Bekerja Tidak Sesuai Ijin
EN sudah dua tahun ini bekerja di sebuah rumah makan Srilanka di down town Amman, Yordania. Padahal ketika berangkat ke salah satu Negara Timur Tengah tersebut, ijin yang dikantonginya adalah ijin kerja sebagai Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT). EN memang meniatkan diri untuk hal tersebut. Tahun pertamanya dilewati dengan berat di rumah majikan, dengan pekerjaan yang membuatnya tidur paling banyak 5 jam sehari, harus mencuri-curi waktu untuk makan atau sholat atau kepentingan pribadi lainnya. EN tidak tahan lagi. Majikannya tidak bisa diajak bernegosiasi. Untuk mereka, EN sudah dibeli, maka dia menjadi hak milik. Dia harus mengerjakan apapun yang diperintahkan majikan, termasuk memetik kurma di musim dingin, mengecat dinding rumah dan membetulkan genting. Pekerjaan yang tidak pernah dibayangkan akan dikerjakanya sebagai PLRT di Yordania, karena memang di dalam kontrak dia dipekerjakan untuk mengerjakan pekerjaan rumah seperti memasak, membersihkan rumah, mencuci dan menyetrika.
Setelah lari dari majikannya, EN bertahan hidup dengan bekerja di rumah makan. Tentu saja pekerjaan ini adalah pekerjaan yang tidak memakai kontrak dan dia digaji minimal untuk pekerjaan yang cukup berat. EN harus mengerjakan semua pekerjaan, dari mulai membersihkan restaurant, memasak, menyajikan makanan, sampai mencuci piring. Satu-satunya pekerjaan yang tidak dikerjakannya adalah menerima pembayaran dari pelanggan. Pemilik restaurant yang biasa dipanggil dokter oleh orang-orang di lingkungan merekalah yang berperan sebagai kasir. Laki-laki bertubuh besar ini duduk sepanjang hari menerima uang mengalir ke kantongnya. EN hanya mendapatkan satu hari libur dalam seminggu, bergantian dengan rekan kerjanya, yang juga berasal dari Indonesia dan bernasib sama dengan EN.
EN dan temannya setiap hari harus melayani ratusan tamu restaurant tersebut dari jam 8 pagi sampai 9 malam. Rata-rata pengunjungnya adalah para pekerja migran yang datang dari berbagai Negara seperti Srilanka, Bangladesh, India, Etiopia, Nepal, termasuk Indonesia. Kebanyakan tamu dari Bangladesh dan Srilanka adalah pekerja migran laki-laki, sementara hampir semua tamu perempuan adalah pekerja migran yang berasal dari Indonesia, Filipina, Srilanka dan Bangladesh.
Asap rokok hampir selalu memenuhi rumah makan yang menyajikan makanan khas Srilanka, menjual obat-obat herbal dan makanan khas dari Negara-negara asal pekerja migran tersebut. Menurut rumor, rumah makan ini juga menjadi tempat terjadinya transaksi seksual antar pengunjung. Banyak pekerja migran Indonesia yang ditemui disana mengiyakan hal tersebut.
“Kalau nggak begini, mana bisa makan mbak? Kerja part time, sehari cuma dapat 25 dinar, itu juga mesti dibagi sama agen. Paling banter dapat 15 dinar, bersihnya. Mau makan pakai apa? Buat kontrakan aja 200 dinar sendiri sebulan. Yang di rumah mana tahu beginian? Tetep aja minta kiriman.” Begitu menurut DS yang sudah satu tahun ini menjadi pengunjung tetap rumah makan tersebut.
Eskploitasi Seksual
Lain EN, lain pula SR. Ketika kami bertemu, sudah tahun ketiganya berada di Yordania. Tahun pertama dia mendapat majikan baik, yang meninggal dunia di tengah kontrak. Layaknya barang, SR diwariskan pada ahli waris sang majikan dan mendapatkan perlakuan semena-mena dari majikan baru tersebut. SR menjadi obyek eksploitasi seksual majikan laki-laki. Tapi SR tidak memiliki pilihan lain. Dia hanya memikirkan uang untuk dibawa pulang. Tapi apa daya, kontrak habis, uang yang dijanjikanpun tak pernah berwujud. SR kabur dari rumah majikan tanpa paspor dan dokumen apapun yang bisa membuktikan identitasnya. Setelah lari ke KBRI dan tidak mendapat bantuan berarti, SR lelah menunggu. Ironis, pelarian keduanya adalah justru lari dari pihak yang seharusnya menjadi tempat berlindung, KBRI.
SR berusaha menyelesaikan masalahnya sendiri. Dia kembali ke majikan dan memaksanya mengembalikan dokumen yang ditahan. Majikan bermulut manis itu merayunya bahwa dia akan memberikan dokumen dan uang untuk membeli tiket hanya kalau dia mau menuruti keinginannya. Dia juga mengancam, kalau SR tidak mau dan kabur lagi, maka majikan itu akan melaporkan SR untuk kasus pencurian. SR bergidik membayangkan penjara. Sekali lagi dia tidak punya pilihan. Tetapi SR kembali harus menemui harapan kosong. Dokumennya tidak pernah dikembalikan.
Menurut laporan hasil kunjungan Satgas TKI, saat ini di Aman Yordania ada lebih dari 300 orang TKI bermasalah yang tinggal di penampungan. Masalah mereka beragam antara menjadi korban kekerasan baik fisik maupun seksual, pekerjaan tidak sesuai kontrak dan tidak digaji. Sementara total TKI yang masih bekerja di sana setelah masa moratorium mencapai sedikitnya 30,000 orang. Sementara itu belum pernah dilakukan survey jumlah TKI yang tinggal di luar rumah majikan maupun di luar penampungan KBRI seperti SR dan EN ini.
Sekarang SR tinggal bersama temannya di sebuah kontrakan yang lembab dan dingin di daerah kumuh di Amman. Dia bekerja part time membersihkan rumah dari jam 8 sampai 4 sore. Upahnya tidak seberapa. Ketika ditanya kenapa tidak ke KBRI untuk meminta bantuan mereka, jawabnya, “Di safara (KBRI) mah sama saja. Kalau nggak punya uang nggak bakalan dipulangkan. Satu tahun bisa lebih di sana. Saya mau ngirim uang anak saya pake apa, kalau nganggur di safara?”
Tanpa maksud menyalahkan siapapun, tetapi ada mekanisme yang salah dalam memberikan perlindungan terhadap TKI di luar negeri. KBRI yang seharusnya menjadi perwakilan Negara ini di luar negeri yang memberikan rasa aman pada warga Negara Indonesia, di beberapa Negara penerima TKI terutama sektor non formal, justru menjadi tempat yang ditakuti. Saya tidak tahu bagaimana di Negara lain seperti Arab Saudi, Malaysia, Hongkong atau Singapura. Tapi di Yordania, hal tersebut terasa sekali.
“Mendingan saya ditangkap sama polisi terus dipenjara teh. Ketahuan kalau sama mereka mah. Abis dipenjara dua tiga bulan, terus dipulangin.” Demikian jawaban SR ketika ditanya, kenapa dia tidak mencari bantuan ke KBRI.
Para TKI yang lari dari rumah majikan di Yordania rata-rata mengalami masalah yang sama. Mereka tidak memiliki dokumen, enggan mencari bantuan ke KBRI dan mencoba bertahan hidup dengan cara-cara yang mereka pahami paling mungkin dilakukan. Mereka membahayakan diri dan semakin jauh dari perlindungan yang merupakan hak dasar mereka.
Kekerasan Fisik
Dari LSM bernama Tamkeen di Yordania kami mendapatkan informasi mengenai salah satu kasus yang mereka tangani, tentang seorang TKI yang menjadi korban kekerasan oleh majikan dan keluarganya. Kulit kepalanya sampai mengelupas karena rambutnya ditarik, belum lagi luka-luka di seluruh tubuh yang merupakan akumulasi kekerasan fisik yang dilakukan oleh keluarga majikan.
Apapun penyebab majikan melakukan hal tersebut tidak bisa diterima. Frustasi karena TKI tidak bisa berbahasa Arab, tidak mampu mengerjakan pekerjaan sesuai dengan harapan atau alasan lain, tidak bisa menjadi pembenar perlakuan buruk yang mereka lakukan terhadap TKI.
Tamkeen memperjuangkan keadilan untuk korban. Saat ini majikan laki-laki berada di penjara, sementara majikan perempuan dibebaskan dengan jaminan karena alasan bahwa dia harus bertanggung jawab terhadap anak-anak di bawah umur. Sementara TKI yang menjadi korban masih tinggal di penampungan, karena setelah masa pengobatan dia masih belum diijinkan pulang sebelum kasus majikan tersebut dijatuhkan vonisnya.
Over-stay
Masalah umum yang ditemui pada rata-rata TKI yang melarikan diri dari majikan dan tinggal di luar KBRI adalah over-stay visa. Mereka sudah tinggal melebihi batas waktu yang tertera pada visa. Untuk satu hari tinggal di Yordania melebihi visa yang berlaku, setiap orang harus membayar denda over-stay sebesar 1,5 dinar atau kurang lebih Rp 20,000.-. Ini artinya para TKI yang tinggal dan bekerja di luar kontrak mereka, memiliki beban hutang sebesar itu dikalikan lamanya mereka tinggal di Yordania. Saya pernah bertemu dengan seorang perempuan Indonesia yang sudah tinggal selama 10 tahun di Yordania, sebut saja namanya LI. Dia mengatakan kalau harapannya untuk pulang sudah tidak ada lagi. Dia tidak punya uang sebanyak itu untuk membayar denda over-staynya. Sementara untuk menyerahkan diri pada polisi agar ditangkap dan dideportasi dia juga tidak mau. Bayangan gelap dan eksploitasi di dalam penjara menjadi penghalangnya. LI bukan satu-satunya orang yang merasakan hal tersebut. Ada puluhan bahkan mungkin ratusan yang sudah mulai menyerah dan tidak berani lagi berharap bertemu dengan keluarga mereka di Indonesia.
Keterbatasan Informasi
Salah satu hal yang membuat TKI berada di posisi lemah diantaranya adalah keterbatasan pengetahuan dan persiapan sebelum keberangkatan. Menurut wawancara dengan TKI yang saya temui, juga beberapa literatur yang saya baca, rata-rata TKI mendapatkan informasi tentang pekerjaan dan kondisi kerja di luar negeri dari sponsor/calo saja. Kalau ada cerita dari mereka yang sudah berpengalaman bekerja di luar negeri, biasanya informasi tersebut tidak selalu berlaku sama dan sedikit sekali informasi penting yang mereka dapatkan. Sementara dari calo, mereka hanya diiming-imingi hal-hal baik saja seperti naik haji, gaji besar, majikan kaya, bahkan majikan yang keturunan nabi. Informasi tersebut tidak semuanya benar.
Untuk TKI yang sudah mendapat pelatihan bahasa dan keterampilan dengan baik saja, masih tidak ada jaminan bahwa di sana dia akan mendapatkan majikan yang bisa menghormati hak-haknya, mempekerjakan sesuai dengan kontrak, membayar sesuai perjanjian, tidak melakukan kekerasan fisik dan seksual. Apalagi jika TKI berangkat tanpa bekal pelatihan apapun. Secara otomatis agen yang mengirimkan dan Negara sudah abai terhadap keselamatan kerja mereka.
Pintu informasi untuk calon TKI dan keluarga mereka harus dibuka selebar-lebarnya. Adalah tanggung jawab negara untuk menyediakan informasi yang benar dan mudah diakses. Handphone, radio dan televisi yang sudah dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat pedesaan dapat digunakan secara maksimal untuk memberikan informasi yang benar. Saat ini hamper semua jenis handphone juga sudah dapat mengakses internet. Perlu diberikan juga pelatihan menggunakan alat-alat komunikasi yang mereka miliki secara maksimal agar lebih banyak informasi yang bisa didapatkan oleh calon TKI dan keluarga juga lingkungan mereka. Apalagi dengan maraknya penggunaan media sosial sekarang. Para calon TKI bisa berkomunikasi dengan orang-orang yang bisa memberikan informasi pada mereka tanpa harus pergi dari rumah.
Jalur-jalur komunikasi informal seperti pertemuan rutin desa, posyandu, arisan dan sebagainya juga bisa menjadi ajang pertukaran informasi untuk para calon TKI dan keluarga maupun masyarakan di tempat TKI tersebut berasal, agar kejadian-kejadian seperti yang dialami oleh EN, SR dan ribuan TKI lain tidak perlu lagi terjadi.