Tahun lalu saya memulai seri tulisan lucky bastard karena merasa down tidak lolos seleksi Residensi Penulis Indonesia 2018. Tapi kemudian seri ini juga menjadi pengingat saya untuk kembali bersyukur atas banyaknya berkah yang saya dapatkan.
Tentu saja saya sedih waktu itu karena setelah empat tahun tidak menerbitkan karya, ada rasa tidak percaya diri untuk kembali memulai. Tapi mungkin memang proposal yang saya ajukan kurang meyakinkan panitia kalau saya cukup layak mendapatkan kesempatan itu.
Akhir Juli 2019 setelah diinformasikan sama Trinity kalau program yang sama dibuka lagi untuk tahun ke-4, saya kembali membuat proposal yang kali ini lebih masuk akal, nggak muluk-muluk dan memang merupakan impian lama saya. Kali ini nggak berani berharap lah saya. Sudah janji-janji dalam hati kalau nggak mau menengok pengumuman sama sekali.
Etapi… beberapa hari sebelum pengumuman panitia mengirimkan WA untuk menanyakan ke saya kira-kira mau residensi berapa lama. Whoaa… harapan kembali tumbuh dong. Dan benar saja, 16 Agustus 2019 nama saya termasuk di dalam daftar lolos seleksi residensi penulis ini. Tarian hujan kembali memenuhi sel-sel kecil kelabu saya.
Di dalam proposal singkat saya menuliskan tujuan residensi: Sumba. Kenapa Sumba?
Pertama kali menginjakkan kaki di tanah Sumba tahun 2015. Waktu itu bersama tim OTMI kami melakukan kampanye migrasi aman. Fix. Saya jatuh cinta pada pulau ini. Lebih tepatnya pada NTT. Flores, Timor, Sumba, ketiga pulau ini membuat saya merasa berhak berlari-lari telanjang kaki, merasa sangat cantik seperti tokoh-tokoh dongeng masa kecil saya. Seperti halnya remaja yang malu-malu, saya memendam cinta saya.
Saya sudah memutuskan untuk jatuh cinta pada Sumba, bahkan sebelum mengunjungi tempat-tempat eloknya. Sampai kunjungan ke-3 ke Sumba saya dan tim bahkan tidak berpiknik ke manapun selain menengok pantai Mananga Aba dalam perjalanan ke hotel dan sebuah pantai lain dekat kota Weetabula. Tapi saya sudah jatuh cinta pada langitnya, masyarakatnya, kain tenun ikatnya, kamar-kamar di hotel yang menghadap padang liar penuh kuda merumput.
Tahun 2017 setelah hampir dua minggu bekerja di Sumba, bersama tim kami diupacarai menjadi keluarga. Seekor ayam disembelih sebagai pertanda darah kami sudah menyatu. Om Rinus yang berhari-hari menemani kami kemana-mana dengan mobilnya, menjelang pulang ke bandara meminta kami singgah di rumahnya. Dikalunginya kami dengan kain tenun berparfum, pertanda bahwa kami sudah menjadi saudara.
Berbagai kesempatan kembali membawa saya ke Sumba. Akhirnya lebih jauh kaki melangkah, Waikelo Sawah, Danau Weekuri, menyaksikan Pasola dan sempat terkena tembakan gas air mata karena kerusuhan setelah tradisi melempar tombak dari atas kuda itu, semua hanya membuat saya semakin cinta pada Sumba.
Bulan lalu bersama Save the Children saya mendapatkan kesempatan untuk berkunjung ke beberapa desa termasuk desa adat Tarung berkaitan dengan kampanye Stop Pneumonia di sana. Di kampung adat Tarung, kak Lawe yang mengajari saya membuat kain tenun sendiri mengatakan sesuatu yang membuat saya merinding, “Ibu, mulai sekarang kalau Ibu ke Sumba, Ibu ingat ya di sini ada rumah. Di sini keluarga Ibu menunggu.”
Saat itulah saya tahu saya harus berlutut dan menyatakan cinta saya pada Sumba. Kata teman saya yang antropolog, “Kalau sedang jatuh cinta itu, GR aja dulu. Diterima atau enggak urusan nanti.”
Maka saya dengan GR-nya menyatakan cinta liar saya pada Sumba. Saya ingin tinggal di sebuah desa untuk waktu lama, bukan sekedar berkunjung. Saya ingin belajar lebih banyak tentang masyarakat, budaya dan isu-isu sosial lainnya. Saya akan menuliskan tentang surga yang ditinggalkan. Pulau elok nan kaya yang anak mudanya pergi merantau, karena merasa bahwa kampung halamannya tidak menjanjikan emas sebanyak tanah seberang.
Lalu ketika kembali duduk dengan realita, baru sadar kalau saya tidak punya privilege untuk melakukan itu semua. Pekerjaan masih belum bisa ditinggalkan, ada tagihan yang masih menanti dibayar setiap bulan, ada anak yang masih perlu ditemani. Maka kesempatan untuk melakukan residensi ini adalah jawaban dari impian.
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Komite Buku Nasional memberikan dukungan pada penulis-penulis yang lolos seleksi residensi untuk melakukan riset dan kembali dengan karya yang memperkaya negeri. Maka inilah saya, si lucky bastard yang hidupnya penuh keberuntungan, si pemilik naga yang bisa membawanya terbang keman-mana, si penggenggam dunia dengan cara gilanya.
Kali ini semesta tahu saya siap. Sejak awal tahun saya menjadi penulis penuh waktu. Ibu saya juga bersedia dengan senang hati menunggu sang cucu sementara anaknya terbang bersama sang naga.
Sekarang, rasanya saya tidak cuma GR kalau berani bilang, “Cinta saya diterima oleh Sumba.” Maka saya akan mengandung dan melahirkan anak-anak Sumba dalam karya saya.