Ketika masih sekolah ~ terutama SMA ~ saya ingat sering kali merasa malas untuk belajar di dalam kelas. Tidak sering membolos juga sih, tapi beberapa kali memilih untuk belajar di luar kelas :). Saya juga lebih sering merasa bahwa pelajaran di kelas sangat membosankan. Dan untuk yang satu ini, saya sering membela diri dengan mengatakan bahwa proses belajar kan tidak harus di dalam kelas.
Saya baru saja melakukan perjalanan yang dulu pernah menjadi momen-momen paling mendebarkan dalam hidup saya. Saya pernah menjadi orang yang sangat menyukai mendaki gunung. Walaupun kalau dibandingkan dengan teman-teman saya yang lain di Jagabhumi, saya tidak ada apa-apanya, tapi saya termasuk sangat tergila-gila pada perjalanan yang buat 95% anggota keluarga saya, adalah perjalanan bodoh. Capek-capek, ngapain? Tidur di rumah enak! Tapi saya tetap melakukannya. Dan sekarang, setelah setua ini, dan setelah lebih dari 15 tahun tidak melakukan pendakian, di pendakian Gunung Gede weekend lalu, saya jadi diingatkan akan sesuatu yang pernah saya lewatkan dan mungkin saya lupa memberinya garis bawah selama ini.
Perjalanan adalah sebuah pelajaran.
Di perjalanan ke Gunung Gede kemarin, saya bertemu banyak guru. Alam adalah guru nomer satu saya. Saya mendapatkan pelajaran tentang kesombongan. Kita bukan siapa-siapa di alam yang terbentang begitu luas. Kita benar-benar hanya sebutir noktah, yang bisa membeku jika kedinginan, atau meleleh kepanasan. Hanya ketika bersama, kita menjadi bermakna.
Pelajaran jam kedua dari alam adalah tentang kayanya negeri ini. Saya yang sedang tergila-gila pada jamur setelah membaca Partikelnya Dee, mendapat kesempatan berkenalan dengan dua buah jamur yang warnanya sangat cantik. Merah menyala seperti gambar di bawah ini dan yang berwarna orange, yang sayangnya gagal saya abadikan. Mas Idot juga berkali-kali mencoba berkenalan dengan lumut yang tumbuh di pepohonan, yang ternyata memang tidak sama satu dengan yang lain. Saya sedang membayang-bayangkan, akankah anak-anak saya nanti masih melihat kekayaan itu?
Guru kedua saya adalah rombongan adik-adik yang usianya setengah usia saya, atau bahkan ada yang seperempat umur saya. Semangat mereka membuat saya jadi sadar diri, tapi sekaligus juga diingatkan bahwa harusnya semangat tidak boleh dimakan usia. Mendengar dentuman sepatu mereka ke tanah yang menancap begitu pasti, saya jadi diingatkan untuk memiliki dentuman yang sama. Mungkin tidak di kaki saya ketika menginjak tanah di gunung, tapi di hati saya dalam setiap kebaikan yang akan saya lakukan.
Pelajaran berikutnya adalah dari para sahabat dalam perjalanan. Pak Dede yang berusia 52 tahun, seorang porter yang hari itu membawa 6 botol besar minuman kemasan seberat lebih dari 50 kg, sambil berpanjang sabar meladeni kita yang berjalan lambat. Darinya saya mendapat pelajaran kesabaran. Ketika kaki saya kesleo dan dia tetap menemani sambil berdongeng tentang apapun yang ada di hadapan kita agar saya melupakan rasa sakitnya, what a hero you are, pak Dede. Semoga saya sesabar itu ketika menghadapi orang-orang yang berjalan bersama saya ya.
Pelajaran lain saya dapatkan dari sahabat-sahabat saya di jalan. Mas Budi dan mas Idot. Kami bisa dikatakan orang-orang yang baru kenal. Dengan mas Budi, literary. Dengan mas Idot, karena sudah belasan tahun tidak bertemu. People change. But best friend stays forever. Saya agak ngeper awalnya ketika tahu bahwa teman perjalanan saya adalah mereka. Dua orang senior yang saya tidak kenal betul. Saya kan manja, saya kan mudah lelah, saya kan baru naik gunung lagi setelah belasan tahun jadi kepompong. Tapi bersama mereka, semua ketidakpercayaan diri saya luntur. Terima kasih karena sudah menjadi teman melakukan perjalanan yang menguatkan. Untuk mas Idot, terima kasih untuk cerita mengenai Jagabhumi yang mungkin tidak akan saya dengar dari orang lain. Bersepeda Salatiga-Bali tanpa bukti otentik? Terdengar bodoh, tapi tidak. Kalau dilakukan asal-asalan, memang bodoh. Tapi kalau dipersiapkan dan dengan sebuah tujuan, saya pikir itu adalah pencapaian.
Saya bangga menjadi bagian dari Pamitran Lelana Giri Jagabhumi. Dan menjadi semakin bangga setelah mendapat pelajaran privat sepanjang gunung Gede minggu lalu.
Saya adalah murid yang sedang belajar. Mereka adalah guru saya. Guru yang membuat saya nyaman untuk belajar. Guru yang tidak selalu mendukung muridnya untuk mendapat nilai bagus biarpun dengan cara mencontek. Guru yang berani mengatakan kecewa pada saya. Guru yang membuat saya menangis begitu sampai di rumah, karena saya takut kalau dia melihat saya menangis, maka air mata saya akan membuatnya kecewa. Guru yang membuat saya sadar, betapa congkaknya saya belakangan ini 🙁
I’m a lucky person. I thank God for that. Terima kasih untuk guru-guru yang mengingatkan saya akan hal itu. Saya tidak bisa mundur untuk mengikuti remidi ujian sebelumnya. Tapi saya masih punya waktu di depan. Saya akan mempersiapkan diri untuk pelajaran dan ujian selanjutnya. Bukan agar guru saya senang, tapi agar saya menjadi murid yang utuh, menjadi guru selanjutnya untuk anak-anak saya.
Jadi, pelajaran selanjutnya kemana ya… 🙂
kalimat terakhir membuatku mengambil kesimpulan bahwa kau BERNIAT kawin lagi
Buk, kene, tak peluk tak uyel-uyel kene. Sungguh aku merindumu seperti padang pasir rindukan hujan.
buuuu hahahahahaha…kawin lagi yuuukkk… hah aku terharu membaca dirimu belakangan ini..guru dan murid..aku pikir ak jg sedang mengalaminya, pelajaran baru..ada guru baru… awalnya tidak nyaman..sangat tidak nyaman..tapi still thank God for that, ayo kita lulusssss….semangat!!!
Jeng, alangkah rindunya bisa ngobrol sampek isuk dgnmu. Membicarakan para pejantan idola kita yg nggegirisi. Doaku semoga kamu hepi jeung. Semoga ada teman perjalanan yg membuatmu semakin bersinar.
Mari lulus dg cemerlang…
pelajaran yang saya dapat dari mbak Dian Purnomo adalah betapa sudah ‘penuh’ seseorang … ternyata masih merasa perlu belajar … thanks untuk inspirasi semangat ‘belajar’nya mbak 😀
wah jadi kangen masa2 mendaki gunung jaman sma dulu mb…memang banyak banget pelajaran yang bisa diambil dengan belajar dari alam
Mbak Indah.. aku sangat merindukan kita saling mengisi cerita di sepanjang perjalanan.
Intan, ayo ayo.. mendaki lagii… 🙂
Setiap hal yg trjadi pda hdup kita, setiap inci tempat yg kita pijak…selalu ada pelajaran yg bisa didapat ya mbak dian 🙂 salam kenal dari Dunia Kecil 🙂
hi…
Thanks for the story and notes…
wuk… Whether Life is beatiful or not… depend on the sight…
When we are able to frame all bad thinkings into positives thought..
You are now passed your life examination anytime…
Which one do you choose?
Succesful or happiness?
There will be no meaningful et all, you were happy but you don’t find
your happiness… So please find your happines now…
Like your story…. I am really happy that you can find it in
Gede – Pangrango. I am so jealous (in positive thinking I meant)
cause I want to be like you… He.. He..
So, please find other happinesses asap that you can share with
all friends.. Especially for me…
Congratulation…
Thanks for the shared story… I am waiting another story
from you….
Again yo Wuk… Enjoy your life!
With kind regards,
Hohok
SAlam kembali mbak Indira..
Mas Hohooookkk..
My suhu! Matur nuwun sanget untuk semua ilmu yang dulu dibagikan, untuk semangat yang sekarang ditularkan dan dukungan yang tidak pernah berhenti *terharu dewe
Again,
Thank you mas..