Minggu lalu saya nonton Logan dengan anak saya. Ya, saya boleh disalahkan karena Vanya belum 17 tahun dan dia ikut nonton film penuh kekerasan itu, dan saya mengizinkannya. Tapi rupanya dia punya mekanisme menghindari nonton adegan kekerasan. Tiap ada adegan kekerasan dia memalingkan seluruh wajahnya ke HP dan scrolling entah apa di sana.
Saya adalah penggemar berat X-Men the movie. Saya nggak terlalu banyak explore komiknya, lebih menikmati audio visual dan tokoh-tokoh yang super keren. Tapi Logan yang katanya adalah film terakhir X-Men dengan Hugh Jackman kali ini membuat saya merasa prihatin. Ini film ampun-ampunan berdarah-darahnya. Kepala digorok dan glundung sana-sini lah, tangan dipotong, darah hamburan kemana-mana. Dan yang paling bikin prihatin adalah karena tokoh yang terlibat dalam kekerasan itu adalah anak.
Memang tokoh-tokoh anak di sini digambarkan sebagai tokoh buatan, anak yang sengaja diciptakan dengan teknologi canggih untuk menjadi robot-robot pembunuh. Tapi tetap saja kan kita nggak bisa menggampangkan masalah dengan memberi disclaimer, bahwa tidak ada anak yang terluka di dalam pembuatan film ini, lalu cuci tangan dengan dampaknya. Bagaimana dengan penonton? Selain anak saya, mungkin ada ribuan anak lain yang menonton film ini dan melihat kekerasan yang dilakukan anak di dalam film sebagai contoh. Baru kali ini saya menonton X-Men tetapi otaknya sambil mikir ke arah sana. Biasanya setiap keluar dari nonton X-Men komentar saya selalu bagus dan positif, tapi kali ini saya memberi tanda koma dan kata tetapi di belakangnya.
Di sisi lain, ada hal menarik yang disusupkan ke dalam film ini mengenai tokoh Charles. Tokoh kunci X-Men diceritakan menderita Alzheimer. Bayangkan betapa seriusnya seorang yang memiliki kemampuan mengendalikan otak orang-orang lain di sekitarnya, mengalami kerusakan di otak & tidak bisa mengatur otaknya sendiri. Beberapa kali dia nyaris membunuh orang-orang di sekitarnya. Bahkan saya tidak terlalu ingat di X-Men yang mana, rupanya dia yang menghancurkan seluruh kota karena ketidakmampuannya mengendalikan kemampuan luar biasa ini.
Buat saya ini menarik. Sebagai orang yang sedang belajar banyak tentang Alzheimer dan strategi komunikasi pada masyarakat, ide memasukkan tokoh dengan Alzheimer ke dalam film besar adalah brilian. Orang jadi langsung sadar betapa seriusnya penyakit ini dan dampak besar yang ditimbulkannya juga nggak main-main. Ketika orang malas membaca Still Alice yang terlalu menyedihkan, atau Note Book yang terlalu melodramatik, maka X-Men adalah pilihan tepat.
Di Indonesia, siapa ya yang kira-kira tertarik untuk membuat film tentang Perlindungan Anak dan tentang Alzheimer yang bagus?
nanti lah saya bikin pelem tentang perlindungan anak, yaaa walaupun gak bakal sebagu pelem xmen. ditunggu aja lah kabarnya 😀