Slow Food

Sadar nggak, bahwa saat ini kita sudah dituntun untuk hidup dalam budaya cepat? Dandan sambil makan, ngetik sambil nerima telpon, ngobrol sama teman di cafe sambil twitteran sama entah siapa, main game di kantor sambil dengerin orang ngomong di meeting, bahkan yang paling parah, naik motor sambil SMS-an. Ah, so…

Kenapa semua itu terjadi? Karena kayaknya 24 jam udah nggak cukup lagi buat kita. Bahkan kalau 24 jam itu kita pakai tanpa tidurpun, rasanya masih kurang. Ada aja yang mesti dikerjakan, semuanya berkejaran. Sehingga muncullah fast lifestyle. Dimana para ibu tidak lagi sempat memasakkan anak-anaknya sayur bayem dan sop cakar, dimana resto cepat saji menjadi tujuan makan siang, pagi dan malam, dimana setiap lemari pendingin di rumah menyediakan sosis dan nugget. Semua yang serba cepat menjadi solusi. Instant generation katanya.

Tapi, pernah terbayang nggak, apa saja kandungan gizi yang ada di makanan cepat saji itu? Bagaimana produsen memastikan kehigienisannya pernahkah menjadi pemikiran? Saya dulu tidak. Tapi belakangan gaya. Suka mikir-mikir aja sendiri. Kok ya, saya tega memasukkan makanan ke dalam mulut saya, tanpa saya tahu asalnya. Fiuh… Apalagi setelah saya ketemu dengan teman-teman hebat di Jogja, prof. Mur, mbak Ambar, mas Deka, cs, yang memperkenalkan dan mengajak saya bergabung dengan komunitas slow food.

Nah, apa itu komunitas slow food? Komunitas ini, seperti namanya, adalah ingin mengembalikan kita ke dapur. Memasak bahan-bahan pangan lokal, memastikan bahwa semua yang masuk ke mulut kita, dan berikutnya menjadi energi untuk setiap karya kita adalah sesuatu yang good, clean & fair. Saya jadi ingat salah satu pelajaran di saat vipassana di Vihara, bahwa kita harus sadar sepenuhnya dengan apapun yang terjadi dalam tubuh kita. Termasuk kesadaran makan ini, menurut saya.

Mulai tertarik?

Baguuuss… Karena komunitas slow food Jogja akan segera membuat sebuah festival Healthy Local Food. Rencananya akan digelar di halaman radio FeMale Jogja. Kita akan ajak pengusaha pangan lokal, petani, ibu rumah tangga, remaja, anak-anak, para guru, masyarakat untuk kembali menengok ke kearifan lokal kita. Bagaimana buah sukun tidak hanya bisa digoreng saja, bagaimana tepungnya bisa menjadi salah satu alternatif makanan sehat untuk anak autism, bagaimana tepung pisang uter bisa menjadi makanan yang mahal dan sehat, dan ujung-ujungnya juga bagaimana kita bisa menolong para petani untuk kembali bangkit di negara ini.

Uwh… mulia sekali kan? Bagaimana? Kalau anda tertarik, mulai sekarang, segera habiskan makanan instan di lemari pendingin anda, dan… mulai besok kembali belanja ke pasar untuk membeli produk yang lokal.

gambar dari sini

← HIV Test
kampung eco-tourism Jethak - Godean →

Author:

Dian adalah penulis Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam dan 8 novel serta kumpulan cerita lainnya. Peraih grant Residensi Penulis Indonesia 2019 dan She Creates Change Green Camp 2020 ini lahir tahun 1976, belajar komunikasi di Universitas Diponegoro dan STIK Semarang, lalu lanjut belajar perlindungan anak di Kriminologi UI. Dia adalah anak ke-2 dari 4 bersaudara, ibu dari Vanya Annisa Shizuka dan beberapa anak lain. Saat ini Dian menghabiskan banyak waktunya menjadi penulis lepas dan konsultan untuk isu perlindungan anak dan kekerasan berbasis gender.

  1. so far sih aku masih sering mengkonsumsi slow food, masak sendiri di rumah, ngulek sambal, numis sayur..masak nasi juga masih dandang.. 😉

  2. @napi: salam kenal juga

    @kishan: wah, ayo… bikin lagi di sini 😉

    @monda: cap cus *jempool*

    @yessi: enak tuh kayaknya sambelnya

    @harry: jangan diulang lagi ya 😉

  3. Fast Food mengandung komponen berikut: Trans Fat, dan Partially Hydrogenated Protein.

    Kata ahli nutrisi, 2 komponen itu yang sangat jelek bagi kesehatan. Dan terutama sekali ada di French Fries. Sehingga saya sendiri menghindari banget tuh si French Fries. Kalo tidak darurat, tidak akan beli 😛

  4. bener2….lagian makanan slow food itu lebih Mak’nyos! hehe

    Dan, yang sebenarnya perlu dibanggakan itu makan2an Indonesia dulu tergolong makanan2 yang sehat.Murah dan sehat, mahal dan penyakitan. pilih mana? hihi

  5. wah kalo saya mah jelas bukan penggemar fast-food, macam burger, hotdog, pizza (pizza belum pernah nyicip malah) heheh,,,selain ga doyan, ga pas di lidah saya. selain itu juga mahal bo,,
    Kalo saya di kampung mah, sayur2 tinggal petik di kebun sebelah rumah, Mau ikan tinggal mancing di kolam, hihi..masuk slow food ga yah,,hehe..
    salam kenal mbak dian!

  6. karena msh berstatus sbg anak kost, rasanya kok sulit mau pagi2 ke pasar beli bahan-bahan, trus masak, wis udah keburu telat ngantor, buru2 sampe kantor, eh ke kantin sarapannya mie instan, hehehe…

    hmmm…apak kira2 perlu dibuatkan gerakan facebooker seluruh dunia untuk meminta agar Tuhan menambah waktu sehari menjadi 30 jam ? 😀

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

What to Read Next

Perpus Provinsi Kalimantan Selatan yang Inspiratif

Beberapa hari lalu saya mendapatkan kesempatan untuk mengisi acara diskusi literasi di Perpustakaan Provinsi Kalimantan Selatan. Sungguh sebuah kesempatan yang sangat berharga buat saya. Awal menerima undangan ini saya pikir kena prank. Masa’ iya sih ada Perpustakaan Provinsi bikin acara seperti ini, pikir saya. Tapi rupanya ibu Kepala Dinas ini...

Read More →

Berkah Dalem

Selamat merayakan Natal teman-teman, Berkah Dalem. Biasanya kalimat itu yang saya kirimkan ke sahabat dan teman-teman saya melalui WhatsApp untuk memberikan ucapan selamat Natal. Pagi tadi saya menyegarkan kembali ingatan tentang frasa Berkah Dalem, yang menurut beberapa referensi artinya Tuhan memberkati, yang menurut sejarah diambil dari kata Deo Gratia, berkah...

Read More →

44 Years of Practice

Lima tahun lalu saya dapat quote keren banget tentang usia 40, seperti ini: Gambar dari darlingquote.com Lalu tahun-tahun itu berlalu dan saya lupa apa yang jadi resolusi saya di ualng tahun saya ke-40 itu. Saya hanya ingat mengirimkan surat pada 40 orang yang pernah dan masih menggoreskan makna pada hidup...

Read More →

The Class of 94 and Beyond

Ilusi bahwa saya adalah Supergirl, Harley Quin, Black Widow, Queen of Wakanda patah sudah. Tanggal 25 Juni menerima hasil antigen positif. Tidak disarankan PCR sama dokter karena dia melihat riwayat orang rumah yang pada positif, “Save your money, stay at home, have fun, order as many foods as you like,...

Read More →

Domba New Zealand dan Pahlawan Perubahan Iklim

Pada suatu hari di bulan November 2016 bersama teman-teman dari tim Alzheimer Indonesia kami mendapat kesempatan untuk mengikuti konferensi di Wellington, New Zealand. Kok baru ditulis sekarang? Huft.. Seandainya kemalasan ada obatnya, saya antri beli dari sekarang. Ada banyak hal yang membuat orang mudah sekali jatuh hati pada Wellington, udaranya...

Read More →

Perjalanan ‘Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam’ Menemukan Jodohnya

Jodoh, rezeki dan maut ada di tangan Tuhan, katanya. Tapi kalau kita berharap Tuhan turun tangan untuk dua item pertama, nyesel sendiri lho ntar. Antriannya panjang, Sis. Ada tujuh milyar orang di muka bumi ini. Cover Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam Maka saya menjemput paksa jodoh tulisan saya pada...

Read More →

Defrag Pikiran dan Keinginan

Ada banyak peristiwa yang terjadi selama tahun 2020 ini, meskipun ada banyak juga yang kita harapkan seharusnya terjadi, tetapi belum kejadian. 2020 adalah tahun yang ajaib. Lulusan tahun ini sempat dibully sebagai lulusan pandemi. Yang keterima sekolah/kuliah di tempat yang diinginkan tidak segirang tahun sebelumnya, yang wisuda tahun ini apa...

Read More →

Didi Kempot, Sugeng Tindak Ma Lord

Hari ini status itu yang saya pasang di media sosial saya dengan foto Didi Kempot hitam putih dengan tulisan the Godfather of Broken Heart. Patahnya hati saya mungkin nggak sepatah teman-teman sadboys dan sadgirls lainnya. Saya tidak mengenal secara personal mas Didi, hanya pernah papasan di sebuah mal di Solo...

Read More →