Wajah sang perempuan sudah lebam-Lebam, lehernya berkalung bekas cekikan, tapi dia tetap menemani orang yang meninggalkan bekas luka itu, dengan alasan, “Tanpa saya, apa jadinya dia.”
Familiar dengan cerita seperti itu?
Atau pernah berada di dalam lingkaran gelap itu?
Menonton film Posesif membuat saya serasa ditarik pada kejadian 20 tahun lalu. Bintang-bintang yang berputar di atas kepala setelah merasakan tinju tepat di pelipis kiri, juga kalimat yang kurang lebih sama diucapkan oleh Adipati Dolken di dalam film, “Lu udah dipake berapa orang?” Dan masih persis seperti tokoh di dalam film, saya bertahan. Bahkan ketika rambut saya ditarik dan diseret sepanjang balkon kantor ke halaman parkir tanpa ada yang menolong, saya juga masih bertahan.
It’s over now. It’s over 20 years ago, tetapi lukanya tidak pernah benar-benar kering. Menonton Posesif yang direkomendasi baik oleh banyak teman, mau tidak mau menarik saya ke cerita gelap yang pernah saya alami dan banyak perempuan lain di muka bumi ini. Dan saya yakin bukan satu-satunya yang terdampak dari scene demi scene di dalam film. Tapi itu terlalu personal untuk ditulis di sini.
Yang menjadi pertanyaan besar saya adalah, ke mana kita selama 20 tahun ini? Apakah masih di dalam posisi yang sama? Perempuan mengalami kekerasan di dalam pacaran, beberapa masih tetap melanjutkan hubungan sampai ke pernikahan, dan kita tahu pesta pengantin itu adalah titik balik dari dimulainya bentuk kekerasan yang lebih besar, karena pasangan ini telah ‘disatukan’ oleh Tuhan. Dan di sinilah garis di dalam lingkaran kekerasan ini semakin menebal.
Ibu menjadi korban kekerasan ayah, karena tidak berdaya dan tidak mampu atau mau keluar dari lingkaran maka anak yang akan terdampak. Anak belajar bahwa kekerasan adalah cara untuk menyelesaikan masalah. Lalu tanpa rehabilitasi yang tepat anak akan menjadi pelaku kekerasan berikutnya. Kemudian kita semua terpana bagaimana anak mampu melakukan kekerasan seperti itu, tanpa bercermin bahwa orang dewasalah yang mencontohkan pada mereka.
Di dalam film Posesif, penulisnya menunjukkan dengan sangat baik konteks Yudhis menjadi pelaku kekerasan terhadap pacarnya. Anak ini juga mengalami kekerasan yang kurang lebih sama, dilakukan oleh ibunya sendiri.
Sejak kecil di dalam kepala kita selalu ditanamkan bahwa anak harus nurut sama orang tua. Surga kita ada di kaki ibu, maka dengan kondisi seperti ini, perlawanan bukan sesuatu yang mudah untuk anak. Mari kita bayangkan seorang anak yang dibesarkan oleh ibu dan ayah atau orang tua lain yang memiliki masalah yang belum selesai. Yang luput dipotret oleh film ini adalah, konteks ibu Yudhis menjadi sangat posesif dan melakukan kekerasan terhadap anaknya. Kalimat Yudhis, “Sekarang aku tahu kenapa ayah ninggalin ibu.” Atau sesuatu semacam itu, seolah-olah menempatkan ibu Yudhis sebagai pusat dari lingkaran kekerasan terhadap anak.
Beberapa sahabat yang sudah menonton film ini langsung curhat berbagai masalah dengan anak mereka dan teman-temannya ke saya. Ada yang sepanjang film si ayah berkomentar sebal, “Kalau ada yang gituin kamu, habis dia nak!” Ada yang marah sekali dan menjadi sangat berhati-hati mengawasi teman-teman anaknya. Saya sendiri juga mengatakan hal yang sama pada anak saya. “You know what I am capable of doing to somebody like him, right?” Itu kata saya ke anak saya.
Tapi itu mungkin karena kita baper ya. Seharusnya di dalam kehidupan nyata, ketika pelakunya adalah sama-sama berusia anak. Maka kita harus menarik garis jauh ke belakang. Anak yang dibesarkan oleh orang tua seperti apa dia, bagaimana lingkungannya, sekolahnya, pelajaran macam apa yang dia dengar dari gurunya, media apa yang dia ikuti, siapa role modelnya. Semua itu harus kita tanyakan. Melakukan tindakan langsung pada anak tersebut sangat tidak disarankan. Orang tuanya yang harus kita ajak bicara. Bagaimana kalau orang tuanya tidak bisa diajak bicara atau kita menemukan bahwa orang tua itu sendirilah yang menjadi sumber dari hal buruk yang dilakukan anak.
Fiuh…
Pertanyaannya jadi panjang yaa…
Ini bagian dari proses besar yang harus sama-sama kita jalani. Pernah dengar it takes a village to raise a good child? Atau sesuatu semacam itu? Sebenarnya menurut saya, bukan satu desa yang diperlukan untuk membesarkan anak menjadi orang baik sekarang ini, tetapi satu Negara bahkan satu dunia. Kenapa? Karena seluruh dunia sekarang hanya segenggaman tangan kita.
Jadi bu, pak.. tengok anak-anak kita yuk. Sampai di mana ya dia sekarang, apa yang sedang dikerjakannya, siapa teman dekatnya, apa yang dia butuhkan. Kalau ada yang menurut kita nggak pas, yuk… ambil cermin dulu kita. Atau kalau nggak sanggup melihat diri sendiri minta bantuan orang lain. Lalu tengok juga anak-anak lain yang ada di sekitar kita. Anak tetangga, anak teman kita, keponakan, anak siapapun yang sering berinteraksi dengan kita.
Pastikan kalau kita sebagai orang dewasa, bukan menjadi bagian dari pelaku kekerasan terhadap anak, tidak melakukan bully, eksploitasi dan bentuk-bentuk kekerasan lain. Kalau kita sendiri punya PR yang belum selesai, segera selesaikan. Otherwise, orang di sekitar kita yang akan terkena dampaknya. Dan anak adalah pihak yang paling beresiko menjadi korban.
Jadi, kalau mau menghentikan lingkaran kekerasan di dalam rumah dan lingkungan kita, mulai dari diri sendiri, keluarga sendiri, rumah sendiri.