Dimuat di Good Housekeeping Magazine edisi September 2005
Pusing… benar-benar pusing.
Apa yang ada di kepala anak umur 15 tahun ini?
Pulang sekolah tanpa salam, langsung ngeloyor ke kamar dan membanting pintu.
Gubrak!!
“Vanya… Vanya… Dhek…” Rasanya suaraku sudah cukup halus dibanding biasanya. Aku tidak mau mengeluarkan suara galakku, karena siapa tahu dia sedang PMS. Pasti akan tambah suntuk mendengar cerewetku.
“Vanya… kamu nggak makan dulu nak?? Mama masak makanan kesukaan kamu lho.” Hari ini aku memang masak cumi-cumi hitam, dan menggoreng krupuk udang. KesukaanVanya. Anak keduaku, yang tanpa kusadari sudah membesar dengan cepat. Rasanya baru kemaren aku memandikan, menyusuinya dan menetahnya*. Sekarang dia sudah bisa berjalan bahkan berlari sendiri meninggalkanku. Seperti sekarang ini. Dia tidak mengijinkanku berada di sampingnya untuk membantunya melakukan sesuatu. Dia sudah mulai tidak membutuhkanku. Hhh… apa yang bisa kulakukan kalau sudah begini? Menyalahkan papanya yang terlalu memanjakan anak ragil* kesayanganya itu? Atau menyalahkan diriku sendiri karena tidak mau turun. Ya. Turun. Berpikir seperti anak 15 tahun. Mengikuti pola pikir anak gadisku.
“Bu, ada telpon.” Kata Mumun pembantuku.
Ya, sebenarnya sudah dari tadi aku dengar bunyi dering telpon dari ruang tengah. Tapi malas sekali untuk mengangkatnya. Dan benar saja. Telpon itu ternyata untukku. Bukan dari orang-orang yang kuharapkan. Teman-teman arisan, teman-teman LSM, juga bukan dari papanya Vanya.
Telpon itu menjawab semua pertanyaanku, kenapa Vanya belum juga mau keluar dari kamarnya sampai maghrib ini.
“Sebelumnya saya minta maaf bu Intan.” Kata pembuka dari guru Bimbingan dan Konseling ini saja sudah cukup membuat hatiku mencelos. Bagaimana tidak. Seorang guru BK menelponku secara personal. Apa lagi yang ingin diceritakannya kalau bukan kenakalan anak gadisku.
“Kalau besok ibu tidak ada acara, saya dan wali kelas Vanya ingin mengundang Anda untuk datang ke sekolah, karena ada beberapa hal yang ingin saya bicarakan sehubungan dengan putri ibu.”
Apakah Vanya nakal?
Apa dia cabut lagi dari kelas?
Mencoba merokok di belakang toilet sekolah?
Tidak membuat PR?
Atau berantem dengan temannya?
Semua pertanyaan itu dan masih banyak lagi terus berputar di kepalaku. Membuatku semakin bingung. Memaksaku untuk melakukan yoga sendiri di kamar. Menahan emosi. Tarik nafas. Tahan. Lepas. Hhh… satu pertanyaan hilang. Beberapa kali kuulangi, membuat kepalaku merasa sedikit lebih ringan.
Sekarang kebingungan yang lain muncul. Apakah aku harus mengetuk pintu kamar Vanya-ku lagi? Atau menunggunya sampai keluar? Ah… seandainya yogaku sudah sempurna, mungkin aku akan bisa memanggilnya dengan suara hatiku. Tapi kalau aku terus berdoa, mungkin Vanya akan keluar dari kamarnya. Setidaknya kalau dia merasa lapar.
Suamiku – papanya Vanya – seperti biasanya cuma senyum mendengar ceritaku waktu kutelpon. Waktu aku marah dan bilang kalau dia membiarkanku memikirkan sendiri segala sesuatu tentang Vanya dan kakaknya, dia Cuma bilang.
“I Love You.” Sambil mengecup ujung telponnya.
Ahhh… Gombal. Itu pasti salah satu caranya untuk membuatku berani menghadapi semua masalah anak-anak kami sendirian. Yah, dia bisa saja memakau alasan sedang sibuk dengan urusan kantor pengacara yang baru saja dibukanya. Curang sekali dia. Dengan alasan pekerjaan atau klien-klien brengseknya, yang hobi korupsi itu, membuat aku menjadi ibu tunggal dalam mengurus anak-anak.
Tok tok tok…
Akhirnya aku tidak sabar juga untuk segera ngobrol dengan Vanya yang ternyata pintu kamarnya sudah nggak lagi terkunci.
Aneh. Tadinya aku berharap melihat pemandangan kamar yang acak-acakan. Seprei dan wajah yang sama kusutnya. Tas yang tidak pada tempatnya. Dan seorang gadis cantik yang duduk sambil memeluk guling dengan mata sembab.
Tapi aku tidak melihat itu semua. Yang adalah Vanya yang sangat kukenal. Vanya yang rambut panjangnya menggulung di bagian ujung, poni yang sedikit melebihi garis alis. Tanpa mata sembab, duduk di depan komputer dan tangannya sibuk memencet-mencet tuts keyboard. Dia kelihatan sangat serius. Atau setidaknya seolah-olah begitu serius sampai tidak menyadari kedatanganku. Dan belakangan aku tahu kalau dia memang sedang serius mengirim email untuk Magna, kakak yang sangat dikaguminya.
“Bikin apa Dhek?”
Tidak dijawab.
“Banyak pe er ya?”
Kalau tidak dijawab juga, aku akan meneruskan dengan pertanyaan utamanya. Tapi tidak. Dia menoleh.
“Pak Bowo tadi telpon ya Ma?” Ternyata aku keduluan Vanya. Dia lebih straight. Dia langsung menanyakan apa yang ingin diketahuinya. Tidak seperti aku yang berputar-putar dulu. Mbulet*.
“Ngomong apa guru rese’ itu?”
Sepertinya aku kalah set. Seharusnya aku yang bertanya, ada masalah apa dia dengan gurunya itu. Kenapa sekarang jadi aku yang harus menerangkan apa yang tadi dikatakan gurunya itu. Kepalaku rasanya jadi ikut jungkir balik.
“Vanya mau cerita nggak, kenapa pak Bowo manggil mama besok ke sekolah?” aku mencoba memancing si muka chubby ini. Sisa gemuk di pipinya masih tertinggal meskipun dia mati-matian berusaha untuk diet. Dia lucu sekali. Nggak pernah terbayang apa kenakalan yang bisa dilakukan anak selucu ini.
“We kissed.”
Doeng… doeng… doeng…
Dua kata itu membuat kepalaku seperti dihantam palu. Persis seperti gambaran yang ada di komik-komik City Hunter yang sering dibaca Magna dulu.
“Mama marah?” Lanjutnya lagi seolah-olah apa yang baru saja dikatakannya adalah hal kecil. Aku terpaksa menelan ludah saja sambil menunggu kejutan apa lagi yang akan keluar dari bibir mungilnya ini. Ah… tidak bisa kubayangkan seorang lelaki mencium bibir anakku. Dan menjadi gosip di sekolah. Apa kata mereka?
“Sabtu kemaren Vanya juga ketahuan ngerokok.”
Tunggu… tunggu… tunggu… aku akan ambil minum dulu. Baru kita teruskan ngobrolnya lagi ya, nak. Aku tidak mau melakukan kesalahan seperti yang pernah kulakukan pada kakaknya Vanya. Magna. Magna jauh lebih tomboy dibanding adiknya. Mungkin karena suamiku berharap sekali anak pertamanya lelaki. Ini jadi mempengaruhi secara psikologis bagaimana dia memperlakukan anaknya.
Dua tahun lalu Magna pernah melakukan kesalahan besar. Menjadi provokator sebuah kegiatan demo di kampusnya. Dan hasilnya dia harus menginap satu malam di tahanan. Magna lebih tidak punya rasa takut. Dia ngotot kalau dia tidak bersalah dan tidak menyesal. Dan kami tidak berbicara lagi sejak saat itu. Papanya berhasil menyelamatkan Magna. Dia mengirim anak kesayangannya itu ke Cambridge. Untuk sekolah. Aku rasa kalau dia dikirim ke America Latin akan lebih tepat. Dia akan pulang dan kembali sebagai Guevara.
Aku tidak boleh melakukan kesalahan dua kali. Kalau aku marah lagi, maka aku akan kehilangan kedua anakku.
“Dimana Adhek dicium?” Aku mencoba untuk menyembunyikan rasa gugupku.
“Bukan dicium mama… We kissed. Not I’ve been kissed. We kissed here.” Vanya menunjuk bibirnya.
“Kenapa?” Aku rasanya tidak bisa mengontrol lidahku lagi. Kupikir akan akan bertanya ‘dimana’ tapi ternyata kata yang keluar kenapa.
Vanya lalu menerangkan, dia berciuman dengan seorang class mate. Begitu dia menyebut temannya itu. Namanya Dimas. Waktu itu sedang upacara bendera. Vanya sama Dimas memang sudah merencanakan semuanya. Mereka berdua tahu kalau pagi itu Dimas akan dipanggil ke tengah lapangan untuk menyerahkan piala kejuaraan tae kwon do ke sekolah, sebagai sumbangan prestasi dan tambahan koleksi piala untuk almamaternya nanti.
Sejak kecil Vanya memang tampak menonjol. Dia selalu ingin menjadi pusat perhatian. Kupikir kebiasaan itu akan hilang setelah dia membesar. Ternyata aku salah. Dia masih terus berusaha mencuri perhatian semua orang. Dan kali ini Vanya merencanakan hal besar. Dia ingin mencuri perhatian seluruh sekolah. Vanya sengaja berdiri di barisan paling depan, dimana semua mata bisa melihatnya dengan jelas. Dan begitu Dimas berjalan masuk ke barisan, dia berhenti di depan Vanya. And there they we kissed!!!!
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana wajah kepala sekolah dan guru-guru melihat dua murid yang berprestasi itu membuat geger seluruh sekolah. Dan menurut keterangan yang kuperoleh dari Vanya dia cukup lama berciuman. Hampir satu menit.
Okey, mari kita kupas satu persatu.
Aku tidak pernah melarang Vanya pacaran. Apalagi aku tahu Dimas anak baik. Dia anak teman arisanku. Aku kenal baik dengan keluarganya. Tapi kalau aku selalu menyarankan mereka ngobrol di rumah saja, aku juga nggak mau disalahkan. Menurutku ini adalah salah satu cara mereduksi hal-hal yang tidak kuinginkan seperti sex before married. Entah kalau untuk Vanya dan Dimas ini dianggap sebagai salah satu bentuk pengekangan.
“Mama salah apa sih Dhek?” Menurut temanku yang seorang psikolog, jangan mencari kesalahan anak. Coba bercermin dulu. Cari dimana letak kesalahan kita.
“Mama terlalu ngekang adhek ya?”
Dan jawabannya sungguh mengejutkan.
“Maaa…” dia memperpanjang huruf A-nya. Mungkin untuk membantuku berpikir panjang maksudnya. “Apa sih yang salah sih dari berciuman. I love Dimas. And he does so. Kata mama ciuman itu salah satu bentuk pengungkapan kasih sayang.”
Tapi itu berlaku di rumah kita sayang. Antara papa, mama, mbak Magna dan kamu. Seandainya aku bisa mengatakan hal itu. Tapi untung aku bisa menahannya, karena aku sudah tahu jawabannya kalau aku ungkapkan itu. Vanya pasti cukup kritis dan mempertanyakan kenapa cinta atau sayang harus dikotak-kotakkan.
“Maksud mama gini lho dhek…” Aku juga memanjang-manjangkan kalimatku, sambil memberi kesempatan otak abu-abuku ini untuk berpikir. “Kamu boleh kok kissing sama Dimas. Tapi nggak di depan banyak orang kayak gitu. Apalagi itu upacara. Bukankah kalian seharusnya menghormati orang lain di upacara itu.”
“Vanya menghormati mereka semua kok. Tapi hari itu Vanya cuman pengin semua orang tahu kalau Vanya sama Dimas pacaran. We love each other. Dan nggak seorangpun boleh kirim surat lagi ke Dimas atau nelpon-nelpon Vanya lagi. Kita cuman pengin dunia tahu mama.”
Kepalaku langsung pusing. Aku sempat berpikir negatif, kalau begitu lulus SMA Vanya akan langsung minta dikawinkan. Aahhh…. No!!
“Dhek Va, mama pusing. Itu kayaknya papa pulang. Ngobrol sama papa aja ya.”
Aku benar-benar pusing dan berharap papanya bisa menemukan kata-kata yang lebih bagus untuk membedah otak anaknya, sementara aku akan mengguyur kepalaku sambil memikirkan apa yang akan kukatakan di depan gurunya besok.
Tapi ternyata aku salah. Karena begitu keluar dari kamar mandi dengan kepala yang kututup handuk, berharap otakku tidak keluar tercecer bersama tetesan air dari rambutku yang basah, aku mendengar sayup-sayup dari teras samping.
Mereka berdua tertawa-tawa. Bapak dan anak itu.
“Papa seharusnya lihat ekspresi mereka semua.”
Huahahahaha…
“That’s my girl.”
Huahahaha…
Sepertinya suamiku memang lebih memahami anak-anaknya daripada aku. Dan aku hanya ingin pingsan sekarang.
Gubrak!!
huahahahahaha…. Vanya pinter… 😀