Hari itu suasana GOR lain dari biasanya. Ibu-ibu baik hati yang memakai seragam biru berkumpul semua setelah beberapa diantaranya menjemput teman-temanku. Temanku juga datang semua bersama ibu-ibu mereka. Tapi aku tidak melihat si Bapak. Kami menyebutnya bapak karena dia seperti bapak untuk kita semua. Sebetulnya dia itu sama seperti ibu-ibu baik hati lainnya, hanya saja karena dia satu-satunya laki-laki, maka dia jarang memakai seragam. Rumahnya di pertigaan dekat pasar, orang-orang memanggil dia Pak Lalan.
Beberapa waktu sekali – aku tidak bisa mengingat dengan pasti – kami diajak berkumpul di GOR, ada seorang bapak baik yang memegang tangan, kaki, punggung atau pipi kami bergantian. Aku suka kalau dia sedang memegangku. Tangannya tidak pernah ragu. “Ayo Kasep[1], naik tangannya. Bageur, santai ya Bageur[2].” Diangkatnya tanganku digerakkan ke kiri ke kanan. Dia mengatakan santai untuk menyuruh bagian badanku yang lain agar tidak ikut bergerak. Tapi sulit buatku menahannya. Aku juga tidak ingin tangan kiri, kaki, tangan kanan dan leherku bergerak ketika tangan kananku diangkat. Tapi mereka semua sepertinya kompak untuk selalu bergerak bersama.
Bapak datang ketika Ayu sedang diajar membedakan gambar dan warna. Dia bersama banyak orang lain. Mereka semua belum pernah kulihat selama ini. Banyak sekali, tapi semuanya tersenyum dan langsung berbaur bersama kami. Ayah meminta semua orang menyebutkan nama dan asalnya. Aku tidak mengingat satu-satu nama mereka. Tapi aku tahu dari ibu kalau dua diantaranya akan jadi kakakku. Aku ingin tahu yang mana. Semoga mereka tidak menghinaku seperti orang-orang lain yang pernah jahat sama aku.
Setelah semua orang berkenalan, Yuda temanku yang selalu tersenyum bernyanyi di depan. Lalu Indri. Indri mungkin seusiaku. Dia tidak pernah keluar rumah. Bahkan aku tidak tahu kalau dia ada. Bapak dan ibu-ibu cantik lainnya yang akhirnya berhasil mengajaknya keluar dari rumah. Dulu orangtuanya malu kalau Indri keluar rumah. Aku beruntung ibuku tidak mengunciku di dalam rumah. Walaupun aku tidak pergi ke sekolah karena ibu takut aku dihina dan ditertawakan, tapi aku dibolehkan bermain bola dan panggal[3] dengan tetangga-tetangga sekitar rumah.
Sore itu dua orang kakak mulai tinggal di rumah. Aku senang. Mereka baik. Walaupun yang kakak Perempuan rambutnya aneh berwarna merah, tapi tertawanya lucu. Aku suka. Namanya Opi. Untuk mengingat namanya, kuingat topi. Dia meminjamkanku kameranya. Bukan kamera yang di dalam telpon, tapi kamera yang berat dan bisa kuintip gambarnya dari lubang berkaca.
Kakak laki-lakiku orangnya rapi, seperti bintang film Korea yang ada di TV yang suka ditonton ibu. Namanya Zaka. Kaka, bro, begitu mengingatnya. Itulah dia buatku. Dia menemaniku mengaji. Waktu pertama ke mushola, sempat kutanyakan padanya apakah dia merasa malu. Karena kalau ada di tempat baru, aku suka malu. Ternyata dia tidak pemalu sepertiku. Mungkin aku harus belajar dari dia, untuk tidak menjadi anak pemalu.
Kami menghabiskan tiga hari bersama di rumah. Teman-temanku ramai berdatangan seperti biasa. Mereka senang sekali karena kak Opi dan Zaka pandai bercerita. Mereka membawa buku-buku bagus buat kami. Mereka juga membuatkan topeng dari kardus. Sejujurnya topengnya tidak terlalu bagus, tapi aku harus belajar menghargai kerja keras mereka, begitu guru mengajiku mengajarkan.
Kak Opi membantu ibuku membungkus jajanan ke dalam plastik kecil-kecil untuk kemudian dititipkan ke penjual o’e o’e [4] keliling desa atau mangkal di sekolah. Ibu-ibu sekitar rumah juga berdatangan dan mereka membicarakan apa saja sambal membungkus jajanan. Kak Zaka menghabiskan waktu menemaniku bermain. Dia bisa bermain bola tapi tentu tidak sehebat aku. Dan untuk panggal, dia hanya berhasil melempar panggal dengan benar sekali saja. Tapi itu selalu yang menjadi kebanggannya. Selebihnya dia melempar panggal dengan keliru. Kasihan.
Kakak-kakak teman mereka juga mendatangi rumah beberapa kali. Kak Tama, kak Intan dan kak Dian. Dengan mereka aku masih malu. Tapi di depan kak Opi dan kak Zaka, aku sudah tidak malu lagi. Dua hari pertama aku masih belum mau makan dengan mereka. Aku sembunyi di dekat lemari. Aku takut kalau mereka melihatku makan dengan cara berbeda, mereka akan mengasihaniku. Aku tidak mau dikasihani. Tapi setelah tiga hari bersama, aku percaya pada mereka. Kami sarapan bersama sebelum mereka pulang hari itu. Dan mereka tidak kasihan padaku. Kak Opi yang kalau tertawa mulutnya lebar sekali tetap tertawa terkekeh-kekeh kalau ada yang lucu. Orang yang aneh.
Aku tahu tiga hari itu akan berlalu, ibu dan kakak-kakak sudah memberitahuku dari awal. Tapi aku tetap sedih. Kak Opi bilang dia akan membuat film dari hasil gambar dan video yang kubuat waktu dia meminjamkan kameranya. Tapi bagaimana dia akan mengirimkannya padaku? Kak Zaka mengingatkanku untuk tetap rajin mengaji dan belajar lebih banyak lagi dan agar jadi anak pemberani. Pada ibu dia berpesan agar rajin mengajakku ke GOR untuk bertemu teman-teman lain dan agar meneruskan apa yang diajarkan di GOR. Te-ra-pi. Itu kata dia. Tapi aku tahu ibuku sibuk, kalau kak Zaka pergi, siapa yang akan mengingatkan dia? Seluruh tubuhku sulit untuk kuatur sendiri, aku perlu bantuan orang lain.
Aku menangis waktu mereka pulang. Kak Zaka dan kak Opi juga menangis. Aku berharap rumahku akan berbeda setelah mereka pergi. Aku juga berharap, kak Opi dan kak Zaka akan tetap menjadikanku adik sampai mereka tua. Bukan cuma adik selama tiga hari.
[1] Ganteng (Bahasa Sunda)
[2] Anak baik (Bahasa Sunda)
[3] Gasing (Bahasa Sunda)
[4] Pedagang jajanan keliling
Catatan: tulisan ini dibuat untuk seorang anak hebat di Kab. Bandung Barat, dimana dua anak muda dari Yogya dan Kalimantan tinggal di sana selama tiga hari di bulan November 2018 dalam program Youth Live-in IDEAL yang diadakan oleh Yayasan Sayangi Tunas Cilik.