Saya mengaku dosa dulu sebelum menulis ini ya.
Sudah lama sekali saya nggak nonton film buatan Indonesia. Saya merasa berdosa, sombong, angkuh, sok Hollywood, name it lah! Saya minta maaf. Setelah ini saya janji akan lebih banyak berinvestasi di XXI dengan nonton film buatan anak negeri. Amin.
Baiklah, saya ceritakan sejarahnya dulu ya, kenapa saya berakhir di Blok M Square menonton Banda. Adalah kami tiga orang peserta Kelas Menulis Fiksi Tempo Institute yang impulsif. Setelah makan enak di Wong Fu Kie, dari rencana langsung pulang, ngerjain PR, rapat di sana sini, tidak satupun kejadian. Kami malah berakhir dengan duduk ngadem di bioskop menonton Banda. Fine.
Salah satu dari kami – Maria – menonton Banda untuk kedua kalinya. Warning dari dia adalah, ini kayak didongengin wikipedia sama Reza Rahardian aja gituh. Saya tidak mencoba menganalisa apakah tone yang diucapkannya bernada nyinyir atau komplimen.
Di menit pertama film diputar saya merasa ada yang kurang tepat. Sound effect! Kenapa sih, sound effect yang seharusnya mendukung film malah jadi gengges. Trinity menengok ke arah saya dan mengucapkan satu kata tajam, “Lebay!” Haha..
Banda menyuguhkan beberapa hal yang menurut saya seharusnya nggak perlu semua ditampilkan. Saya tadinya berharap mendapatkan satu hal saja dari Banda yang sudutnya tajam, bukan sepetil cerita di sana-sini yang malah ujung-ujungnya semacam berlompatan dan membuat kami bertanya-tanya, apa sih pesan utama film ini? Benar kata Maria tadi, ini semacam didongengin Wikipedia sama Reza.
Bayangkan, di dalam bioskop sementara pertanyaan saya tentang sejarah perjalanan pala belum terjawab, film ini langsung skip 200 tahun dan lari ke masa bung Hatta, Syahrir dan kawan-kawannya diasingkan di sana. Ok baiklah. I need that information. Tapi lalu ketika lompat lagi ke tahun 1999 saya mulai merasa tersesat. Kerusuhan di Banda memang sesuatu yang mengukir sejarah di sana. Tapi saya rasa kita butuh ruang sendiri untuk ini, dan ini bisa jadi satu film berbeda yang sangat informatif. Dan puncaknya adalah, ketika out of the blue muncul salah satu protagonis kekinian memakai pakaian daerah yang kainnya bukan dari Banda dan sudut pengambilan gambarnya nggak selaras dengan yang lain. Ouch!
Pertama, hari gini anak muda sudah nggak gitu-gitu amat pakai kain di mana-mana. Lalu dia bercerita tentang pekerjaannya di hotel, yang mana secara visual saya tidak mendapatkan pendukung untuk ceritanya. Mungkin ini upaya variasi visual. Mungkin.
Sudah lah ya, selebihnya Anda tonton sendiri aja. Tapi film ini layak ditonton kok, supaya ada niatan pergi ke Banda. Trinity beruntung karena pernah tinggal di sana sebulan, sekaligus tidak beruntung karena merasa bahwa semua yang didengarnya sudah pernah dia dapat dari berbagai sumber.
Saya dan Maria beruntung, juga sebagian besar kawan-kawan saya, karena setelah menonton film itu, kami jadi ingin pergi ke Banda. Saya merasa perlu memiliki versi personal akan Banda yang tidak saya dapatkan di dalam film ini. Sebagai orang yang baperan, film ini kurang berhasil membaperkan saya.
Tapi, setiap orang pasti punya opini dan versinya masing-masing ya. Mumpung masih main di beberapa bioskop, coba segera ditonton! Nanti kasih tahu pendapatmu ya.