Beberapa hari lalu saya iseng apply ke sebuah web semacam ramalan berdasarkan tanggal lahir & apa yang saya inginkan di masa depan. Tanggal lahir saya tentunya tidak berubah, tetapi ketika disuruh memilih informasi apa yang ingin saya dapatkan, saya mulai galau. Pilihannya adalah: cinta, uang, pekerjaan, yang lainnya saya lupa. Yang paling saya ingat adalah keberuntungan, karena yang terakhir ini yang saya pilih.
Maka sehari setelah saya konfirmasi bersedia menerima teror email blast dari si empunya situs ramalan ini, saya mendapatkan hasilnya. Well, angka keberuntungan saya adalah 2. Nothing new. Saya anak kedua, saya ranking kedua terbaik waktu lulus SMP, dan rangking kedua dari bawah waktu lulus SMA. Keduanya saya anggap keberuntungan.
Angka keberuntungan saya yang berikutnya adalah 3 dan 17. Jadi si mas yang punya web ini menawarkan. Kalau saya ketinggalan naik kereta di gerbong ke-2, maka ke-3 atau ke-17 should be fine. Hmmm… sampai di sini saya sadar, bahwa mas yang peramal ini belum pernah baik KRL Bogor – Kota. Tapi anehnya saya senang dan mulai memraktekannya.
Seperti hari ini misalnya. Saya super hektik dari pagi karena harus bolak-balik kedutaan Jepang – nyari tempat print – dan berakhir sampai rumah Sophie–Dimas, di sisi lain saya juga harus ikut rapat di RSCM dan push my luck untuk bisa nyoblos. Saya gagal di rencana hidup yang terakhir. Dua TPS menolak saya dengan alasan saya tidak punya kartu A-5 dan di TPS ke-2 saya sudah lewat 3 menit dari jam 13.00.
Maka sekarang saya mencoba memercayai peramal angka itu lagi. Keberuntungan saya ada di putaran kedua nanti. Hari ini kalau bisa memilih, saya berikan suara saya pada calon keberuntungan saya. Maka di putaran kedua saya juga akan memberikan suara pada orang yang sama.
Sebagai penebusan rasa bersalah, saya jalan ke dua TPS dan ikut menjadi saksi di sana. TPS 34 & 33. Di kedua TPS itu calon no. 2 menang. Di TPS 34 mutlak. 257 suara dari 295 pemilih. Lalu saya pulang ke rumah dan memelototi quick count.
Wahai rakyatku, kalau sampai putaran kedua berlangsung – dan sepertinya memang demikian. Maka mari kita berpikir jauh lebih keras, bertanya jauh ke dalam hati kita sendiri. Pemimpin seperti apa sih yang kita mau, untuk memimpin Jakarta ini sampai 365 x 5 hari ke depan? Benarkah agama sangat relevan untuk menjadi dasar pemilihan? Atau lebih parah lagi kalau kegantengan yang jadi ukuran?
Perubahan memang tidak pernah mudah. Apalagi perubahan ke arah yang lebih baik. Ada hal-hal menyenangkan yang sebelumnya bisa suka-suka hati kita lakukan, kemudian menjadi larangan. Begitu pula dengan merubah Jakarta menjadi lebih baik. Ada yang harus dibongkar dan ditata ulang, ada yang jadi tidak boleh membuat usaha seenak udelnya, semua serba diatur. Nggak enak kan?
Tapi kalau kita melihat jauh lebih ke depan, maka kita sesungguhnya sudah telat 30 tahunan. Perubahan ini harusnya udah terjadi 30 tahun lalu. Kalau sekarang saja kita masih menolak perubahan, maka kota seperti apa yang akan kita tinggalkan untuk anak-anak kita?
Kita sedang diberi kesempatan untuk berpikir ulang, semoga di tanggal 18 April nanti kita bisa kembali memilih pemimpin yang bisa membawa Jakarta menjadi kota yang jauh lebih baik. Ingat, kita mau milih gubernur ya, bukan milih imam buat sembahyang.
moga2 yang terbaik yang menang ya…
asik juga dong masuk putaran kedua berarti ntar libur lagi. hahaha.