Pengabdi Setan, Film Pemersatu Bangsa

Sudah nonton film remake karya Joko Anwar ini? Kalau belum, sudah dapat spoiler-an atau mendengar kehebohannya? Sekedar informasi, untuk yang nggak suka sama film horror, percayalah postingan ini sama sekali tidak membahas hal-hal traumatis dalam film. Saya sama penakutnya dengan Anda 😀

Dua pekan lalu saya terhasut dan kemudian ikut menghasut orang lain untuk menonton PS (biarlah saya menyingkatnya demikian demi rasa nyaman saya sendiri). Sahabat-sahabat ex Prambors  Semarang yang beranggotakan Ditto (rekor dalam seminggu nonton PS 3x), Karin (demi rasa setia kawan, dia nonton 2x) dan Erman juga adik dan anak saya menonton film ini bersama-sama. Tidak tanggung-tanggung, kami menonton versi 4D-2D, yang kursinya bisa gerak-gerak, kalau pas angin kenceng blower nyala, pas ada riak-riak air kita kecipratan. Sempurna lah untuk menonton horror.

Jalan cerita filmnya kamu bisa baca di blog resensi film resmi, dijamin lebih komprehensif. Saya hanya mau membahas dampak film ini terhadap kehidupan sosial teman-teman saya. Hampir semua teman yang nonton film ini merasakan terror yang sama. Kengeriannya lekat dan membekas dalam. Film ini benar-benar menghancurkan stereotip yang selama ini ada. Ibu yang selalu digambarkan sebagai pelindung, pengasih dan penyayang, di film ini bubar. Sholat dan berdoa yang konon kabarnya bisa mengusir setan, tidak terbukti juga di film. Bahkan anak kecil yang harusnya inosen, di film ini juga pada akhirnya tidak seperti itu.

Kesel deh nonton film ini. Kayak nggak ada perlindungan sama sekali gitu, kita. Yang membuat saya bahagia di film ini adalah scene siang hari. Lega rasanya. Mak plong!

Nah, yang unik dari film ini, karena semua orang yang nonton merasakan terror yang sama, dan menurut pengalaman ketakutan mendalam pada suatu hal eksternal akan mengeratkan hubungan yang tadinya renggang, terbukti di sini. Masih ingat kan, kasus Reog Ponorogo diakui Malaysia sebagai milik mereka? Itu nggak pakai perintah, lebih dari 80% orang Indonesia pengen ngamuk sama Malaysia. Hal yang sama terjadi juga dengan PS ini.

Banyak yang kemudian sharing di grup-grup WA tentang kengerian PS. Lalu tiba-tiba yang tadinya nggak pernah sapaan sejak kampanye Pilkada beberapa bulan lalu, jadi cair aja gitu. Membahas scene demi scene dengan ditambah opini masing-masing. Lalu ditambah lagi dengan kirim mengirim meme PS. Dan ini terjadi sejak film itu premiere diputar sampai hari ini. Please help me God.

Di grup ex Prambors Semarang sendiri, pembahasan PS juga belum berakhir sampai detik ini. Setiap pagi selalu ada yang mengingatkan untuk kembali mengangkat tema yang sama. Begitu terus dari hari ke hari seolah-olah terror dalam hidup kita masih kurang selama ini.

Sulit buat saya me-review film ini secara serius, karena saya hanya menonton 80%-nya saja. Sisanya saya mendengar dari jawaban-jawaban mas Erman, “Apa mas? Siapa mas? Serem nggak mukanya?” Untungnya saya bukan orang yang mudah percaya. Jadi meskipun sudah dibilang kalau nggak ada apa-apa, saya tetep aja merem.

Yang saya bisa review adalah kesuksesan film ini dalam memersatukan bangsa. Mungkin… Ini mungkin lho ya, sebenarnya bangsa kita ini sudah capek sama unsolved misteri yang ada. Koruptor udah di depan mata aja, bisa lolos karena dia temenan sama Batman, dadakan ada yang ketakutan karena sebagian orang mulai terbuka melihat kasus 65 dari sisi yang berbeda, pemuka agama yang sembunyi di luar negeri juga orang sudah mulai lupa. Makanya ketika ada film yang tidak kalah misteriusnya, orang jadi teralihkan perhatiannya.

Mungkin Joko Anwar tidak sadar apa yang dilakukannya ketika akan membuat film ini. Tapi kalau saya berhak memberikan Nobel, maka tahun ini saya akan serahkan pada sutradara PS. Bukan hanya berhasil mendamaikan teman-teman yang tadinya diem-dieman di grup, PS juga berhasil menyatukan saya dan anak saya untuk tidur sekamar beberapa waktu ini. Film ini juga berhasil membuat saya tidur jauh lebih awal dari biasanya. Belum lagi terhitung jasanya dalam mengurangi kalori saya ketika menontonnya. 113 kalori katanya yang hilang ketika adrenalin kita dipompa di sepanjang film horror yang kita saksikan. Sehat banget hidup saya gara-gara PS.

Tapi kalau ditanya apakah mau nonton film ini lagi? jawaban saya bulat dan utuh. ENGGAK. Saya lelah. Saya mau nyuruh orang lain nonton aja, terus segera berdamai sama masalah-masalah mereka di dunia nyata. Udah, itu aja.

← 16
Sekolah Kids Zaman Now →

Author:

Dian adalah penulis Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam dan 8 novel serta kumpulan cerita lainnya. Peraih grant Residensi Penulis Indonesia 2019 dan She Creates Change Green Camp 2020 ini lahir tahun 1976, belajar komunikasi di Universitas Diponegoro dan STIK Semarang, lalu lanjut belajar perlindungan anak di Kriminologi UI. Dia adalah anak ke-2 dari 4 bersaudara, ibu dari Vanya Annisa Shizuka dan beberapa anak lain. Saat ini Dian menghabiskan banyak waktunya menjadi penulis lepas dan konsultan untuk isu perlindungan anak dan kekerasan berbasis gender.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

What to Read Next

Perpus Provinsi Kalimantan Selatan yang Inspiratif

Beberapa hari lalu saya mendapatkan kesempatan untuk mengisi acara diskusi literasi di Perpustakaan Provinsi Kalimantan Selatan. Sungguh sebuah kesempatan yang sangat berharga buat saya. Awal menerima undangan ini saya pikir kena prank. Masa’ iya sih ada Perpustakaan Provinsi bikin acara seperti ini, pikir saya. Tapi rupanya ibu Kepala Dinas ini...

Read More →

Berkah Dalem

Selamat merayakan Natal teman-teman, Berkah Dalem. Biasanya kalimat itu yang saya kirimkan ke sahabat dan teman-teman saya melalui WhatsApp untuk memberikan ucapan selamat Natal. Pagi tadi saya menyegarkan kembali ingatan tentang frasa Berkah Dalem, yang menurut beberapa referensi artinya Tuhan memberkati, yang menurut sejarah diambil dari kata Deo Gratia, berkah...

Read More →

44 Years of Practice

Lima tahun lalu saya dapat quote keren banget tentang usia 40, seperti ini: Gambar dari darlingquote.com Lalu tahun-tahun itu berlalu dan saya lupa apa yang jadi resolusi saya di ualng tahun saya ke-40 itu. Saya hanya ingat mengirimkan surat pada 40 orang yang pernah dan masih menggoreskan makna pada hidup...

Read More →

The Class of 94 and Beyond

Ilusi bahwa saya adalah Supergirl, Harley Quin, Black Widow, Queen of Wakanda patah sudah. Tanggal 25 Juni menerima hasil antigen positif. Tidak disarankan PCR sama dokter karena dia melihat riwayat orang rumah yang pada positif, “Save your money, stay at home, have fun, order as many foods as you like,...

Read More →

Domba New Zealand dan Pahlawan Perubahan Iklim

Pada suatu hari di bulan November 2016 bersama teman-teman dari tim Alzheimer Indonesia kami mendapat kesempatan untuk mengikuti konferensi di Wellington, New Zealand. Kok baru ditulis sekarang? Huft.. Seandainya kemalasan ada obatnya, saya antri beli dari sekarang. Ada banyak hal yang membuat orang mudah sekali jatuh hati pada Wellington, udaranya...

Read More →

Perjalanan ‘Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam’ Menemukan Jodohnya

Jodoh, rezeki dan maut ada di tangan Tuhan, katanya. Tapi kalau kita berharap Tuhan turun tangan untuk dua item pertama, nyesel sendiri lho ntar. Antriannya panjang, Sis. Ada tujuh milyar orang di muka bumi ini. Cover Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam Maka saya menjemput paksa jodoh tulisan saya pada...

Read More →

Defrag Pikiran dan Keinginan

Ada banyak peristiwa yang terjadi selama tahun 2020 ini, meskipun ada banyak juga yang kita harapkan seharusnya terjadi, tetapi belum kejadian. 2020 adalah tahun yang ajaib. Lulusan tahun ini sempat dibully sebagai lulusan pandemi. Yang keterima sekolah/kuliah di tempat yang diinginkan tidak segirang tahun sebelumnya, yang wisuda tahun ini apa...

Read More →

Didi Kempot, Sugeng Tindak Ma Lord

Hari ini status itu yang saya pasang di media sosial saya dengan foto Didi Kempot hitam putih dengan tulisan the Godfather of Broken Heart. Patahnya hati saya mungkin nggak sepatah teman-teman sadboys dan sadgirls lainnya. Saya tidak mengenal secara personal mas Didi, hanya pernah papasan di sebuah mal di Solo...

Read More →