? Email ini juga aku anggap sebagai undangan ke pesta perkawinanku. Would you come and pray for my happines? Kalau enggak juga aku maafkan kok.
Salam,
Guntur.
PS: Tina send her kisses to you, she said thanks for become such an angel for her.
1st of August 2004
hehe wes tauuu hahahahahaahhaaha
Hey there. This is my first comment on ur blog. Nice posts lady. So blessed to have another young writer like you, here in this writerless country *LOL*. Great! Can’t wait to read ur next real published book. About this short story.. I bet the story tells about you, rite? 🙂
wah.. panjang sekali
kok terasa cerpan ya..bukan cerpen, hehehe 😀
damn!!akhirnya kok gitu mbak,aarrgh..saya paling sebel sad ending..huhuhu..tapi above all, cerpenya keren..
cerpen itu seharusnya pendek, tapi panjang juga boleh kok yang penting asyik !!!!
iya nih…
ternyata cerpen yang ini panjang juga yak!!
ini, contoh sastra lama ???
Engaging info. will come back again soon/