Mulai banyak dapat undangan reuni dan temu kangen dari teman-teman lama? Seru ya? Well… sebagian bilang itu seru, sebagian bilang enggak. Silahkan memilih kamu ada di bagian yang mana.
Hari Sabtu kemarin untuk ke sekian kalinya saya dan para BFF (waktu SMA kami tidak menyebut diri BFF, demi kepentingan tampak gaul semata kami kemudian ikut menyebut demikian) bertemu di Kebun Raya Bogor. Semenjak seorang sahabat kembali ke Indonesia dan memutuskan menetap di Bogor, maka kota itu jadi favorit spot kami. Sebelumnya pernah juga sih beberapa kali ketemu di sana.
Pembahasan utara-selatan-utara-selatan-repeat sudah biasa.
“Duh, anakku kalau sama gadget. Udah nggak punya akal lagi gimana mencegahnya.” kata yang satu. Ini juga keluhan saya. Anak saya unsur pertama yang dibutuhkannya dalam hidup adalah data dan listrik. Nggak ada oksigen sama nasi juga hidup dia.
Satunya menjawab, “Kalau aku waktu si A masih seumur anakmu, biarkan saja. Sekarang dia berkurang sendiri kok main gadget-nya.” Dalam hati saya mengamini untuk kasus anak saya.
“Kalau si sulung, masih suka main game. Nggak mau ngalah sama adiknya.” kata yang lain.
Lalu pembahasan mengalir begitu saja yang membuat kita belajar satu sama lain. Tentang anak yang menolak sekolah, anak yang mulai pacaran, anak yang sama sekali nggak peduli sama penampilan sampai melewatkan sisiran selama seminggu dan yang kelewatan pedulinya sama penampilan sampai menghabiskan 1/5 harinya untuk bercermin. Dan seterusnya.
Kami semua sesaat terdiam.
“Mungkin ini ya, yang dirasakan orangtua kita waktu kita seumur anak-anak ini?” kata salah satu dari kami.
Deng dong!
Yang satu bilang, “Saya sih anak yang manis dulu ya.”
Ah, no wonder anaknya juga sweet.
Kalau saya, menyulitkan orangtua karena mereka malu ambil rapor saya yang rangkingnya 1-2 dari belakang. Sayangnya nggak ada rapor untuk anak yang paling disukai di kelas, atau anak yang paling lucu di kelas. Saya belum tentu menang juga, tapi mungkin saya bisa berkompetisi di bagian itu.
Masalahnya adalah, di dalam proses menghasilkan anak itu ada dua orang yang berperan aktif. Istri dan suami. Yang kemudian menjadi ibu dan ayah. Keduanya punya peran untuk meninggalkan jejak genetik dan perilaku pada anak-anaknya. Lalu keluar sedikit dari ibu-bapak, ada keluarga besar, ada lingkungan, ada media, ada sifat dasar yang udah terberi saja dari sananya. Maka sebagai orang tua, kita ini bisa jadi semacam remahan rengginang di pojokan toples di hari lebaran.
Nggak penting?
Salah!
Kita sangat penting. Saya ingat remahan apapun semakin sedikit semakin dibuat rebutan. Nah, masalahnya adalah bagimana menarik perhatian anak-anak kita bahwa si remah rengginang ini menarik sekali lho untuk diperhatikan. Ini masalah komunikasi kali ya.
Ah… syulit ya pokok bahasan kali ini sodara-sodara.
Point being, teruslah berusaha. Gagal satu cara, coba cara yang lain. Kekerasan tidak pernah terbukti berhasil menyelesaikan masalah. Dalam hal apapun, termasuk mengasuh anak. Ehem! Saya baru dapat materi ini beberapa bulan terakhir. Memukul anak apapun alasannya, anak meninggalkan luka terutama di dalam jiwanya. Tidak ada istilah memukul dengan kasih sayang. It’s a big bull sh*t. Memukul dengan kata-kata negatif juga lukanya tidak akan segera hilang. And again, kita mau anak-anak belajar memukul dan memaki dari orangtuanya sendiri?
Enggak lah ya…
Nah, kalau udah burn out dan rasanya tangan atau kata-kata mau melayang sendiri dari pita suara?
Back off, pergi ke salon!
Nggak suka nyalon? Renang!
Nggak suka renang? Nonton bioskop, beli buku, nulis, belanja, motret, jalan-jalan, reunian!
Cari apapun yang menyenangkan selain melakukan kekerasan terhadap anak.
Lah, ini pokok bahasan dari BFF kok sampai ke sini yak?
Yes, ini adalah saatnya saya mengatakan betapa bersyukurnya saya waktu SMA punya banyak sahabat yang suka minjemin catetan, suka ngebangunin kalau saya ketiduran di kelas, suka ngasih contekan tapi nilai saya bahkan nggak pernah sanggup 1-2 strip aja di bawah dia, ngajarin baca puisi, ngajakin naik gunung, ngajakin mimpi tinggi-tinggi, ngelemparin saya ke kolam renang demi bisa berenang biar lolos seleksi pramugari, meminjamkkan saya orangtuanya untuk mengambil rapor yang nilainya sangat mengharukan, teman-teman yang saya ingat wajah-wajahnya tapi saya lupa namanya, dan masih banyak lagi jenis teman yang lain.
Tanpa teman-teman yang seru-seru itu, saya nggak bisa membayangkan, pada masa-masa burn out saya karena masalah-masalah dramatis duniawi yang kadang saya buat sendiri, saya harus lari ke siapa.
Jadi anak-anakku dan anak-anak temanku yang sedang mengalami masa-masa krisis lagi males-malesnya sekolah karena alasan apapun, percayalah… hidup nggak akan semakin mudah. Dan kesulitan apapun yang sedang kita hadapi sekarang, akan menjadi lelucon di masa depan. Karena kesulitan yang akan kita hadapi, bakalan naik lagi levelnya.
Tulisan ini saya dedikasikan untuk: Visca, Sakti, Lisa, Ari, Alfian (yang nggak bisa bergabung karena tugas mulia menunggui anak Olimpiade Matematika) dan teman-teman SMAN 1 Salatiga. Kalian luar biasa!
Syukak deh…
Terima kasih, Ibu Visca…
Mbak Dian, seneng membaca artikel ini dan mendapati bahwa persahabatan antara sesama Ibu masih terjalin dengan apik dan para sahabat bisa saling bertukar pikiran dengan gokil tetapi sehat. =)
cia you terus yah menghadapi dunia bersama Vania.
Before I begin i must appologize, Google translate only brings you sofar. So if I misunderstood some items, please write a complaint to miss google.
I always find it helpfull to look at children through the eyes of the child I was. This because I know what the output was of the child called SirHattrick and I kind are proud of how far that child has come in life (Even my mother will agree on that, well …. if I force her). But I also remember all the lessons that my parents bestowed onto me.
At that time (when I was a lazy but friendly teenager) I couldnt care less what my parents thought me, but in the present I am sure that a big part of me now is because of the lessons bestowed onto me when I was a bit (well …. a lot …. okay dont push me …… extreem long time ago) younger.
So for me raising a child is not that they become better children (average child is already a pro in that), but giving him/her better tools to become a better person in later live.
My biggest wish in the world would also be that every child is being allowed to be child and do childish things, but on the way towards exit childhood have picked up enough wise lessons so they can put them into play when they are ready for it.
The hardest part for the parent is understanding that your child loves you (even if it says you are the most stupiedist parent in the world, cause all the other children are allowed to have an X-box), that your lessons are embedded in their beautifull minds and no that it wont show directly (most likely they will start making sense when they allready left the house for somewhat years). Nobody has ever claimed being a parent is an easy thing 🙂 But it is a beautifull thing
SirHattrick (ex toddler, ex child, ex teenager)
Minor, keren abis! Sukak banget sama artikelnya. Btw, aku baru tahu istilah BFF ini berapa minggu belakangan hahahaha.