Beberapa kali saya menulis draft tulisan tentang Bapak, tetapi selalu terdistrak, sampai akhirnya terlambat. Sekarang Bapak sudah tidak akan membaca tulisan ini. Tapi memang Bapak tidak perlu membacanya. Bapak tahu apa yang dilakukannya dan dirasakan oleh anak-anaknya.
Saya dilahirkan di kota kecil Salatiga, dikelilingi oleh orang-orang tua yang membentak anaknya, memukul dan mengikat anaknya di tiang sampai kehabisan suara dan air mata, meneriaki anaknya sambil melempar panci, memprioritaskan makanan untuk suaminya, dan bukan anak-anak yang sesungguhnya jauh membutuhkan gizi.
Setiap hari saya mendengar anak dipukul ibu atau ayahnya, disumpahserapahi bodoh dan tolol. Tapi saya dan kakak saya – waktu itu adik-adik kami belum lahir, kami tidak pernah mendapatkan itu semua. Mas Didot pipis di knalpot motor Bapak, dan Bapak hanya tertawa sembari membetulkan motor itu supaya bisa dipakai lagi. Saya pernah “memasak” beras, tepung, minyak goreng dan telur menjadi satu adonan maha dahsyat di atas tampah, Ibuk hanya mengelus dada dan Bapak tertawa. Mungkin mereka pikir saya akan menjadi chef suatu hari nanti. Bapak cukup memanggil kami dengan memanjangkan nadanya saja, kami sudah lari terbirit-birit.
Kami hidup di rumah yang terbuat dari anyaman bambu, tepat di belakang rumah Mbah Uti dan Mbah Kakung. Dulu kami pikir, pastilah Ibuk dan Bapak takut galak atau mencubit kami karena ada pembela kami, yaitu Uti dan Kakung. Tapi rupanya ketika kami pindah ke Tlogo, lalu ke Lampung pun mereka tetap tidak memukuli dan mencubiti kami. Sekali-kalinya Bapak memukul mas Didot adalah ketika dia dengan sengaja memegang ekor cicak yang baru saja terputus dan menggoyang-goyangkannya di depan wajah saya.
Plak!
Lalu Bapak berteriak, “Kamu mau adik kamu mati?”
Saya ingat saya menangis histeris dan Bapak bilang wajah saya sudah hijau ketika kakak saya yang usil itu malah bahagia melihat adiknya ketakutan. Maafkan aku ya Kang, sekali-kalinya kau kena tangan Bapak adalah karena aku yang cemen dan takut banget sama cicak. Dan Bapak memukulmu bukan karena membencimu, tapi dia membelaku. Sekarang kau tahu lah, Kang, rasanya punya anak yang usil J
Bapak pernah memukul orang dengan sandal kulitnya yang berat di dalam bis antar kota. Waktu itu kami dalam perjalanan ke Lampung untuk menengok Mbah dari Ibu. Perkaranya sederhana. Orang tersebut berusaha menawarkan dagangan makanannya ke saya, dengan nada yang menggoda-goda, sambil memanggil-manggil, “Cantik, manis..” Atau sesuatu semacam itu. Bapak nggak pakai mikir, langsung lepas sandal dan memukul orang itu dari jendela. Sejak saat itu saya tahu Bapak akan melindungi dan melakukan apapun untuk membela saya. Dan itu sudah cukup untuk saya.
Ketika saya sudah meninggalkan usia anak, saya melakukan kesalahan lain yang luar biasa besarnya. Dan Bapak, juga Ibuk, tidak mengusir saya, membentak atau marah luar biasa. Mereka berdua hanya menghela nafas dan bilang, “Lha wis piye, meh diapakke meneh?” lalu membereskan sampah yang saya buat. Sampai detik ini saya belum bisa memaafkan diri saya sendiri untuk melukai dan mempermalukan mereka sedemikian dalam. Apapun yang saya lakukan sekarang, adalah upaya untuk menutup kesalahan yang pernah saya lakukan di masa itu dan mengubahnya menjadi bangga.
Bapak juga Ibuk tidak pernah mengungkit kesalahan saya, kesalahan anak-anaknya. Di setiap senda tawa kami, yang diungkit adalah kebodohan-kebodohan kami. Bagaimana saya mengidentifikasi kecantikan saya dengan tumbu bedah (wadah nasi jebil), sementara Nisa adik saya sangat bahagia ketika disebut secantik monyet, lalu Holik yang menangisi ayam yang dijual Ibuk sembari makan ayam yang lain lagi di atas meja, dan mas Didot yang selalu keluar dari tempat persembunyian kalau ditanya, “Ini uang siapa yaa…” dengan mudahnya.
Bapak adalah sosok kuat dan sehat di mata saya. Dia bekerja sebagai mekanik yang punya tangan ajaib bisa membetulkan mesin apapun. Itu yang saya pikirkan sampai hari pensiunnya. Tetapi tekanan darahnya berkata lain. Stroke pertama, stroke kedua, lalu serangan jantung mematahkan gambaran bapak sehat dan kuat itu. Bapak adalah penyintas. Dia berhasil menyembuhkan dirinya sendiri dari stroke pertama dan kedua. Dengan kaki sampai berdarah-darah, dia berusaha berjalan dan berhasil. Dengan jantung yang berfungsi kurang dari 50%, Bapak masih kuat bepergian dan rajin membuat sendok sayur, penggaruk punggung dari batok kelapa dan kayu pohon kelengkeng di depan rumah, juga penyangga lilin dari bekas-bekas bolam dan entah logam apa lagi. Bapak tidak manja. Di tengah sakitnya, dia berusaha melakukan apapun sendiri. Bahkan kalau Ibuk melarang-larangnya, dia marah.
Bapak menunggu kami semua selesai PR-nya. Tahun lalu, seolah-lah semua masalah kami dimudahkan penyelesaiannya. Vanya bergabung lagi dengan saya setelah 13 tahun berpisah, Vanya juga untuk pertama kalinya berlebaran dengan Kakung Utinya. El akhirnya bicara dan ceriwisnya mengalahkan kakaknya. Dia juga yang paling dekat dengan Akungnya. Selalu datang dan menciumi Kakung tanpa henti. Holik selesai kuliahnya dan sekarang sudah bekerja. Nisa dilamar oleh anak lelaki yang nekat ini. Lebaran lalu semua berkumpul di Lampung dan kami melakukan prosesi sungkem-sungkeman seperti jaman Kakung Uti masih ada dulu.
Lalu tidak sampai sampai dua bulan setelah lebaran, Bapak memutuskan untuk menerima panggilan “pulang”.
Pedihnya belum hilang dan mungkin tidak akan pernah hilang. Bapak tidak berpamitan. Bahkan kepada Ibuk sekalipun. Kami berusaha mengingat di bagian mana kira-kira Bapak memberi tanda pada kami, tapi kami hanya bisa mengira-ngira. Mungkin ketika dia menangis dan terus mengatakan “Kasihan Nisa,” mungkin ketika dia bilang, “Nggak usah pergi, Na. Aku mau ditemani ,” pagi harinya ketika Ibuk berencana pergi ke pasar, atau malam sebelum pulang ketika dia ngotot mau video call denganku. Kami tidak tahu di bagian mana Bapak berusaha mengucapkan selamat tinggal pada kami.
Sekarang, kami yakin Bapak sedang minum kopi dan mungkin membetulkan salah satu mesin yang rusak di atas sana. Semua obeng, tang, bor dan kunci Inggrisnya tidak ada yang dibawa, tapi dia bisa membetulkan apapun dengan tangannya saja.
Bapak, terima kasih ya, sudah pernah mengatakan bangga memilikiku sebagai anak. Terima kasih sudah mengajarkan kasih sayang dengan caramu yang unik. Terima kasih untuk mencintai Ibuk dan mengijinkan kami melihatnya dan belajar dari sana. Terima kasih untuk mengajarkan bagaimana melindungi anak, semoga aku tidak pernah perlu menggunakan sandal kulit sepertimu.
Bapak, terima kasih sudah pulang dengan begitu tenang.
Aku yakin Bapak memaafkan kami anak-anak Bapak yang luar biasa selalu memberi tantangan ini. Semoga Bapak membawa cerita-cerita indah dan lucu tentang kami di dalam perjalanan panjang Bapak.
Bapak, kami sangat mencintaimu dan sekarang kami merindukanmu lebih dari yang pernah kami bayangkan sebelumnya.
Anak-anak kesayangan Bapak,
Didot, Dian, Holik, Nisa.
minnnn brebes mili :'(
Kak Dian, tulisan ini sangat menyentuh. Sangat sama dengan bapak saya yang ‘pulang’ dan terkena stroke. Yang sama juga, ketika saya tidak bisa menemani bapak setiap hari, dan juga tidak sadar dibagian kalimat mana beliau menyampaikan kalimat pamit. Terimakasih kak Dian, sudah menciptakan lukisan suara dan saya dapat membacanya. ??
Kak Dian, tulisan ini sangat menyentuh. Sangat sama dengan bapak saya yang ‘pulang’ dan terkena stroke. Yang sama juga, ketika saya tidak bisa menemani bapak setiap hari, dan juga tidak sadar dibagian kalimat mana beliau menyampaikan kalimat pamit. Terimakasih kak Dian, sudah menciptakan lukisan suara dan saya dapat membacanya. ??