Ada banyak sekali oleh-oleh yang saya bawa sepulang dari ICAAP 9 (International Congress on AIDS in Asia and the Pacific) di Bali awal Agustus lalu. Maka ijinkanlah saya membuat satu lagi kategori sebagai bukti dari komitmen saya terhadap HIV/AIDS di muka bumi ini.
Hari pertama saya di sana, ikut pre congress forum yang berjudul Woman Including Lesbian Forum. Ada kurang lebih 100 perempuan di dalam ruangan itu. Selesai prosesi standard sambutan dari kepala keamanan dan seorang panitia dari Malaysia, langsung muncul pertanyaan dari peserta: “Kenapa di ruangan ini begitu banyak laki-laki? Padahal ini Woman Forum.” Lalu terjadi pro kontra. Bu Erna dari WHO berpendapat bahwa laki-laki boleh tetap tinggal untuk memberikan dukungan mereka terhadap gender equity, sementara seorang jurnalis dari India tetap keberatan, kecuali suara itu muncul dari laki-laki sendiri.
Sadly, nggak ada laki-laki yang buka suara. Malah dua orang bilang di forum kalau mereka akan keluar, jika memang tidak dikehendaki keberadaannya. Lalu seorang pria malah memegang mic dan bilang, “Without man, there will be no woman.” Waduh… tambah seru lah, insiden pagi itu. Antara memang si bapak itu sangat patriarkis, atau bisa jadi dia nggak paham sama yang diucapkannya. Jadi mari kita maafkan dia.
Tapi from my perspective, bu Erni dari WHO benar. Kita butuh laki-laki untuk juga berada di jalur yang sama, memperjuangkan kesetaraan gender. Kalau di dunia yang masih patriarkis ini, para lelaki tidak mau diajak berkomunikasi, atau perempuan takut mengkomunikasikan apa kebutuhan/keinginan mereka, maka tidak akan mungkin tercapai kata sepakat.
Setelah forum tenang, kami dibagi menjadi lima kelompok. Saya bergabung dengan kelompok lesbian. Hanya 6 orang di dalam satu kelompok kami. Di dalam kelompok ini dibahas bagaimana triple stigma yang harus diterima oleh teman-teman lesbian yang positif HIV. Kenapa tiga? Ini penjelasannya:
- Pertama karena terlahir perempuan. Di banyak negara, perempuan dihargai di bawah laki-laki. Perempuan adalah properti. Sebelum menikah properti orang tua, setelah menikah properti suami. Itu stigma yang masih terus diperjuangkan sampai detik ini.
- Kedua karena behavior in loving the same woman, itu membuat perempuan ini terstigma untuk kedua kalinya. Entahlah, apakah ini ada hubungannya dengan ketidakterlibatan laki-laki dalam kehidupan lesbian. Karena sampai akhir pertanyaan ini belum terjawab.
- Yang terakhir, jika perempuan itu positif HIV, sudahlah habis dia. Sampai saat ini tidak banyak penelitian yang membuktikan kalau woman-and-woman relationship ini potensial menyebabkan tertularnya HIV, mungkin memang karena tidak banyak penelitian mengenai hal ini.
Salah satu lessons learn siang itu adalah, gimana cara menghentikan stigma dan diskriminasi terhadap lesbian. Idealnya kita tidak menilai seseorang dengan sebuah cap. Perilakulah yang berperan penting.
Dan sekali lagi, ingin menggarisbawahi keterlibatan laki-laki dalam upaya gender equity. Penting sekali bahwa setiap ayah melindungi istri-anaknya dan bukan memukulinya, mendidik anaknya dengan setara apapun gender mereka, tidak mengklasifikasikan pekerjaan menjadi dua kategori feminin dan maskulin, memimpin kapal rumah tangga dan bukan menjadi raja tak terbantahkan.
wahh klo gw butuh info2 ttg hiv/aids bisa menghubungi anda dong
kebetulan ada satu org terdekat yg tertular 🙁
Tabea… Selamat Baku Dapa n Salam Kenal dari Manado. Artikelnya Bagus. Aku Suka itu. Silahkan Tukeran Link, Logo & Banner. Thanks,-
Memang susah melepas stigma yang kadung melekat.
@Fandhie: my pleasure Fan, silahkan. Aku udah email kamu ya, kita ngobrol2 by email juga nanti ya.
@Rafans: Salam kenal juga sobat. Ok, kita tukar link ya.
@Dyer: kalau dalam kasus kamu, tergantung kemauan dan actionnya. kalau memang mau berubah, orng juga pasti lihat kok. tapi jangan harap prosesnya sebentar. memang butuh waktu.
dyermaker tu lesbian to?
wo… liyak rak nyambung!!
nice artikel
Trims sdh ninggalin komen d blog sy.
Blognya sy suka. Isinya berdasarkn pgalaman sendiri kyk blog sy.
Exchange link yuk?
sama-sama.
mari bertukar…